1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa dan Masalah Konflik Cina-Taiwan

13 April 2023

Uni Eropa menghadapi masalah diplomatik yang pelik menghadapi masalah konflik Cina-Taiwan, terutama karena ketegangan antara AS dan Cina meruncing. Padahal Eropa tidak ingin ada konflik baru.

Presiden Prancis Emmanuel Macron di Beijing
Presiden Prancis Emmanuel Macron di Beijing, 6 April 2023Foto: Ng Han Guan/AP Photo/picture alliance

Selama akhir pekan lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebabkan kekhawatiran di Amerika Serikat (AS) dan sebagian Eropa, ketika dalam wawancara dengan media Prancis Les Echos dia mengatakan, Eropa tidak boleh hanya menjadi "pengikut AS” di tengah meningkatnya ketegangan dengan Cina atas Taiwan. Macron mengatakan Eropa jangan sampai terjebak "dalam krisis yang bukan milik kita."

Kata-katanya langsung memicu reaksi di Washington. Padahal, para pemimpin Uni Eropa yang lain telah lama mendesak agar Eropa memiliki sikap yang mandiri di panggung internasional. Namun, kebanyakan hal itu diucapkan sebelum serangan Rusia ke Ukraina. Saat ini, situasinya lain karena AS adalah pendukung terbesar Ukraina dalam pertempuran melawan Rusia.

Beberapa analis mengatakan, tidak bijaksana untuk mengambil jarak dari AS, ketika di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden hubungan AS dan Eropa telah pulih dari keretakan yang terjadi di bawah pendahulunya, Donald Trump.

Emmanuel Macron dan Ursula von der Leyen bertemu Presiden Cina, Xi JinpingFoto: Ludovic Marin/Pool AFP/AP/dpa/picture alliance

"Analisa Macron tidak salah"

Kontroversi yang ditimbulkan oleh ucapan Macron tidak berarti bahwa dia salah, kata Jeremy Shapiro, direktur penelitian European Council of Foreign Relations. "Saya menduga sebagian besar [pemimpin Eropa] setuju soal ingin mempertahankan kemandirian, menjalin hubungan dengan Cina, dan faktanya, Taiwan memang bukan masalah Eropa," katanya kepada DW.

Tapi masalahnya, jelas Saphiro, adalah bahwa Macron mengatakan itu secara terbuka dan tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan sekutunya. Selain itu, dia membuat komentar itu dalam konteks kunjungan tingkat tinggi ke Cina, didampingi oleh Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen.

Ini bukan pertama kalinya presiden Prancis memberi komentar yang membuat sebagian kalangan berekerut dahi. Dia pernah menyebabkan polemik serupa dengan menyatakan bahwa aliansi militer NATO menderita "kematian otak" pada tahun 2019. "Saya terkejut bahwa presiden Prancis belum mengetahui... bahwa hal ini tidak benar-benar membawanya ke mana pun," kata Sjeremy Shapiro.

Uni Eropa tidak ingin bersikap keras terhadap Cina

"Dia seorang analis yang sangat baik. Jika dia menginginkan pekerjaan di sebuah think tank, kami akan menerimanya," tambah Jeremya Saphiro, mantan penasihat Departemen Luar Negeri AS. "Tapi, sebagai seorang diplomat dia tidak sebaik itu."

Untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari setahun, Beijing telah meluncurkan latihan militer besar-besaran di sekitar Taiwan. Latihan Joint Sword selama tiga hari turut menampilkan kapal perang dan jet tempur mensimulasikan serangan yang ditargetkan ke Taiwan.

Presiden AS Joe Biden telah lama mendorong sekutu Eropanya untuk mengambil tindakan lebih keras terhadap Beijing. Antara lain karena tuduhan Cina melaksanakan praktik ekonomi dan industri yang tidak adil serta pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi banyak negara Uni Eropa mungkin tidak ingin bersikap terlalu keras terhadap Cina, kata Saphiro.

(hp/pkp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait