Sebanyak 71 juta manusia di seluruh dunia jatuh ke jurang kemiskinan akibat naiknya harga pangan dan bahan bakar. Laporan UNDP mencatat negara berkembang sebagai pecundang terbesar perang di Ukraina.
Anak-anak korban gempa bumi di Gayan, AfganistanFoto: Ali Khara/REUTERS
Iklan
Program Pembangunan PBB, UNDP, melaporkan sebanyak 51,6 juta manusia jatuh ke bawah garis kemiskinan ekstrem atau berpenghasilan kurang dari USD1,9 atau Rp28.400 per hari. Adapun 20 juta manusia lain harus hidup dengan kurang dari USD3,2 atau sekitar Rp50.000 per hari.
Studi UNDP mengukur kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di seluruh dunia dan dampaknya terhadap komunitas miskin.
Tanpa mengukur dampak perang di Ukraina pun, penduduk di negara-negara berpenghasilan rendah rata-rata mengalokasikan 42 persen dari pemasukannya untuk membeli bahan pangan. Dengan naiknya harga gandum, gula, dan minyak nabati, himpitan ekonomi bagi penduduk miskin semakin berlipat ganda.
"Dampak invasi terhadap lonjakan biaya hidup di seluruh dunia hampir tidak ada bandingannya, sebab itu kenapa hal ini sangat serius,” kata Administrator UNDP, Achim Steiner, Kamis (07/07).
Krisis Yaman Memburuk, Organisasi Kemanusiaan Kehabisan Uang
Perang di Yaman terus berlanjut. Namun, sejumlah organisasi kemanusiaan saat ini terancam kehabisan uang. Invasi Rusia di Ukraina berpotensi memperburuk keadaan di Yaman.
Foto: Mohammed Huwais/AFP/Getty Images
Kurangnya bantuan kemanusiaan
Krisis kemanusiaan di Yaman yang dilanda perang semakin memburuk. Menurut Program Pangan Dunia PBB (WFP), 13 juta orang di sana terancam kelaparan, lantaran perang saudara yang berkepanjangan dan kurangnya bantuan kemanusiaan.
Foto: Khaled Ziad/AFP/Getty Images
Sangat bergantung pada bantuan
Sejak awal pandemi COVID-19, semakin banyak orang yang kelaparan. Yaman adalah salah satu negara yang paling membutuhkan bantuan, dengan lebih dari 40% populasi bergantung pada bantuan WFP.
Foto: Khaled Abdullah/REUTERS
WFP kehabisan uang
"Kami memberi makan 13 juta orang dari negara berpenduduk 30 juta orang dan kami kehabisan uang," kata David Beasley, Kepala WFP, kepada Associated Press belum lama ini. "Jadi, apa yang akan saya lakukan untuk anak-anak di Yaman? Mencurinya dari anak-anak di Etiopia, atau Afganistan, atau Nigeria, atau di Suriah? Itu tidak benar," katanya.
Foto: Giles Clarke/UNOCHA/picture alliance
Paket bantuan tidak lengkap
Saat ini sekitar lima juta orang terancam mati akibat kelaparan, kata Corinne Fleischer, Direktur WFP untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Sumbangan bantuan kemanusiaan sejauh ini hanya mencakup 18% dari hampir $2 miliar (Rp28,6 triliun) yang dibutuhkan WFP untuk misinya di Yaman.
Foto: Mohammed Mohammed/XinHua/dpa/picture alliance
Perang Ukraina memperburuk krisis kelaparan
Invasi Rusia berpotensi memperburuk keadaan di Yaman karena WFP memperoleh sekitar setengah dari gandumnya dari Ukraina. Bahkan sebelum perang dimulai, harga gandum telah meningkat tajam. Bank Dunia mengingatkan bahwa perang Ukraina akan mendorong krisis kelaparan yang lebih buruk.
Foto: AHMAD AL-BASHA/AFP/Getty Images
Perang saudara yang berkepanjangan
Perang saudara di Yaman telah berlangsung selama tujuh tahun. Sejak 2015, koalisi pimpinan Arab Saudi memerangi pemberontak Houthi yang didukung Iran, yang saat ini menguasai sebagian besar wilayah di Yaman, termasuk ibu kota, Sanaa.
Foto: imago images/Xinhua
Kekacauan di Aden
Wilayah selatan Aden dikendalikan sepenuhnya oleh separatis sejak 2020 dan telah menjadi basis pemerintah yang diakui secara internasional, dipimpin oleh Abed Rabbo Mansour Hadi, sejak Houthi menyingkirkannya keluar dari Sanaa.
Foto: Wael Qubady/AP Photo/picture alliance
Tidak ada tempat berlindung
Kota Marib dianggap strategis karena merupakan benteng terakhir dari pemerintah yang diakui secara resmi di utara. Pertempura tengah berlangsung di sini, di mana Saudi terus-menerus mengebom daerah tersebut. Warga sipil terpaksa terus memindahkan kamp pengungsi mereka karena garis depan terus bergeser.
Foto: AFP /Getty Images
Rumah sakit penuh
Sistem kesehatan di Yaman bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Perang yang sedang berlangsung dan pandemi COVID-19 hanya membuat segalanya lebih mengerikan di negara termiskin di semenanjung Arab itu.
Foto: Abdulnasser Alseddik/AA/picture alliance
Sekolah dibom
Dalam laporan tahun 2021, UNICEF mengatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu korban terbesar perang Yaman. Lebih dari 2 juta anak perempuan dan laki-laki usia sekolah tidak dapat mengenyam pendidikan. Banyak sekolah hancur dibom.
Foto: Mohammed Al-Wafi /AA/picture alliance
Rangkaian kesengsaraan
Listrik, air bersih, dan bahan bakar - selalu ada sesuatu yang kurang di Yaman. Antrean di SPBU semakin panjang. Tanpa dana kemanusiaan yang lebih banyak, rangkaian kesengsaraan ini hanya akan berlanjut. (ha/yf)
Foto: Mohammed Huwais/AFP/Getty Images
11 foto1 | 11
Eskalasi laju kemiskinan
Pertambahan angka penduduk miskin akibat perang di Ukraina tercatat melaju lebih cepat ketimbang akibat pandemi. UNDP mencatat, sebanyak 125 juta manusia jatuh ke jurang kemiskinan selama 18 bulan pandemi COVID-19, dibandingkan 71 juta yang jatuh miskin selama tiga bulan pertama invasi Rusia.
"Laju pertambahan berjalan sangat cepat,” kata George Molina, Kepala Ekonom UNDP dan salah seorang penulis studi.
Sebanyak 20 negara tercatat terkena dampak paling parah, yakni Haiti, Filipina, Argentina, Mesir, Irak, Turki, Rwanda, Sudan, Kenya, Sri Lanka, dan Uzbekistan.
Sebagian negara tidak hanya mengalami kelangkaan pangan akibat terhentinya suplai gandum di Laut Hitam, melainkan juga perang. Hal ini terutama berlaku untuk wilayah Afrika Sub-Sahara, terlebih kawasan Sahel.
Adapun Indonesia juga mendapat rapor merah, dengan kenaikan sebesar 2,94 persen untuk kelompok berpenghasilan di bawah USD1,90 per hari, kenaikan rata-rata 3,09 persen untuk kelompok USD3,20 dan 3,72 persen untuk kelompok di bawah USD5,50 per hari.
Tantangan ini membutuhkan langkah global, kata Steiner dari UNDP, yang meski meyakini dunia internasional mampu membiayai program pemulihan, "tapi kemampuan kita untuk bertindak serempak dan cepat sangat terbatas.”
UNDP mengusulkan agar pemerintah tidak lagi membiayai subsidi energi, tetapi memberikan bantuan langsung tunai untuk menyelamatkan penduduk yang paling rentan.
Adapun untuk negara yang terlilit utang, UNDP mengimbau kreditur internasional untuk memperpanjang moratorium pembayaran utang yang ditetapkan sejak pandemi.
Menurut Steiner, langkah tersebut bukan semata bantuan sosial, melainkan "tindakan rasional untuk kepentingan sendiri,” demi mencegah munculnya tren negatif yang semakin membebani pemulihan ekonomi.