Muslim Jerman Tuntut Perlindungan Keamanan Yang Lebih Baik
Daniel Heinrich
25 Juli 2019
Muslim Jerman merasa semakin terancam setelah adanya sejumlah ancaman bom baru-baru ini terhadap masjid. Ketua Asosiasi Muslim terbesar di Jerman minta pemerintah tingkatkan tindakan perlindungan.
Iklan
Pada bulan Juli saja, ada ancaman bom terhadap masjid-masjid di Iserlohn, Villingen-Schwenningen, München dan Masjid Besar Köln – masjid yang terbesar yang ada di Jerman. Lalu dalam beberapa hari terakhir, ancaman serupa muncul terhadap masjid di Duisburg, Mannheim dan Mainz.
"Umat Muslim sangat gelisah," kata Nurhat Soykan, juru bicara Dewan Koordinasi Muslim Jerman. Organisasi yang dirikan pada 2007 ini adalah sebuah wadah yang menyatukan empat organisasi Islam terbesar di Jerman: Dewan Pusat Muslim, Uni Islam Turki untuk Urusan Agama (DITIB), Dewan Islam Nasional Jerman dan Asosiasi Pusat Kebudayaan Islam.
"Negara berkewajiban untuk melakukan tindakan membangun rasa saling percaya." Kata Nurhat Soykan. Dia menegaskan, pihak berwenang Jerman punya kewajiban untuk menjamin bahwa semua orang dapat menjalankan agama dan keyakinan mereka tanpa rasa takut dan ancaman kekerasan. "Koeksistensi kita dalam bahaya, dan dengan demikian demokrasi kita," tandasnya. "Itu tidak bisa diterima."
Sentimen anti-Muslim
Ketua Dewan Pusat Muslim di Jerman, Aiman Mazyek, mengamini pernyataan itu. Dia juga mengaku khawatir dengan ancaman kekerasan yang meningkat terhadap kaum Muslim.
"Islamofobia atau Muslimfobia telah meningkat secara signifikan," katanya kepada DW. "Masjid diserang atau dinodai hampir setiap minggu." Mazyek mengatakan, individu juga semakin sering menjadi sasaran.
"Sejak 2017 - ketika serangan Islamofobia terhadap Muslim dan masjid pertama kali dicatat - telah terjadi peningkatan serangan yang menyebabkan kerusakan fisik," kata Aiman Mazyek. Serangan itu makin sering dan banyak kejadian yang tidak dilaporkan, karena pasukan polisi dan pengadilan Jerman belum punya sensibilitas dan pelatihan untuk masalah ini. Situasi makin parah, lanjut Mazyek, karena banyak korban juga segan melaporkan pelecehan dan serangan semacam itu.
Para Menteri Dalam Negeri negara-negara bagian di Jerman mendukung argumen Aiman Mazyek. Menurut statistik resmi, tahun 2017 tercatat ada 1075 kejahatan Islamofobia dan 239 serangan terhadap masjid. Data-data untuk 2018 belum tersedia, tapi angka-angka awal menunjukkan bahwa lebih banyak korban terluka dari pada pada tahun sebelumnya. Antara Januari dan September 2018 saja, 40 orang terluka dalam serangan Islamofobia.
Banyak warga Muslim waswas
Penelitian dua tahunan yang dilakukan yayasan politik Friedrich Ebert Stiftung (FES) tentang sentimen sayap kanan di Jerman menunjukkan betapa luasnya prasangka Islamofobia. Seri penelitian representatif ini diluncurkan tahun 2006 dan membandingkan - antara lain - prasangka terhadap berbagai kelompok masyarakat. Menurut studi itu, hampir 20 persen warga Jerman berpikir negatif tentang Muslim.
Mengingat angka-angka ini, tidak mengherankan bahwa beberapa kelompok Muslim mulai mengadakan seminar tentang potensi ancaman, kata Mazyek beberapa waktu lalu. Seminar itu antara lain membahas tentang pemeriksaan dan pengawasan keamanan, bagaimana meningkatkan daya tanggap polisi dan meningkatkan kesadaran umat Muslim agar mau melaporkan insiden Islamofobia.
Menteri Dalam Negeri Jerman Horst Seehofer menyatakan bahwa "tempat-tempat ibadah memang dapat menjadi sasaran para teroris. Jika ada bukti ancaman, tempat-tempat seperti itu akan mendapat perlindungan ekstra."
Namun Nurhat Soykan bekum puas dengan pernyataan Seehofer. "Tingkat ancaman saat ini diremehkan, dan seruan kami untuk meningkatkan perlindungan masjid belum diperhatikan," katanya.
Berbagai ancaman bom terhadap masjid baru-baru ini belakangan diketahui memang ancaman palsu. Tetapi Nurhat Soykan mengatakan, banyak warga Muslim di Jerman yang sekarang ke masjid dengan rasa waswas. (hp/na)
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap