1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa/Perundingan Penerimaan Turki, Irak Tidak Memiliki Senjata Pemusnah Mssal

7 Oktober 2004
Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan, dengan latar belakang bendera Uni Eropa
Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan, dengan latar belakang bendera Uni EropaFoto: AP

Komisi Uni Eropa memberikan rekomendasi untuk dapat memulai perundingan penerimaan keanggotaan Turki. Hal itu akan diputuskan dalam pertemuan puncak Kepala Negara dan pemerintahan Uni Eropa tanggal 17 Desember. Dengan demikian terbuka kemungkinan bagi dapat diterimanya keanggotaan Turki dalam Uni Eropa. Pemberian rekomendasi tersebut, mendapat sorotan luas media Internasional. Dan kami jadikan sebagai tema pertama dalam acara SARI PERS dari SJDW. Tema yang kedua,laporan mengenai Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal dan dampaknya dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat. Kita mulai dengan tema pertama, rekomendasi komisi Uni Eropa untuk memulai perundingan bagi penerimaan keanggotaan Turki. Harian Turki HURRIYET yang terbit di Istanbul berkomentar:

Hari Rabu lalu merupakan hari dimana juga hendaknya dialami oleh bapak pendiri Turki modern, Kamal Atatürk, karena apa yang diinginkannya 80 tahun tahun, menunjukkan hasil yang konkrit. Hasil itu dicapai oleh Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan. Atatürk bangga terhadap Erdogan.

Eksperimen dengan Turki. Demikian ditulis harian Swiss TAGESANZEIGER yang terbit di Jenewa, dalam menanggapi rekomendasi Komisi Uni Eropa untuk memulai perundingan penerimaan keanggotaan Turki. Selanjutnya kami baca:

Secara definitiv Uni Eropa menghadapi masa uji coba. Apa yang diputuskannya bukan merupakan sesuatu yang berdasarkan sukarela, dan sampai detik terakhir terus berusaha untuk meminimalkan resiko yang akan muncul. Tapi prosesnya dapat dikatakan tidak dapat dibendung. Sementara itu stabilisasi politik dan ekonomi Turki sangat dikaitkan dengan perspektiv menerimaan keanggotaannya. Dengan demikian Uni Eropa memikul tanggung jawab besar. Pertama-tama terhdap warga di Turki. Bila Turki berhasil menjadi anggota Uni Eropa, maka Uni Eropa memetik keuntungan dibidang ekonomi, dan juga dalam bobot politik. Bila tidak berhasil, Uni Eropa terancam gagal sebagai proyek politik.

Sementara itu harian Spanyol EL PAIS yang terbit di Madrid menurunkan komentarnya sebagai berikut:

Standar ekonomi dan politik di Turki jauh berada dibawah ukuran Eropa. Penerimaan keanggotaan Turki, merupakan sebuah tantangan besar bagi Uni Eropa. Tapi berfaedah untuk menerimanya. Saat ini sedang dicari usaha menciptakan stabilitas diseluruh dunia. Dan ini juga menyangkut usaha memordernisir dunia Islam. Selain itu, Uni Eropa hendaknya jangan membatasi Turki secara terus menerus, seperti yang disarankan Komisi Uni Eropa. Misalnya bagi kebebasan tenaga kerja. Bila Uni Eropa memberikan perspektiv untuk menerima Turki sebagai anggota, maka hal itu harus dilakukan tanpa adanya pembatasan.

Eropa harus memafaatkan peluangnya. Demikian judul komentar harian Belanda TROUW yang terbit di Den Haag dalam menanggapi pertikaian mengenai penerimaan keanggotaan Turki. Kami kutip:

Usaha Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa hendaknya ditanggapi dengan serius. Turki sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sejak tahun 80-an telah menunjukkan kebijakannya kearah demokrasi, ekonomi pasar bebas dan penghargaan terhadap hak asasi. Ditahun belakangan usaha kearah itu dilakukan Turki dengan gencar. Ini merupakan sebuah peluang yang harus dimanfaatkan Eropa.

Sementara itu harian Jerman DIE WELT yang terbit di Berlin menampilkan sikap skeptis terhadap perundingan mengenai penerimaan keanggotaan Turki. Kami baca:

Turki belum memenuhi syarat untuk dapat diterima sebagai anggota Uni Eropa. Dalam perundingan penerimaan keanggotannya, posisi komisi Uni Eropa dan Turki sederajat. Tapi, Perdana Menteri Turki Erdogan dengan berapi-api menentang persyaratan yang disampaikan Uni Eropa. Bukan Uni Eropa yang memerlukan Turki. Tapi Turki yang memerlukan Uni Eropa. Sekarang semuanya terletak ditangan Turki untuk dapat membuktikan kemampuannya bagi Eropa.

Kita masuki sekarang tema terakhir. Yakni laporan mengenai Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal, dan dampaknya dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat. Harian Inggris FINANCIAL TIMES yang terbit di London menulis:

Laporan mengenai Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal, telah merontokkan semua alasan yang dipergunakan Amerika Serikat untuk membenarkan invasi militer kenegara tersebut. Sekarang pemerintahan Bush melihat realita. Apa yang terjadi setelah invasi militer ke Irak, adalah situasi yang kacau dan kematian. " Perang Jihad" telah menjadi bagian dari perjuangan kelompok perlawanan di Irak. Empat pekan menjelang pemilihan presiden di Amerika Serikat, para kandidat harus menerima kenyataan ini.