1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiEropa

UE: Kekurangan Tenaga Kerja Versus Politik anti-Imigran

21 November 2024

Populasi menua memperparah kekurangan tenaga kerja di Eropa. Meski tekanan kelompok sayap kanan meningkat, banyak negara Uni Eropa secara diam-diam memikat pekerja asing terampil.

Seorang perawat memvaksinasi pasien di sebuah rumah sakit di Italia pada 27 Desember 2020
Italia menghadapi kekurangan pekerja perawat yang cukup besarFoto: Matteo Bazzi/REUTERS

Imigrasi menjadi isu politik utama di Eropa, terutama dengan meningkatnya pengaruh sayap kanan. Tekanan pada pemerintah untuk membatasi imigrasi menjadi kian membesar.

Namun, beberapa negara, bahkan yang memiliki pandangan secara terbuka terhadap anti-imigran, mulai memikat pekerja asing untuk mengisi kekurangan tenaga kerja besar-besaran di tengah populasi yang menua, untuk dapat menjaga ekonomi tetap berjalan.

Uni Eropa (UE) telah mengidentifikasi 42 profesi yang mengalami kekurangan tenaga kerja dan membuat rencana aksi untuk menarik pekerja asing. Hampir dua pertiga usaha kecil dan menengah di Uni Eropa mengaku kesulitan menemukan talenta yang dibutuhkan.

Secara terbuka, banyak pemimpin Eropa, terutama dari kelompok sayap kanan, justru mendukung kesepakatan dengan negara ketiga untuk membatasi masuknya imigran atau memulangkan mereka. Namun, tanpa banyak sorotan, muncul tanda-tanda perubahan kebijakan yang mengakui kebutuhan akan imigran.

Little Shop of Kindness: Toko Istimewa bagi Imigran

03:35

This browser does not support the video element.

Italia bakal merekrut perawat asal India

Pemerintah sayap kanan Italia, yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Giorgia Meloni berencana merekrut ratusan ribu pekerja asing, untuk menutupi kekurangan tenaga kerja di negara itu. 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Pemerintah memperkirakan ada total 452.000 pekerja asing yang akan masuk selama periode tiga tahun [dari] 2023-2025," ujar pemerintah Italia tahun lalu, seraya mengakui bahwa jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan "kebutuhan nyata sebesar 833.000 pekerja” pada periode tersebut.

Menurut Pusat Studi dan Penelitian IDOS, Italia membutuhkan setidaknya 280.000 pekerja asing setiap tahunnya hingga 2050, untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di berbagai sektor seperti pertanian, pariwisata, dan kesehatan. Angka itu sekitar setengah dari jumlah permohonan suaka yang diajukan tahun lalu. Negara ini menghadapi kekurangan tenaga kerja di 37 profesi, di mana bidang pekerjaan perawat dan tenaga kesehatan menjadi yang paling dibutuhkan. 

Pemerintah Italia baru-baru ini mengumumkan akan merekrut sekitar 10.000 perawat dari India untuk membantu mengatasi kekurangan tiga kali lipat dari jumlah tersebut. Menteri Kesehatan (Menkes) Italia Orazio Schillaci mengatakan pada bulan Oktober bahwa India memiliki pasokan perawat yang berlebih. "Ada 3,3 juta perawat di India," katanya. "Kami ingin membawa sekitar 10.000 perawat ke sini." 

Schillaci mengatakan bahwa perawat India memiliki kemampuan profesional yang mumpuni dan akan direkrut langsung oleh wilayah-wilayah yang membutuhkan, serta ditempatkan di mana saja sesuai kebutuhan, setelah kemampuan bahasa Italia mereka dinilai.

Maurizio Ambrosini, seorang profesor sosiologi dan ahli migrasi di Universitas Milan, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah Meloni terpaksa mengubah kebijakan karena para pengusaha sangat membutuhkan tenaga pekerja.

"Para pengusaha Italia sangat bungkam dalam perdebatan migrasi selama bertahun-tahun. Saya rasa mereka tidak ingin bertengkar dengan partai sayap kanan," katanya melalui telepon. "Namun, kini tidak lagi." 

Banyak pihak, bahkan di dalam koalisi itu sendiri, melihat kebijakan ini sebagai perubahan besar dari Meloni, yang dulu menyebut kebijakan pro-imigrasi sebagai bagian dari konspirasi sayap kiri untuk "mengganti warga Italia dengan para imigran."

"Saya berharap kini, karena akhirnya ada pemerintah sayap kanan, situasinya dapat berubah, tetapi sayap kanan justru lebih buruk daripada sayap kiri," kata Attilio Lucia, seorang anggota partai Liga sayap kanan dan wakil wali kota Lampedusa, sebuah pulau kecil yang menjadi pelabuhan kedatangan bagi banyak migran.

Belanda ingin mempertahankan 'migran yang berpengetahuan'

Bisnis juga mungkin memengaruhi pemikiran pemerintah Belanda baru yang dipimpin oleh anggota parlemen sayap kanan Partai Kebebasan, Geert Wilders.

ASML, perusahaan terbesar di negara ini yang memproduksi peralatan semikonduktor, mengatakan kesuksesannya bergantung pada talenta-talenta terampil, terlepas dari mana pun mereka berasal. Perusahaan ini mengusulkan bahwa migrasi ke dalam negeri tidak boleh dibatasi. Hampir 40% karyawan perusahaan ini adalah pekerja asing.

"Kami telah membangun perusahaan kami dengan lebih dari 100 kewarganegaraan," kata Christophe Fouquet, CEO ASML, saat menghadiri Bloomberg Tech Summit di London, Inggris, bulan lalu. "Mendatangkan talenta dari seluruh dunia telah menjadi syarat mutlak untuk kesuksesan, dan ini harus terus berlanjut."

Belanda telah meminta pengecualian atau "opt-out" dari sistem suaka Uni Eropa, yang menganggap suaka sebagai "hak dasar dan kewajiban internasional bagi negara-negara." Laporan media menunjukkan bahwa retorika anti-imigran yang dipromosikan oleh kelompok sayap kanan telah membuat pekerja terampil merasa kurang diterima di negara ini.

Bahkan, kelompok politik sayap kanan pun masih harus berhadapan dengan kenyataan betapa besar kebutuhan banyak perusahaan terhadap pekerja asing untuk dapat tetap kompetitif. 

Belanda hanya sedikit mengurangi insentif pajak untuk para pekerja asing, dari 30% menjadi hanya 27%. Keringanan pajak ini telah menjadi salah satu fitur yang paling menarik bagi kaum muda berbakat untuk pindah ke negara ini, atau "migran berpengetahuan" seperti yang disebut oleh pemerintah Belanda.

"Ini adalah perubahan yang relatif kecil dalam toal pendapatan bersih para pekerja asing yang terampil," kata Lisa Timm, seorang peneliti migrasi di Universitas Amsterdam. "Saya rasa ini akan memiliki efek yang sangat kecil terhadap kedatangan migran."

Menteri Tenaga Kerja Jerman Hubertus Heil (kiri) bertemu dengan mahasiswa di New Delhi awal tahun iniFoto: DW

Jerman memperkenalkan 'Kartu Peluang'

Jerman akan segera mengeluarkan 200.000 visa untuk para pekerja terampil tahun ini, angka itu meningkat 10% dari 2023. Ini disebabkan oleh skema "Kartu Peluang", yakni izin tinggal yang memungkinkan pekerja dari negara di luar UE untuk datang ke Jerman dan mencari pekerjaan, yang diperkenalkan sejak bulan Juni lalu.

Dalam kunjungannya baru-baru ini ke India, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan Jerman "terbuka untuk pekerja terampil" dan setuju untuk melancarkan hambatan birokratis serta meningkatkan visa bagi warga India dari sebelumnya hanya 20.000 visa menjadi 90.000 visa per tahunnya.

Jerman membutuhkan sekitar 400.000 karyawan terampil baru setiap tahun untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, terutama di bidang teknik, Teknologi Informasi, dan layanan kesehatan, serta melihat adanya potensi tenaga kerja di kalangan warga India yang terlatih.

Di sisi lain, bangkitnya kelompok sayap kanan seperti partai anti-imigran AfD dalam pemilu regional dan serangan senjata tajam di kota Solingen, Jerman barat, pada musim panas lalu, telah memaksa Scholz untuk menyetujui pemeriksaan perbatasan internal di Uni Eropa "untuk membatasi migrasi."

Berbicara mengenai masalah ini pada bulan Juli lalu, Scholz sempat mengatakan migrasi tidak teratur ke Jerman harus "dikurangi," tetapi ia juga menekankan kebutuhan Jerman akan pekerja terampil. 

Kroasia juga menghadapi kekurangan tenaga kerja, dan mencari pekerja dari negara-negara di AsiaFoto: Denis Lovrovic/AFP

Kebijakan publik dan kebijakan diam-diam

Hampir semua negara Eropa menghadapi masalah yang sama, yakni kekurangan tenaga kerja saat populasi di benua itu kian menua. Meskipun ada gelombang kedatangan imigran, negara-negara ini tidak ingin terlihat mengizinkan kedatangan migran tanpa visa.

Ambrosini, profesor di Universitas Milan, mengatakan negara-negara Eropa kesulitan untuk mendamaikan dua kebijakan migrasi yang berbeda, satu untuk konsumsi publik di mana negara menyerukan "perjanjian penegakan perbatasan dengan negara transit seperti Tunisia, atau deportasi ke fasilitas luar negeri seperti kesepakatan Albania-Italia." 

"Di sisi lain, semakin jelas bahwa mereka membutuhkan pekerja, dan mereka sedang menyusun kebijakan baru untuk menarik tenaga kerja yang tidak hanya terampil tetapi juga pekerja musiman," tambahnya. "Kebijakan kedua ini agak sedikit tersembunyi, tidak terlalu dipublikasikan, dan hanya bisa terdeteksi oleh asosiasi pengusaha." 

Pada akhirnya, ini tentang bagaimana pemerintah dapat mengatakan bahwa pihaknya sepenuhnya memegang kendali atas siapa saja yang bisa masuk dan yang dapat tinggal, kata Ambrosini. Namun itu adalah mitos, setidaknya untuk pekerjaan kelas biru, karena pengusaha menerima referensi dari mereka yang sudah ada di Eropa untuk memilih siapa yang bisa diperkerjakan.

"Bagaimana para pengusaha bisa tahu, siapa yang harus dipekerjakan dari Peru, misalnya?" Ujar Ambrosini.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait