Uni Eropa Sepakati Reformasi Radikal Sistem Keimigrasian
9 Juni 2023
Uni Eropa akhirnya meloloskan reformasi RUU Imigrasi dan Pencari Suaka setelah sempat tertunda lama. Aturan yang baru mencakup uang denda senilai USD 21.000 per kepala bagi negara UE yang menolak menerima pengungsi.
Iklan
Uni Eropa menyepakati revisi UU Keimigrasian dan Suaka demi membagi beban pengungsi secara lebih adil antara negara anggota.
Komisioner Dalam Negeri UE, Ylva Johansson, menyambut kesepakatan itu sebagai "langkah besar yang signifikan” bagi masalah migrasi di Eropa.
"Ini bukan keputusan mudah bagi semua yang terlibat, tapi keputusan itu jelas bernilai historis,” kata Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser.
Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban, sontak mengecam Uni Eropa atas keputusan tersebut. "Brussels menyalahgunakan kekuasaannya," tulisnya di Facebook. "Mereka ingin merelokasi migran ke Hongaria secara paksa."
Polandia dan Hongaria menolak menyetujui reformasi, sementara Bulgaria, Malta, Lituania dan Slovakia bersikap abstain. Pengambilan keputusan melalui pencoblosan setelah negosiasi tegang dan alot di Brussels itu menyaratkan dukungan mayoritas negara anggota yang mencakup 65 persen populasi UE.
Nantinya, negara yang menolak pengungsi akan mendapat denda senilai USD 21.000 per kepala.
Kesepakatan awal itu memberi ruang bagi negosiasi dengan Parlemen Eropa dan bisa diadopsi sebelum pemilu Eropa, Juni 2024 mendatang.
Menteri Dalam Negeri Italia, Maetteo Piantedosi, mengaku bahagia bahwa "semua proposal saya” telah diterima. "Italia tidak akan menjadi pusat penerimaan pengungsi di Eropa lagi,” kata dia.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Masalah akut di Eropa
Reformasi UU Keimigrasian dan Suaka di Eropa disepakati ketika angka pengungsi kembali meningkat seusai pandemi Covid-19.
Sejak 2020, Komisi Eropa sudah mengusulkan agar UE membuat kesepakatan baru yang menitikberatkan pada pembagian kuota pengungsi. Tapi usulan itu ditolak oleh Hongaria dan Polandia.
Swedia, yang memegang presidensi UE hingga akhir bulan ini, mengajukan dua naskah alternatif. Salah satunya mengedepankan kewajiban membayar denda jika menolak pengungsi, sementara yang kedua mewajibkan negara anggota mengupayakan sistem pengadilan cepat di perbatasan.
"Dokumen-dokumen ini melambangkan dua pilar utama reformasi sistem suaka di Uni Eropa dan menjadi kunci dalam menyeimbangkan tanggung jawab dan solidaritas,” tulis pemerintah Swedia via Twitter.
Menteri Migrasi dan Suaka Belgia, Nicole de Moor, mengatakan kelompok migran yang bisa dipastikan akan sulit mendapatkan suaka antara lain berasal dari "Maroko, Aljazair, Tunisia, Senegal, Bangladesh dan Pakistan.”
Tapi Oxfam, organisasi kemanusiaan internasional, mengritik kesepakatan UE yang diklaim "tidak akan membenahi masalah kronis dalam sistem suaka di Uni Eropa,” tulis organisasi asal London, Inggris, tersebut.
"Sebaliknya, kesepakatan ini mengisyaratkan keinginan UE untuk membarikade benua Eropa dari pencari suaka.”