Mengapa Jerman Tak Berpartisipasi Dalam Serangan ke Suriah?
16 April 2018
Soal konflik Suriah, Jerman ingin cari format perundingan lain. Perancis ingin bertahan, namun Amerika ingin pulangkan pasukan secepatnya. Turki ambil posisi netral.
Iklan
Menteri Ekonomi Jerman Peter Altmaier membela diri atas kurangnya partisipasi Jerman dalam serangan militer di Suriah akhir minggu lalu. Altmaier, mengatakan kepada media Jerman, Bild bahwa "hanya karena kita tidak melakukan serangan udara sendiri, tidak berarti bahwa kita 'berada di luar!“. Disebutkannya,"Kami membangun solidaritas dengan Barat, tetapi punya misi berbeda, misalnya dalam melatih pasukan Peshmerga Kurdi,"
Kanselir Jerman, Angela Merkel sendiri mengatakan pada hari Sabtu (14/04) bahwa dia mendukung serangan terhadap Suriah yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, dan menyebut serangan tersebut sebagai hal yang "diperlukan dan tepat", untuk menghalangi potensi penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah.
Serangan udara itu diluncurkan AS, Perancis dan Inggris sebagai reaksi terhadap dugaan pemakaian bahan kimia dalam serangan di dekat ibu kota Damaskus pada tanggal 7 April silam. Serangan sekutu Barat itu menargetkan program senjata kimia pemerintah Suriah. Suriah dan Rusia telah berulang kali membantah tuduhan itu.
Damaskus Membara Akibat Serangan Udara
AS memimpin serangan udara terhadap ibukota Suriah, Damaskus, setelah terjadinya apa yang diduga keras serangan senjata kimia di kawasan Douma pekan lalu, dan mengakibatkan puluhan warga sipil tewas.
Foto: picture-alliance/Xinhua/A. Safarjalani
Langit Damaskus terang-benderang
Serangan peluru kendali AS diarahkan ke sejumlah daerah ibukota Damaskus, Suriah, Sabtu pagi 14 April. Ibukota Suriah itu diguncang sejumlah ledakan besar yang menyebabkan langit terang-benderang dan asap tebal mengepul di sejumlah lokasi.
Foto: picture alliance/AP Photo/H. Ammar
Bendera Suriah dan Rusia Dilambaikan
Siang hari Sabtu, 14 April 2018 sejumlah warga Suriah tampak melambaikan bendera Suriah dan Rusia, dalam rangka memprotes serangan udara yang dipimpin AS, Sabtu dini hari.
Foto: Reuters/O. Sanadiki
Kehadiran Rusia
Polisi militer Rusia tampak di kawasan Wafideen, dekat Douma Kamis, tanggal 12 April 2018. Polisi militer ditugaskan ke Douma, setelah terjadinya serangan kimia yang menyebabkan tewasnya puluhan warga sipil. Demikian keterangan Departemen Pertahanan Rusia, hari Kamis.
Foto: picture-alliance/Photoshot/M. Memeri
Kesengsaraan warga sipil
Seorang pria tampak menangis di sebelah jenasah sejumlah anak kecil, setelah terjadi serangan yang diduga serangan kimia di Douma, Suriah, yang masih berada di tangan pemberontak. Akibat serangan sedikitnya 78 warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak tewas.
Foto: picture-alliance/newscom/M. Hassan
Anak kecil menderita
Seorang anak balita sedang mendapat perawatan di rumah sakit di Douma, Ghouta Timur, setelah terjadi serangan di kawasan itu. Tim pemberi bantuan medis Suriah menyebut serangan 7 April tersebut, sebagai serangan kimia. Ed.: ml/ap (rtr, dpa, ap)
Uni Eropa mengatakan ingin menghidupkan kembali proses perdamaian politik untuk memecahkan konflik Suriah. "Sepertinya sangat jelas bahwa ada kebutuhan untuk memberikan dorongan meluncurkan kembali proses politik yang dipimpin PBB pada saat ini, " demikian dikatakan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Federica Mogherini sebelum pertemuan tingkat menteri Uni Eropa pada hari Senin (16/054).
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas berbicara pada akhir pekan, Jerman mencari "format lain" untuk digelarnya dialog di tengah kebuntuan soal konflik Suriah di PBB. Dewan Keamanan PBB hanya mampu membuat kemajuan yang terbatas dalam menangani konflik sebagian karena oposisi Rusia, yang merupakan sekutu dari pemerintah Suriah.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menekankan bahwa "konflik ini tidak dapat diselesaikan tanpa Rusia," seraya menambahkan bahwa dia menginginkan sebuah "kontribusi konstruktif" dari negara itu.
Sementara, Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson mengatakan bahwa serangan udara itu "sepenuhnya hal yang benar untuk dilakukan." Ditambahkannya, "Sangat penting untuk menekankan ini bukan upaya untuk mengubah mengubah rezim atau menyingkirkan Presiden Bashar al-Assad, tapi dunia mengatakan bahwa kita sudah cukup menggunakan senjata kimia."
Para menteri luar negeri Uni Eropa bertemu saat AS bersiap untuk memaksakan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia, sekutu utama al-Assad, sebagai bagian dari responnya terhadap serangan kimia yang dicurigai. Perancis juga mengusulkan resolusi PBB yang komprehensif untuk menyerukan awal baru untuk negosiasi politik.
Ini Video Serangan Pasukan Sekutu Pimpinan Amerika ke Suriah
01:30
Di Luksemburg, para menteri diperkirakan akan merilis sebuah pernyataan soal opsi larangan perjalanan baru dan pembekuan aset. Tapi para diplomat meramalkan tidak ada keputusan pada hari Senin, terutama terhadap Rusia. "Kami harus terus mendorong untuk mendapatkan gencatan senjata dan kemanusiaan bantuan melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akhirnya proses perdamaian," kata Menteri Luar Negeri Belanda, Stef Blok.
Perancis ingin bertahan, Amerika ingin angkat kaki
Sementara itu, Presiden Perancis, Emmanuel Macron mengatakan bahwa pihaknya telah meyakinkan Donald Trump agar tetap terlibat di Suriah "untuk jangka panjang" - tetapi beberapa jam kemudian Gedung Putih menanggapi dengan mengatakan ingin pasukan Amerika Serikat di sana "untuk pulang secepat mungkin".
Sehari setelah Perancis bergabung dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam meluncurkan serangan tersebut, Macron menegaskan intervensi itu sah dan mendesak kekuatan internasional untuk mendorong solusi diplomatik terhadap perang tujuh tahun yang brutal tersebut. "Kami belum menyatakan perang terhadap rezim Bashar al-Assad," ujar pria nomor satu di Perancis berusia 40 tahun itu dalam wawancara TV.
Tetapi Macron sekali lagi menyatakan intervensi militer pertamanya sebagai presiden diperlukan untuk mengirim sinyal bahwa penggunaan senjata kimia terhadap warga sipil tidak akan luput dari hukuman.
Serangan Sabtu targetkan tiga fasilitas kimia pemerintah Suriah, dalam menanggapi serangan gas yang diduga mengandung senyawa kimia di kota Douma dan menewaskan puluhan orang. "Kami memiliki legitimasi internasional penuh dalam campur tangan dalam kasus ini," tandas Macron. Dia mengatakan Amerika, Perancis dan Inggris menargetkan "lokasi-lokasi yang sangat tepat dari penggunaan senjata kimia" dalam operasi yang berjalan "sempurna".
Meskipun operasi ini tidak disetujui oleh PBB, Suriah seharusnya menghancurkan persenjataan senjata kimianya di bawah resolusi PBB 2013, tambahnya. "Sepuluh hari yang lalu, Presiden Trump mengatakan Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk melepaskan diri dari Suriah," kata Macron. "Saya jamin, kami telah meyakinkannya bahwa perlu tinggal untuk jangka panjang," katanya lebih lanjut.
Tak lama setelah wawancara ditayangkan, Gedung Putih mengatakan misi AS di Suriah "belum berubah". "Presiden telah jelas bahwa dia ingin pasukan AS untuk pulang secepat mungkin," kata juru bicara Sarah Sanders. Dia menambahkan bahwa Washington "bertekad untuk sepenuhnya menghancurkan kelompok ISIS di negara itu" dan menciptakan kondisi yang akan mencegah kembalinya ISIS. "Selain itu kami mengharapkan sekutu regional dan mitra kami untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar, baik secara militer maupun finansial untuk mengamankan kawasan itu," ditambahkannya.
Meskipun ketegangan melonjak dengan Rusia, Macron menekankan perlunya "berbicara dengan semua orang" dalam mengupayakan penyelesaian Suriah, mengatakan rencananya untuk mengunjungi Moskow pada bulan Mei tetap tidak berubah.
'Armagedon' di Aleppo
Kota Aleppo di Suriah jadi "neraka" diluluhlantakkan serangan udara pasukan pemerintah Suriah dibantu Rusia bulan September 2016. Kehancuran luar biasa yang ditimbulkan dapat disimak dalam galeri foto ini:
Foto: Reuters/A. Ismail
Luluh lantak
Seorang pria berjalan di antara reruntuhan gedung-gedung di kawasan al Qaterji, Aleppo yang hancur luluh akibat serangan udara saat pecah pertempuran antara pasukan pemerintah melawan kaum pemberontak..
Foto: Reuters/A.Ismail
Kota membara
Seorang pria berjalan melewati kepulan asap dari sebuah bis yang terbakar, akibat serangan udara di kawasan Salaheddin yang dikuasai pemberontak. Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan, dalam tahun-tahun terakhir, ini adalah serangan terburuk yang pernah dilakukan dalam menghancurkan sebuah kota.
Foto: GettyImages/AFP/A. Alhalbi
Korban cedera dan tewas terus berjatuhan
Pekerja bantuan Suriah bersama warga setempat bergotong royong mengangkut tubuh korban serangan di Salaheddin..
Foto: GettyImages/AFP/A. Alhalbi
Apa yang tersisa?
Usai serangan, warga di distrik Bustan al Qasr memeriksa kerusakan yang terjadi akibat pertempuran dan mencari sesuatu yang masih bisa diselamatkan. Foto diambil anggota Helm Putih.
Foto: Picture-Alliance/dpa/Syrian Civil Defense White Helmets
Lahan pun amblas
Anak-anak melewati lahan yang amblas di kawasan Muyeser setelah pasukan Suriah dan Rusia melancarkan serangan udara.
Foto: picture-alliance/abaca/J. Al Rifai
Lubang menganga
Sebuah gedung masih berdiri tanpa atap dan didingnya berlubang besar akibat serangan udara. Penghuni gedung terpaksa menyingkir, karena bangunan senmacam ini pasti akan jadi sasaran serangan berikutnya.
Foto: picture-alliance/abaca/J. Al Rifai
Kemana mencari air?
Nyaris seluruh infrastruktur di kota kedua terbesaar Suriah itu hancur karena pertempuran sengit. Warga kini kesulitan mendapat air bersih, karena bansyak pipa air bersih hancur terkena ledakan.
Foto: Reuters/A. Ismail
Keluarga yang terporak-poranda
Makin banyak warga terpaksa meninggalkan rumah kediaman mereka yang remuk redam dihantam bom dan tak ada lagi yang tersisa. Keluarga cerai berai dan kota porak poranda.
Foto: Getty Images/AFP/T. Mohammed
Nyawa tak ada harganya
Pekerja bantuan Suriah bersama warga setempat bergotong royong mengangkut jenazah korban serangan tanggal 23 September 2016 di Al Marja. Di ajang pertempuran di Aleppo nyawa manusia nyaris tak ada harganya lagi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Alhalbi
Masihkah ada masa depan?
Seorang anak di Tariq al Bab hanya mampu memandangi kerusakan di lingkungan tempat tinggalnya. Sulit membayangkan bagaimana masadepan mereka. Bahkan harapan untuk gencatan senjata-pun kini nyaris musnah.
Foto: Reuters/A. Ismail
10 foto1 | 10
Bagaimana dengan Turki?
Turki tidak berdiri bersama dengan negara mana pun tentang konflik Suriah dan kebijakannya di wilayah ini berbeda dari Iran, Rusia dan Amerika Serikat, demikian kata Wakil Perdana Menteri Bekir Bozdag hari Senin (16/04).
Berbicara kepada wartawan di Qatar, Bozdag juga mengatakan Turki tidak ragu untuk bekerja sama dengan negara yang membela "prinsip yang benar" di Suriah.
ap/vlz (dpa,Reuters,afp,bild,ap)
Misteri Tentara Jerman Yang Menyamar Sebagai Pengungsi Suriah
Letnan berusia 28 tahun, Franco A., jalani kehidupan ganda dengan menyamar sebagai pengungsi yang akan lancarkan serangan teror. Skandal meluas setelah tersangka diketahui sejak lama memiliki pandangan ekstrim kanan.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Sauer
Terungkap Berkat Sidik Jari
Tiga bulan sebelum ditangkap, Franco A. berada di Wina Austria. Menurut harian Die Welt, ia menyembunyikan pistol berpeluru di toilet bandara Wina. Ia tidak ditahan karena tidak cukup bukti. Tapi sidik jarinya diperiksa oleh polisi Austria, dan identik dengan sidik jari "David Benjamin" yang tercatat sebagai pencari suaka di Jerman. Kepolisian Jerman langsung dihubungi.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Anspach
Penjual Buah David Benjamin
Berprofesi tentara, ayahnya dari Italia dan ibunya Jerman, menyamar menjadi penjual buah asal Damaskus bernama "David Benjamin" yang beragama Katolik, keturunan Yahudi, dan melarikan diri dari ISIS. Permohonannya sebagai pengungsi disetujui, walau tidak bisa berbahasa Arab, Ia mendapat fasilitas tempat tinggal dan uang tunjangan bulanan dari pemerintah Jerman. (Foto simbol)
Foto: picture-alliance/dpa/F. von Erichsen
Ditangkap Saat Latihan Militer
Polisi menangkap Letnan Franco A. di kamp pelatihan militer dekat Hammelburg, kota kecil di negara bagian Bayern Rabu malam (26/04). Ia bergabung dengan militer Jerman-Bundeswehr 8 tahun yang lalu dan telah melewati pemeriksaan keamanan secara rutin.
Foto: Getty Images/AFP/F. Florin
Target Sasaran Muslim dan Pengungsi
Bersamaan dengan penangkapan Franco A., polisi merazia apartemen temannya, mahasiswa teknik industri Matthias F., 24 tahun. Keduanya berkomuniksi via SMS untuk menjadikan pencari suaka dan muslim sebagai target serangan teror. Di apartemen Mathias, petugas menemukan granat dan dinamit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Rampfel
Berpaham Ekstrim Kanan
Skandal meluas, setelah majalah berita Der Spiegel melaporkan, tersangka mengekspresikan pandangan ekstrim kanannya pada makalah akademis 2014, namun tidak mendapat hukuman disipliner. Dinas intelijen militer Jerman MAD saat ini sedang menginvestigasi anggota Bundeswehr yang dituduh mendukung aliran ekstrim kanan.
Foto: picture alliance / Marcel Kusch/dpa
"Nol Toleransi"
Menteri Pertahanan Jerman Ursula von der Leyen menegaskan kepada stasiun TV ZDF: "Kami bisa mentolerir banyak hal, tetapi tidak memberi toleransi bagi pandangan ekstrimisme politik, ekstrim kanan, atau ektrimis bermotivasi agama".