1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Umat Islam Indonesia Membicarakan Teknologi

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
8 Desember 2023

Hubungan antara Islam dan teknologi menjadi isu utama dalam masyarakat Islam (umat) pada awal 1990-an di Indonesia. Bagaimana upaya muslim Indonesia meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran di tatanan global?

Gambar ilustrasi ilmuwan Indonesia di JermanFoto: DW/A. Purwaningsih

Artikel yang ditulis oleh Suzanne Moon, sejarawan teknologi dengan fokus di Indonesia, di jurnal History and Technology, 2020, Vol. 36, No. 2, berjudul "A sociotechnical order for the umma: connecting Islam and technology in Suharto's Indonesia” mengeksplorasi narasi upaya para intelektual muslim Indonesia mendefinisikan teknologi sebagai wilayah spiritual dan ekonomi, dan juga aktivitasnya sebagai agensi moral. Dengan menggunakan konferensi yang disponsori pemerintah pada tahun 1994 tentang peran teknologi dalam kemajuan umat Islam Indonesia (Kongres Nasional Al-Qur'an, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi untuk Kesejahteraan Umma) di Riau, Sumatra bagian timur, sebagai contohnya, Moon menguraikan hubungan sekularitas dan religiusitas, serta untuk menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara agama dan teknologi di Indonesia kontemporer.

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Konferensi ini menjadi penting karena dipromotori Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan dihadiri oleh para pakar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pemimpin Islam, dan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Orde Baru, yang masing-masing berkontribusi dalam diskusi luas mengenai bagaimana Islam dapat membantu umat dalam membuka jalan bagi perkembangan iptek bangsa. ICMI didirikan pada 1990 oleh sekelompok mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, dengan dukungan dua orang intelektual muslim, Dawam Rahardjo (ekonom, penulis, dan aktivis keadilan sosial) dan M. Imaduddin Abdulrahim (insinyur dan pendiri gerakan pelatihan Islam yang berpengaruh). Organisasi ini didukung oleh B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi dan orang kepercayaan Presiden Suharto, yang membuat ICMI sangat mencolok dan penting, terutama dalam advokasi teknosainsnya.

Iptek dari dan untuk umat

Bangkitnya ICMI menandakan transisi peran Islam dalam politik Indonesia. Kepemimpinan militer Orde Baru (1966-1998) yang dipimpin Suharto mengalami tekanan dan ketidakpuasan yang meningkat selama bertahun-tahun dari kelompok Islam, yang saat itu secara sistematis dikucilkan dari pembangunan sosial, ekonomi, dan politik negara. Pengucilan ini dimulai pada 1966 ketika Soeharto lebih memilih kelompok Cina-Kristen untuk mengendalikan investasi Barat dalam usahanya membangun kembali dan mengindustrialisasi Indonesia pasca peristiwa penumpasan elemen kiri dan komunis yang brutal pada 1965-1966.

Transisi ini melukai banyak pemilik bisnis muslim lokal, yang sebelumnya cukup berkembang akibat kebijakan substitusi impor yang diterapkan pemimpin sebelumnya, Sukarno (1959-1966). Industrialisasi Orde Baru berjalan paralel dengan Islamisasi yang berkembang pada 1970-an dan 1980-an, sehingga lahir generasi baru intelektual muslim yang mulai mempromosikan gagasan-gagasan kesetaraan ekonomi dan pembangunan yang adil (tidak berpusat pada elite atau kroni pemerintah saja). Salah satunya adalah Imaduddin, yang dengan lantang menyerukan kepada kaum muda muslim untuk menekuni bidang teknik demi kemajuan bangsa dan sosial umat Islam Indonesia.

Moon berpendapat bahwa perhatian intelektual ICMI terhadap tujuan tekno-religius daripada mengejar isu-isu transformasi demokratis merupakan langkah pragmatis untuk menjaga agar organisasi ini tetap sejalan dengan pemerintahan Suharto, meskipun wacana teknis dan ilmiahnya terkadang berkesinambungan dengan kritik politik. Konferensi pertama ICMI pada 1990 sudah membahas pembangunan iptek, tetapi skala konferensi pada 1994 memperkuat posisi ICMI dalam isu tersebut.

Beberapa pembicara kunci menggunakan konferensi tersebut untuk menyampaikan argumen tentang implikasi iptek terhadap Islam dan juga sebaliknya, beberapa bahkan juga merujuk pada Al-Qur'an dan Hadis untuk menyampaikan landasan religius dari perspektif mereka. Beberapa nama yang disebutkan oleh Moon adalah Quraish Shihab (ulama Islam), Tarmizi Taher (dokter, Laksamana Angkatan Laut, dan Menteri Agama), Wardiman Djojonegoro (insinyur, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan Achmad Baiquni (fisikawan).

Argumen mendasar dari para pembicara, terutama Taher dan Djojonegoro, adalah bahwa selain kegunaan sekulernya, kegiatan iptek juga harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki makna religius. Keduanya mengutip Al-Qur'an dan Hadist untuk membenarkan pandangan bahwa mempelajari pengetahuan tentang dunia, baik alam maupun sosial, adalah tugas utama umat Islam karena hal tersebut dapat mengungkapkan kebesaran Allah dan harus diterapkan untuk memberi manfaat bagi kehidupan manusia, terutama umat Islam. Shihab lebih lanjut menekankan hal ini dengan mengatakan bahwa Allah menyediakan pengetahuan dan alat yang dibutuhkan umat manusia untuk mengatasi tantangan, tetapi manusia harus aktif mencari pengetahuan dan membangun alat (teknologi) itu sendiri dan membuat dunia menjadi lebih baik dan teratur secara ilahiah.

Untuk mencapai hal tersebut, seorang insinyur atau ilmuwan membutuhkan kemampuan tingkat tinggi dalam kontemplasi spiritual dan pengembangan teknis/ilmiah. Dengan demikian, menguasai teknologi, baik sekedar alat genggam sederhana maupun perangkat ilmiah yang kompleks, menjadi tujuan suci bagi umat Islam. Djojonegoro dan Baiquni juga menunjukkan bahwa kelemahan Islam kontemporer adalah konsekuensi dari kelalaian umat Islam dalam keterampilan dan pengetahuan teknologi di masa lalu.

Beberapa isu bermasalah terkait teknologi modern dan solusi transformasinya diidentifikasi oleh pembicara lainnya. Shihab menggunakan metafora ‘perbudakan' dan ‘kemitraan' yang mencolok dalam menjelaskan hubungan antara manusia dan teknologi. Ia menganggap teknologi sebagai ‘budak' bagi manusia ketika teknologi tersebut masih berupa buatan tangan dengan cakupan kegunaan yang terbatas, namun ketika manusia menciptakan teknologi yang lebih canggih dengan implikasi yang luas, teknologi tersebut berangsur-angsur menjadi ‘mitra' dalam mencapai hal-hal yang tidak terpikirkan dalam batas-batas tubuh manusia (seperti pesawat terbang). Shihab juga memperingatkan bahwa beberapa teknologi modern dengan cakupan yang terlampau luas dapat memperbudak manusia.

Teknologi-teknologi ini, seperti yang dijelaskan Djojonegoro, berkembang di luar konteks keimanan dan menjadi teknologi 'liar' yang memiliki efek samping negatif, seperti merusak lingkungan. Oleh karena itu, umat Islam harus berpartisipasi dalam penciptaan teknologi yang positif, bukan hanya untuk umat dan kebangkitan Islam di abad ke-21, tetapi juga untuk dunia.

Teknologi dan religi

Konferensi ini juga menyuarakan kritik terhadap rencana ekonomi Suharto yang menyebabkan merajalelanya materialisme di masyarakat Indonesia. Mereka berpendapat bahwa iptek yang berbasis iman dan taqwa akan memberikan keseimbangan spiritual dan keselarasan bagi rencana pembangunan bangsa. Oleh karenanya, para insinyur dan ilmuwan muslim akan mendapat posisi penting sebagai otoritas keagamaan baru karena kegiatan mereka memiliki makna spiritual dan kepentingan sosial-politik bagi umat dan perlindungan terhadap iman Islam. Moon menggambarkan penolakan (dan desekularisasi) pendekatan teknologi Barat ini sebagai upaya modernisasi.

Meskipun begitu, perspektif ini tidak pernah diformalisasikan karena pemerintahan Suharto akhirnya berakhir pada 1998 dan perhatian publik beralih ke transformasi politik demokratisasi dan desentralisasi, tetapi gagasan tentang pentingnya keimanan sebagai dasar kuat untuk penguasaan teknologi masih terus diajarkan, terutama di universitas-universitas Islam di Indonesia dan kursus-kursus pelatihan Islami lainnya.

Kesimpulannya, dalam konteks pembangunan Indonesia, kebangkitan ICMI dan pemikiran intelektual Islam tentang pentingnya hubungan antara agama dan teknologi merupakan upaya umat Islam Indonesia untuk berpartisipasi lebih jauh dalam pembangunan ekonomi bangsa, dengan agenda lebih lanjut untuk meningkatkan aspirasi sosial dan politiknya yang saat itu sedang tumbuh. Selain itu, gagasan umat Islam Indonesia untuk mendefinisikan ulang dan desekularisasi teknologi, serta menekankan aktivitasnya seperti menciptakan inovasi ilmiah dan mengendalikan penggunaan teknologi sebagai tugas spiritual dan ilahiah, dapat dilihat sebagai upaya modernisasi Islam demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat Islam dalam konteks global.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite. 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait