1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa Ingin Bantu PBB Atasi Konflik di DR Kongo

3 November 2008

Menyangkut konflik di kawasan timur Republik Demokratik Kongo, menteri-menteri luar negeri Uni Eropa mengadakan pertemuan. Mereka menegaskan, tidak menutup kemungkinan bagi misi militer di kawasan bergolak itu.

Menlu Inggris David Miliband (kanan) dan Menlu Prancis Bernard Kouchner ketika mengunjungi kamp pengungsi Kibati, 12 km dari ibukota provinsi Kivu Utara, Goma, DR Kongo.
Menlu Inggris David Miliband (kanan) dan Menlu Prancis Bernard Kouchner ketika mengunjungi kamp pengungsi Kibati, 12 km dari ibukota provinsi Kivu Utara, Goma, DR Kongo.Foto: picture-alliance/dpa

Pasukan perdamaian helm biru Perserikatan Bangsa-Bangsa harus lebih tegas dalam melindungi para pengungsi dari serangan kelompok pemberontak. Menteri Luar Negeri Prancis Bernard Kouchner menyampaikan sikapnya hari Senin kemarin (03/11). Kouchner dan Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband baru kembali dari kunjungannya di Republik Demokratik Kongo dan Rwanda akhir pekan lalu untuk membuka jalan bagi bantuan yang akan diberikan Uni Eropa bagi warga sipil.

Sekembalinya dari Kongo, Kouchner dan Miliband menekankan peningkatan peranan pasukan helm biru di kawasan yang dilanda konflik dan tidak menutup kemungkinan bagi pengiriman pasukan Uni Eropa ke wilayah itu. Dalam pertemuan para menteri luar negeri Uni Eropa di Marseille, Prancis Selatan, Bernard Kouchner mengatakan, "Kita siap membantu, tapi harus dilihat dulu bagaimana mengoptimalkan kemampuan pasukan PBB. Yang jelas, harus dilakukan reorganisasi untuk memperluas mandatnya.“

Kouchner melaporkan, pasukan helm biru PBB sebetulnya memiliki perlengkapan yang cukup lengkap seperti helikopter dan pesawat terbang. Namun menurut Kouchner, mandatnya terlalu terbatas. Karenanya pasukan PBB di Kongo MONUC harus direorganisasi, dan mandatnya diperkuat, agar lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya mengamankan dan melindungi penduduk sipil.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband menekankan bagaimana Uni Eropa dapat membantu misi PBB di Kongo secara politis dan diplomatis. Milband menyatakan situasi di Republik Demokratik Kongo yang dulu bernama Zaire, begitu buruknya. Krisis kemanusiaan bisa pecah sewaktu-waktu, dan rakyat sipil dalam bahaya. Karenanya, selain langkah kemanusian dan politik, kemungkinan diambilnya langkah militer juga tidak bisa dikesampingkan.

Dikatakan Milband, "Ya jelas, kami membicarakan fungsi 17 ribu serdadu pasukan PBB di sana saat ini dan bagaimana Uni Eropa dapat mengambil perannya secara politis dan diplomatis. Tidak ada yang menutup kemungkinan akan misi militer. Namun yang harus diutamakan adalah semuanya harus dilakukan melalui mekanisme Perserikatan Bangsa-bangsa.“

Prancis, yang memegang tampuk kepemimpinan Uni Eropa dalam semester kedua tahun ini, pekan lalu mengusulkan pengiriman 1500 serdadu Uni Eropa untuk membantu misi PBB dan dan mengawal pengiriman bantuan kemanusiaan. Namun sejumlah negara Uni Eropa tampaknya enggan untuk terlibat secara militer . Kouchner mengatakan bahwa PBB lah yang berhak menentukan apakah mereka memerlukan bantuan pasukan Uni Eropa. Kouchner juga mengeluhkan hanya 800 serdadu PBB yang ditugaskan di Goma yang bergolak, dan mendesak agar dilakukan segera penambahan pasukan.

Sementara itu dilaporkan para pekerja organisasi bantuan di timur Kongo belum berhasil menjangkau puluhan ribu pengungsi yang terjebak di kota Rutshuru. Senin kemarin, para pekerja bantuan dengan kawalan pasukan helm biru menemukan kamp pengungsi di Rutshuru Timur yang sudah kosong melompong. Sebelumnya, kamp tersebut dikelola oleh badan PBB urusan pengungsi UNHCR dan dihuni oleh setidaknya 50 ribu warga.

Francis Nakwafio Kasai, petugas lapangan Bantuan Kemanusiaan PBB mengatakan, masih belum jelas apakah para pengungsi dipaksa keluar dari kamp, atau lari menyelamatkan diri. Kasai menambahkan bahwa puluhan ribu pengungsi tersebut sangat memerlukan tempat tinggal, makanan, air minum dan pelayanan medis.

Pekan lalu, Uni Afrika, Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak agar Presiden Republik Demokratik Kong Joseph Kabila dan Presiden Rwanda Paul Kagame mengadakan pertemuan untuk membicarakan konflik di perbatasan kedua negara. Kemungkinan pertemuan tersebut akan digelar pekan ini di Nairobi.(rtr/dpa/gg/ls)