1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa Luncurkan Program Kemitraan Baru dengan Bekas Negara-negara Uni Soviet

7 Mei 2009

Uni Eropa meluncurkan program untuk membangun hubungan politik dan perdagangan dengan enam negara Eropa Timur bekas Uni Soviet. Rusia ketar-ketir.

Presiden Vaclav Klaus, kanan berjabat tangan dengan Presiden Georgia Mikhail Saakashvili, kiri saat penandatangan perjanjian kemitraanFoto: AP

Di masa mendatang, Rusia tidak hanya memiliki masalah langsung di perbatasan, melainkan sebauh perbatasan dari berbagai masalah, tulis sebuah harian Rusia menyikapi kemitraan baru negara-negara Eropa Timur dengan Uni Eropa. Uni Eropa membangun sebuah komunitas negara-negara merdeka yang dulu merupakan bagian dari Uni Soviet, yaitu Belarusia, Moldavia, Ukraina, Georgia, Armenia, dan Azerbaijan. Ini merupakan upaya lebih jauh untuk mengucilkan Rusia. Terjepit diantara Uni Eropa dan NATO, bagi warga negara beruang merah itu merupakan gambaran yang cukup mengerikan.

Supaya tidak terlalu kentara merasa takut kehilangan pengaruh pada negara-negara eks Soviet dan akan kehilangan arti penting sebagai negara yang dulu memimpin, mereka mencoba untuk merendahkan. Ujar mereka, keikustsertaan dalam kemitraan baru dengan Uni Eropa, hanyalah penghiburan. Uni Eropa memberikan kembang gula untuk melipur lara. Namun tidak sekalipun sungguh-sungguh memberikan peluang bagi Ukraina, misalnya untuk menjadi anggota Uni Eropa.

Presiden Ukraina Viktor Yustchenco tidak memandang pernyataan seperti itu secara serius. Ia optimistis. Tak ada masalah mengenai waktu perundingan integrasi. Dalam kesepakatan mengenai kemitraan Eropa Timur, ia menilai terdapat kemungkinan tambahan , di luar perjanjian aliansi yang sesuai rencana akan ditandangani pada musim gugur tahun ini, untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Uni Eropa.

"Setiap proyek yang memperkuat hubungan kemitraan kawasan, merupakan proyek yang baik, maksud saya bukan hanya Ukraina, dengan masyarakat Eropa. Tidak ada alasan bagi Ukraina untuk bersikap pasif. Tujuan strategi kami adalah intergrasi dalam Uni Eropa. Semua yang membantu ke arah ini, kami sambut.”

Presiden Ukraina memandang negaranya berdampingan dengan Georgia. Kedua negara itu selama ini berada di bawah tekanan Rusia. Pemerintahan di Kremlin bereaksi sebaliknya dan memperingatkan kembali Uni Eropa. Menurut mereka seharusnya Uni Eropa memperhatikan negara mana yang dapat dijadikan mitranya.

Di negara-negara kecil Kaukasus, situasi politik dalam negeri mereka bergejolak. Misalnya di Georgia, terjadi bentrokan antara polisi dan kelompok oposisi. Pihak oposisi sejak berminggu-minggu memrotes kepemimpinan Michail Saakashvili dan mendesaknya mundur.

Di Azerbaijan, para politisinya lebih mementingkan keuntungan ekonomi bagi mereka sendiri dan menetapkan perjanjian energi yang lebih erat lagi. Rusia mencemaskan akan kehilangan peranan khusus mereka dalam sektor gas.

Sementara itu Belarusia punya kepentingan lain. Bagi presidennya yang kontroversial, Alexander Lukaschenko, yang saat ini mengambil posisi berdiri di antara Rusia dan Uni Eropa terdapat kemungkinan, untuk keluar dari isolasi. Uni Eropa telah menerapkan sanksi terhadap diktator terakhir di Eropa itu.

„Kita telah menyatakan „ya „ terhadap kemitraan timur di tahapan ini, sebab hal itu baik bagi Belarusia maupun rakyatnya. Untuk keduanya saya siap, menanggung semuanya. Tanpa menghiraukan sifat-sifat saya, ambisi-ambisi saya dan apapun lainnya yang menjadi rumor tentang saya.”

Pihak oposisi Belarusia tidak tertawa lagi. Sebagai musuh Lukaschencho mereka merasa kecewa dengan keputusan Uni Eropa, yang dalam pandangannya, meninggalkan prinsipnya demi kepentingan ekonomi dan politik. (ap)

Christina Nagel/Ayu Purwaningsih