Permohonan Suaka ke Eropa Catat Rekor Baru sejak 2015
Farah Bahgat
10 November 2022
Badan suaka Uni Eropa EUAA mencatat, jumlah permohonan suaka di Eropa mencapai angka tertinggi sejak 2015, dan memberikan tekanan pada negara-negara anggota Uni Eropa penerima suaka.
Iklan
Badan suaka Uni Eropa EUAA melaporkan hari Rabu (9/11), jumlah permohonan suaka di Eropa mencapai angka tertinggi sejak hampir tujuh tahun, ketika lebih dari 1 juta orang mencari perlindungan dari perang Suriah tahun 2015.
"Setelah negara-negara Uni Eropa menerima jumlah permohonan suaka yang luar biasa tinggi antara Mei dan Juli, tren ini semakin cepat," lapor EUAA.
Badan tersebut melaporkan peningkatan 16% dalam permohonan suaka pada bulan Agustus. Sekitar 84.500 orang mengajukan permohonan suaka di 27 negara anggota Uni Eropa plus Norwegia dan Swiss. 255.000 orang lainnya "hampir secara eksklusif" merupakan pengungsi dari Ukraina dan mencari bentuk perlindungan sementara.
Jumlah itu sekitar setengah dari yang tercatat pada akhir 2015, kata EUAA. "Secara keseluruhan, aplikasi suaka dan pendaftaran untuk perlindungan sementara, sejauh ini telah melampaui 5 juta pada tahun 2022."
Mayoritas penohon suaka dari Afghanistan dan Suriah
Dengan perang yang masih berlangsung di Suriah dan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, warga Afghanistan dan Suriah terus mencatatkan persentase tertinggi dari orang yang mencari perlindungan di Eropa.
Iklan
Hampir sepertiga dari pemohon suaka pada bulan Agustus berasal dari Suriah dan Afghanistan. EUAA mengatakan, ada peningkatan tajam pada Agustus dalam jumlah anak-anak dari negara-negara ini yang bepergian sendiri, naik hampir 28% dibandingkan angka bulan Juli.
Badan tersebut juga mencatat, ada peningkatan jumlah permohonan suaka oleh orang-orang dari Turki, India dan Maroko. Pada bulan Agustus, jumlah pemohon suaka dari Turki mencapai angka tertinggi sejak 2014, dengan 4.600 permohonan suaka.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Uni Eropa peringatkan naiknya ketegangan di negara anggota
EUAA mengatakan, angka-angka itu menandakan "peningkatan ketegangan pada sistem nasional." Pejabat regional di Jerman menyatakan, mereka kewalahan karena harus menampung lebih banyak pengungsi, kebanyakan dari Ukraina. Sementara pejabat Uni Eropa telah berulang kali mengakui kesalahan dan kegagalan dalam kebijakan pengungsi 2015 mereka, dan hingga kini hanya ada sedikit kemajuan dalam perbaikan sistem.
Selain tekanan pada fasilitas dan sumber daya tuan rumah, topik pengungsi tersebut telah menyebabkan polarisasi di antara para politisi Eropa. Kedatangan pengungsi Suriah pada 2015 memicu salah satu krisis politik terbesar Uni Eropa, ketika negara-negara berdebat tentang siapa yang harus bertanggung jawab menampung para pengungsi.
Politisi Eropa hingga sekarang masih berbeda pendapat tentang masalah ini. Beberapa negara mendapat tekanan dari kelompok hak asasi manusia karena perlakuan buruk terhadap pencari suaka. Belum lama ini, pemerintah baru Italia dikritik tajam, karena menghalangi kapal penyelamat kemanusiaan mengakses pelabuhannya.
Belanda juga sedang berupaya mengurangi jumlah migran yang ditampungnya. Ini terjadi ketika ratusan pencari suaka dibiarkan berkemah di luar pusat penerimaan di kota Ter Apel, Belanda.