241011 Kopten Ägypten
31 Oktober 2011Tamer Refaat Salama sudah menyiapkan koper. Beberapa hari lagi visa, ijin tinggalnya, akan datang dan perjalanan siap dimulai. Pemuda berusia 29 tahun itu akan berimigrasi ke Amerika, mimpinya sejak lama. Mimpi tentang perlakuan adil, tentang kebebasan beragama. Tamer adalah umat Koptik, Kristen ortodoks di Yunani. Ia merasa diperlakukan dengan tidak adil di tanah airnya.
"Sebagai umat Koptik saya merasa didiskriminasi. Di tempat kerja juga ada diskriminasi dan dalam mencari pekerjaan baru, saya juga didiskriminasi," papar Tamer.
Tamer bukan satu-satunya umat Koptik yang meninggalkan Mesir, tanah airnya. Menurut organisasi HAM "Egyptian Union for Human Rights", sejak jatuhnya Mubarak, sekitar 100.000 umat Koptik meninggalkan negara itu. Seperti Tamer, kebanyakan dari mereka berusia muda dan berpendidikan baik. Tetapi mereka kuatir akan masa depan, tak ada peluang di tanah air dan merasa terancam oleh radikal muslim serta militer.
Penindasan Meningkat
Sejak kudeta yang dipimpin Gamal Abdul Nasir awal tahun 50-an, umat Kristen Koptik di Mesir didiskrimansi secara sistematis. Mereka hanya boleh membangun gereja dalam jumlah kecil, dan tak bisa menduduki posisi atas di pemerintahan. Jumlah umat Koptik di Mesir berkisar 8 juta orang, sekitar 10% dari total masyarakat Mesir. Hampir setiap tahun terjadi serangan terhadap kelompok minoritas ini.
Sejak Mubarak jatuh, serangan semakin sering terjadi. Konflik paling berdarah terjadi tanggal 9 Oktober 2011, ketika sekitar 1000 warga Kristen melakukan aksi duduk damai di luar gedung televisi pemerintah. Para pemrotes mengatakan mereka diserang oleh para "preman" dengan tongkat. Kekerasan meluas tak terkontrol setelah sebuah kendaraan militer yang melaju kencang melompat ke sisi jalan dan menubruk sejumlah umat Kristen hingga tewas.
Bertahan di Mesir
Dalam konferensi pers setelah bentrokan, militer mencoba membebaskan diri dari tuduhan dengan balik menuduh bahwa umat Kristen dan 'tangan-tangan tersembunyi' lah yang memulai bentrokan. Militer juga membantah menembak demonstran atau secara sengaja melindas mereka.
25 orang tewas dalam bentrokan itu, kebanyakan Koptik. Naguib Gabriel, pemimpin organisasi HAM Mesir "Egyptian Union for Human Rights" mengatakan, "Masa depan umat Kristen di Mesir tampak suram. Sebelum revolusi mereka disiksa secara tidak langsung. Sejak revolusi, kaum salafis dan Ikhwanul Muslimin secara langsung dan terbuka menyerang Koptik."
Dari bentrokan, kekerasan dan kekacauan inilah militer dan sisa-sisa penguasa lama mengambil keuntungan. Karena banyak warga Mesir merindukan keamanan, stabilitas, sebuah tangan kuat dan hanya dengan demikianlah dewan militer bisa tetap berkuasa.
Toh tidak semua umat Koptik ingin meninggalkan Mesir. Beshoy Fayez termasuk yang bertahan. "Saya harus tetap tinggal di Mesir untuk mengubah negara ini. Saya tidak lari dari persoalan, saya justru ingin menyelesaikan masalah. Walaupun agama kita berbeda-beda, tetapi kita semua adalah rakyat Mesir."
Beshoy Fayez memimpikan sebuah Mesir tanpa prasangka, tanpa diskriminasi. Ia turun ke jalan dan memberi penjelasan. Ia berjuang bagi hak-haknya sebagai Koptik, bagi kebebasan di Mesir. Banyak yang lain sudah kehilangan keberanian.
Viktoria Kleber/Renata Permadi Editor: Hendra Pasuhuk