Ukraina Berencana Tuntut Putin ke Pengadilan Internasional
25 Agustus 2022
Enam bulan setelah invasi Rusia, para pejabat Ukraina menyusun rencana untuk memastikan Presiden Vladimir Putin dan komandan militernya diadili karena meluncurkan perang.
Iklan
Rencana untuk menyeret Presiden Rusia Vladimir Putin beserta para komandan militernya ke pengadilan internasional dipelopori oleh Wakil Kepala Kantor Kepresidenan Ukraina Andriy Smirnov. Pihaknya mendesak penyelidikan dugaan 'kejahatan agresi'.
Definisi kejahatan agresi diadopsi dalam Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional pada 2010. Gagasan serupa tentang "kejahatan terhadap perdamaian" juga digunakan dalam persidangan di Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia Kedua.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang telah mengadili kejahatan paling parah selama 20 tahun terakhir, sudah menyelidiki kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida di Ukraina. Namun, pihaknya tidak dapat mempertimbangkan tuduhan agresi. Sebab, Ukraina maupun Rusia tidak meratifikasi Statuta Roma.
Pengadilan ini adalah "satu-satunya cara untuk memastikan bahwa para penjahat yang memulai perang Ukraina dimintai pertanggungjawaban dengan cepat," kata Smirnov kepada AFP.
"Dunia memiliki ingatan yang pendek. Itu sebabnya saya ingin pengadilan ini mulai bekerja tahun depan."
Ukraina tahu bahwa terdakwa tidak akan hadir, tetapi pengadilan ini "akan berfungsi untuk memastikan orang-orang ini dicap sebagai penjahat, dan bahwa mereka tidak dapat melakukan perjalanan di dunia yang beradab," katanya.
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Foto: Jacques Witt/Maxppp/dpa/picture alliance
10 foto1 | 10
Rancangan perjanjian internasional
Jaksa Ukraina telah mengidentifikasi sekitar 600 tersangka dalam agresi sejauh ini, termasuk pejabat senior militer, politisi, dan komentator. Sebuah perjanjian internasional untuk mendirikan pengadilan pun telah dirancang dan siap untuk ditandatangani oleh pemerintah di berbagai negara.
Iklan
Negara-negara penandatanganan lantas harus mengakui putusan pengadilan. Sehingga, terpidana dapat ditangkap oleh otoritas setempat.
Smirnov mengatakan beberapa negara akan menandatangani dokumen sebelum akhir tahun dan negosiasi sedang berlangsung dengan "beberapa mitra Eropa (yang) bersedia menjadi tuan rumah pengadilan."
"Kami ingin putusan pengadilan ini diakui,” katanya, dengan alasan dia sangat memahami bahwa pengadilan membutuhkan legitimasi yang kuat.
Meskipun beberapa kali reformasi, pengadilan Ukraina dikritik karena kurangnya independensi dan serangkaian kasus korupsi di masa lalu.
Sementara Polandia dan negara-negara Baltik, mitra terdekat Ukraina, sangat mendukung usulan tersebut, Jerman dan Prancis telah memberikan reaksi yang lebih terukur. Pertimbangan politik mungkin dapat menjelaskan hal ini.
"Beberapa negara, meski mengakui agresi terhadap Ukraina, mencoba untuk membuka celah untuk negosiasi dengan Vladimir Putin," kata Smirnov. Namun, perlahan-lahan membangun dukungan terhadap gagasan tersebut, termasuk di Eropa Barat.
Parlemen Eropa menyerukan pengadilan internasional khusus untuk kejahatan agresi pada 19 Mei.
Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra saat berbicara pada konferensi internasional tentang kejahatan perang di Ukraina di Den Haag bulan lalu, menyebut bahwa pertanyaan tentang pengadilan khusus adalah "poin yang sangat valid."