Ulama Aceh Dukung Fatwa Haram Nonmuhrim Ngopi Semeja
6 September 2018
Setelah mendulang kritik dari berbagai kalangan setelah melarang perempuan berbagi meja dengan pria yang bukan muhrimnya, kini Bupati Bireuen mendapat dukungan dari pemuka agama lokal terhadap kebijakannya itu,
Iklan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen menilai standardisasi warung kopi, kafe, dan restoran hanya imbauan. Edaran tersebut dibikin untuk mencegah pasangan nonmuhrim melakukan perbuatan melanggar syariat.
"Jadi imbauan tersebut bersifat imbauan dan melekat nilai dakwah di dalamnya. Karena di tempat-tempat nongkrong biasanya kan ada hal-hal syar'i yang dilanggar. Kita ingatkan dengan imbauan ini," kata Wakil Ketua MPU Bireuen Teungku Jamaluddin Idris, Kamis (6/9/2018).
Menurutnya, hal-hal yang dinilai melanggar syariat seperti adanya pasangan nonmuhrim berduaan nongkrong di warung kopi atau kafe. Secara syariat Islam, perbuatan mereka dianggap salah.
"Alangkah baiknya jika mereka yang salah itu diingatkan. Jadi ini semua untuk kemaslahatan umat," ungkap Jamaluddin.
Sebelum edaran itu dikeluarkan, Pemkab Bireuen sempat menggelar pertemuan dengan Dinas Syariat Islam dan MPU setempat. Dalam pertemuan itulah kemudian dibuat aturan standardisasi untuk warung kopi, kafe, dan restoran.
Pembatasan Hak Perempuan
Aturan standardisasi warung kopi yang diteken Bupati Bireuen Saifannur pada 30 Agustus lalu itu memuat 14 poin. Namun ada dua poin yang menarik perhatian dan bikin heboh, yaitu poin nomor 7 dan 13.
Pada poin ke-7 berisi larangan melayani pelanggan wanita di atas pukul 21.00 WIB kecuali bersama mahramnya. Sedangkan poin ke-13 tentang haram laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja kecuali dengan mahramnya.
"Kalau sama mahramnya kan tidak ada masalah, tapi kalau bukan mahram itu haram, karena di dalam hukum syariat itu haram hukumnya," kata Kadis Syariat Islam Kabupaten Bireuen Jufliwan.
"Itu untuk mencegah terjadinya perselingkuhan. Tujuan kita mencegah agar tidak terjadi pelanggaran syariat, tidak lain," jelas Jufliwan.
Sumber: Detik News
Tujuh Fakta Syariah Islam di Aceh
Sejak diterapkan lebih dari satu dekade silam Syariah Islam di Aceh banyak menuai kontroversi. Hukum agama di Serambi Mekkah itu sering dikeluhkan lebih merugikan kaum perempuan. Benarkah?
Foto: AP
Bingkisan dari Jakarta
Pintu bagi penerapan Syariah Islam di Aceh pertamakali dibuka oleh bekas Presiden Abdurrachman Wahid melalui UU No. 44 Tahun 1999. Dengan cara itu Jakarta berharap bisa mengikis keinginan merdeka penduduk lokal setelah perang saudara berkepanjangan. Parlemen Aceh yang baru berdiri tidak punya pilihan selain menerima hukum Syariah karena takut dituding anti Islam.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Kocek Tebal Pendakwah Syariah
Anggaran penerapan Syariah Islam di Aceh ditetapkan sebesar 5% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA). Nilainya mencapai hampir 700 milyar Rupiah. Meski begitu Dinas Syariat Islam Aceh setiap tahun mengaku kekurangan uang dan meminta tambahan anggaran. DSI terutama berfungsi sebagai lembaga dakwah dan penguatan Aqidah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Polisi Agama di Ruang Publik
Sebanyak 22 milyar Rupiah mengalir ke lembaga polisi Syariah alias Wilayatul Hisbah. Lembaga yang berwenang memaksakan qanun Islam itu kini beranggotakan 1280 orang. Tugas mereka antara lain melakukan razia di ruang-ruang publik. Tapi tidak jarang aparat WH dituding melakukan tindak kekerasan dan setidaknya dalam satu kasus bahkan pemerkosaan.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Kenakalan Berbalas Cambuk
Menurut Dinas Syariat Islam, pelanggaran terbanyak Syariah Islam adalah menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 dan No. 14 Tahun 2003. Kedua qanun tersebut mengatur tata cara berbusana dan larangan perbuatan mesum. Kebanyakan pelaku adalah kaum remaja yang tertangkap sedang berpacaran atau tidak mengenakan jilbab. Untuk itu mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, bahkan terhadap bocah di bawah umur
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Cacat Hukum Serambi
Kelompok HAM mengritik penerapan hukum Islam di Aceh tidak berimbang. Perempuan korban perkosaan misalnya harus melibatkan empat saksi laki-laki untuk mendukung dakwaannya. Ironisnya, jika gagal menghadirkan jumlah saksi yang cukup, korban malah terancam dikenakan hukuman cambuk dengan dalih perbuatan mesum. Adapun terduga pelaku diproses seusai hukum pidana Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Petaka buat Perempuan?
Perempuan termasuk kelompok masyarakat yang paling sering dibidik oleh Syariah Islam di Aceh. Temuan tersebut dikeluhkan 2013 silam oleh belasan LSM perempuan. Aturan berbusana misalnya lebih banyak menyangkut pakaian perempuan ketimbang laki-laki. Selain itu penerapan Syariat dinilai malah berkontribusi dalam sekitar 26% kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik.
Foto: picture-alliance/epa/N. Afrida
Pengadilan Jalanan
Ajakan pemerintah Aceh kepada penduduk untuk ikut melaksanakan Syariah Islam justru menjadi bumerang. Berbagai kasus mencatat tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap tersangka pelanggar Qanun. Dalam banyak kasus, korban disiram air comberan, dipukul atau diarak tanpa busana. Jumlah pelanggaran semacam itu setiap tahun mencapai puluhan, menurut catatan KontraS