Tidak mudah menjadi Uni Eropa, yang dianggap sebagai pialang dan pengawal kesepakatan nuklir Iran yang tidak lagi diinginkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Iklan
Dalam upaya untuk tidak hanya meninggalkan tetapi mengubur Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015, Washington mengancam akan menuntut perusahaan Eropa jika mereka melakukan bisnis dengan Iran seperti yang diizinkan oleh perjanjian.
Sementara Iran mengancam akan kembali menjalankan aktivitas pengayaan nuklir dalam 60 hari jika Eropa tunduk pada desakan AS.
Tapi tidak ada drama birokrasi dari Uni Eropa karena ancaman tersebut. "Meskipun kami tidak menerima ultimatum apa pun," kata seorang pejabat senior Uni Eropa yang berbicara tanpa menyebut nama, "pengumuman Iran bukan merupakan pelanggaran atau penarikan perjanjian nuklir. Kami akan terus mematuhi komitmen kami selama Iran melakukannya. "
Seberapa nyata ancaman Iran hanya akan diketahui melalui pemantauan rutin Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang laporan berikutnya akan selesai dalam beberapa minggu. Pada 14 hasil pengawasan terakhir, Iran lulus dengan mulus.
Tetapi dengan sanksi AS yang mengancam di setiap kesempatan, tidak jelas apakah Eropa - atau mitra lainnya, Cina dan Rusia - akan dapat meningkatkan perdagangannya dengan Iran.
Ellie Geranmayeh dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri mengatakan kepada DW bahwa dia tidak berpikir kesepakatan itu masih dalam pergolakan fana karena tidak ada pihak yang ingin membiarkannya berantakan. Geranmayeh adalah penasihat pemerintah dan perusahaan Eropa selama negosiasi perjanjian berlangsung. Dia menganggap langkah Iran sebagai "tekanan eskalasi, tembakan peringatan, dan tidak melanggar kesepakatan secara signifikan."
Iran merasa telah memenuhi persyaratan, namun belum meraih manfaat ekonomi seperti yang dijanjikan, papar Geranmayeh. "[Teheran] berharap bahwa hal minimum yang dapat dilakukan Eropa adalah mengoperasionalkan mekanisme INSTEX" yang dirancang untuk memungkinkan pembayaran barang tanpa memicu sanksi AS. Proses itu telah berlangsung selama satu tahun, tapi belum dioperasikan, kata para pejabat.
Lika-Liku Kesepakatan Nuklir Iran
Donald Trump telah secara resmi menarik AS dari perjanjian nuklir internasional dengan Iran. Pemerintah AS terdahulu telah dengan susah payah menegosiasikannya selama bertahun-tahun dengan lima mitra internasional.
Foto: picture-alliance/epa/D. Calma
Yang menjadi masalah
Fasilitas nuklir Iran Bushehr adalah salah satu dari lima fasilitas yang dikenal oleh pengamat internasional. Israel, Amerika Serikat dan negara-negara sekutu telah sepakat bahwa usaha Iran memperkaya uranium - untuk keperluan energi domestik, menurut para pejabat di Teheran - dapat menjadi ancaman bagi kawasan jika hal itu berujung pada pengembangan senjata nuklir.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir dari masalah
Pada 2006, lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Cina, Rusia, Prancis, Inggris) dan Jerman (P5+1) memulai proses negosiasi yang melelahkan dengan Iran yang akhirnya mencapai kesepakatan pada 14 Juli 2015. Negara-negara tersebut sepakat memberikan kelonggaran sanksi pada Iran. Sebagai gantinya, pengayaan uranium Iran harus terus dipantau.
Foto: picture alliance / landov
Rakyat Iran setuju
Di Teheran dan kota-kota lain di Iran, warga merayakan apa yang mereka yakini sebagai akhir dari isolasi ekonomi bertahun-tahun yang memberi efek serius pada kesehatan dan gizi masyarakat karena kurangnya akses ke pasokan medis dan makanan untuk warga biasa. Banyak juga yang melihat perjanjian itu sebagai bukti bahwa Presiden Hassan Rouhani berusaha untuk membuka Iran ke dunia dengan cara lain.
Foto: picture alliance/AA/F. Bahrami
Peran IAEA
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) ditugaskan untuk memantau kepatuhan Iran kepada kesepakatan itu. Direktur Jenderal IAEA Yukiya Amano (kiri) pergi ke Teheran untuk bertemu dengan Rouhani pada bulan Desember 2016, hampir satu setengah tahun setelah kesepakatan itu ditandatangani. Dalam laporan yang disampaikan setiap tiga bulan, IAEA berulang kali menyertifikasi kepatuhan Iran.
Foto: picture alliance/AA/Iranian Presidency
Sang oponen
Setelah delapan tahun dengan Barack Obama, PM Israel Benjamin Netanyahu menemukan sosok presiden AS yang ia inginkan dalam Donald Trump. Meski Trump tidak memiliki pengalaman dalam diplomasi dan ilmu nuklir, ia menyebut perjanjian internasional tersebut sebagai "kesepakatan terburuk yang pernah dinegosiasikan." Hal ini juga menjadi pokok kampanye pemilunya di 2016.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Siapa yang masih ada?
Meskipun ada sertifikasi IAEA dan protes dari Kemlu AS, Trump tetap menarik AS dari perjanjian pada 8 Mei. Pihak-pihak lain telah berjanji untuk tetap berada dalam kesepakatan. Diplomat top Uni Eropa, Federica Mogherini (kiri), sudah melakukan pembicaraan dengan para menteri luar negeri dari (ki-ka) Iran, Prancis, Jerman dan Inggris.
Foto: picture-alliance/Photoshot
6 foto1 | 6
Pada saat yang sama, Geranmayeh mengakui batas waktu yang diberikan oleh Teheran bermasalah karena jika tidak dipenuhi, risikonya Iran harus mengikuti kesepakatan. Uni Eropa tidak dapat membiarkan Iran membangkitkan kembali kekuatan nuklirnya, sehingga "pada suatu titik [Iran] akan mencapai garis merah Eropa jika ini terus berlanjut."
Di sisi lain, ia memperkirakan, pertaruhan berisiko tinggi ini mungkin bertujuan untuk memiliki nilai lebih untuk akhirnya melakukan negosiasi langsung dengan Amerika Serikat.
Terjebak di tengah dengan Uni Eropa
Uni Eropa, sementara itu, berada dalam "tempat yang tidak menyenangkan," menurut Jon Wolfsthal, seorang pakar non-proliferasi yang bertugas di pemerintahan Obama, dan ia terutama menyalahkan AS untuk itu.
"Ini adalah situasi yang tak diinginkan siapa pun," tegasnya. "Kesepakatan nuklir Iran berhasil: Iran mematuhi persyaratannya, Eropa menerapkannya dan AS mengimplementasikannya."
Namun pemerintahan Trump berargumen bahwa perjanjian itu membuat Teheran diloloskan terlalu mudah dalam upaya Iran mengendalikan nuklir dan bahwa langkah-langkah Iran lainnya juga harus dibatasi, seperti pengembangan rudal balistik dan dukungan untuk kelompok-kelompok proksi yang bermusuhan dengan AS di Timur Tengah. Setelah AS keluar tepat setahun yang lalu, pemerintah AS terus melakukan segala kemungkinan untuk memecah lima penandatangan lainnya, Inggris, Prancis dan Jerman, ditambah Cina dan Rusia.
"Dia tidak memiliki solusi untuk bagaimana mencapai kesepakatan yang lebih baik tetapi sekarang akan menekan rezim Iran sebanyak yang dia bisa dan menempatkan orang Eropa di tengah," kata Wolfsthal. Ia menambahkan, bahwa tujuan pemerintah sedang dielakkan oleh keputusannya sendiri.
"Ada beberapa negara Eropa yang karena kurangnya itikad baik yang tersisa dengan Amerika Serikat, akan berpihak secara terbuka kepada Iran," dia memperkirakan, "ini bukan merupakan situasi yang diinginkan oleh Amerika Serikat."
7 Fakta Program Nuklir Arab Saudi
Mohammed bin Salman berambisi menguasai teknologi nuklir buat menyaingi Iran. Namun AS bersikap mendua lantaran mendapat penolakan dari Israel. Apakah program nuklir Arab Saudi akan mengubah lanskap politik Timur Tengah?
Foto: picture-alliance/empics/V. Jones
Negeri Minyak Melirik Nuklir
Tahun 2016 silam pangeran Mohammed bin Salman memublikasikan program jangka panjang bernama Vision 2030 untuk mentransformasi perekonomian Arab Saudi setelah era kejayaan minyak berakhir. Salah satunya adalah diversifikasi sumber energi, antara lain melalui energi nuklir. Dalam 25 tahun kedepan, Arab Saudi berniat membangun sedikitnya 16 reaktor nuklir dengan biaya lebih dari 80 milyar Dollar AS.
Foto: Getty Images/AFP/G. Cacace
Senjata Pemusnah Massal?
Dalam sebuah wawancara Pangeran Mohammed bin Salman mengutarakan ambisinya mengembangkan senjata nuklir untuk mengimbangi Iran. "Arab Saudi tidak menginginkan senjata nuklir, tapi jika Iran memiliki senjata nuklir, kami akan mengikutinya." Kepemilikan senjata nuklir oleh Arab Saudi diyakini akan memperuncing Perang Dingin di Timur Tengah dan menempatkan kawasan dalam bahaya kiamat nuklir.
Foto: picture-alliance/dpa/US Department of Energy
Poros Nuklir
Meski keberatan terhadap eksistensi program nuklir di negara Arab, Amerika Serikat berkepentingan mendikte transfer teknologi nuklir kepada Arab Saudi, ketimbang mengalah pada Cina atau Rusia. Namun Riyadh tidak ingin menunggu lampu hijau dari Washington. Saat ini Arab Saudi diisukan aktif menjalin komunikasi dengan Rusia terkait alih teknologi nuklir.
Foto: picture-alliance /ZUMAPRESS/P. Golovkin
Tekanan dari Israel
Iran aktif menyimak perkembangan program nuklir Arab Saudi. Sementara Israel melobi pemerintah Amerika Serikat untuk tidak menjual teknologi nuklir kepada negeri Wahabi tersebut. Ketika Donald Trump menolak keberatan Yerusalem, PM Benjamin Netanyahu mendesak agar AS setidaknya melarang Arab Saudi memperkaya uranium di dalam negeri.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Vucci
Ultimatum bin Salman
Namun Riyadh justru mendesak mendapat hak serupa Iran untuk bisa memperkaya Uranium di dalam negeri. Mohammed bis Salman berdalih, selain memiliki cadangan uranium dalam jumlah tinggi, Arab Saudi juga bisa melepas kebergantungan energi dengan memiliki fasilitas pengolahan uranium milik sendiri.
Foto: picture-alliance/empics/V. Jones
Tersandung Perjanjian Nuklir Iran
Tidak sedikit politisi di Washington dan Yerusalem yang meyakini, satu-satunya cara membatasi penyebaran teknologi nuklir di Timur Tengah dan meredakan ambisi atom Riyadh adalah dengan mengubah atau membatalkan sepenuhnya perjanjian atom Iran. Dalam hal ini Iran sudah mengantongi dukungan Rusia, Cina dan Uni Eropa untuk tetap mempertahankan perjanjian nuklir sebagaimana adanya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Kenare
Demam Nuklir di Timur Tengah
Arab Saudi bukan satu-satunya negara Timur Tengah yang melirik energi nuklir. Uni Emirat Arab sudah mulai mengoperasikan pembangkit listrik pertama dengan nilai 25 miliar Dollar AS. Sementara Mesir telah menandatangani perjanjian pembangunan empat pembangkit listrik tenaga nuklir senilai 30 miliar Dollar AS dengan Rusia. Yordania juga menggandeng Rusia buat mengawal program nuklirnya.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
7 foto1 | 7
Eropa dan AS
Sejalan dengan itu, pada hari yang sama Iran membuat pengumuman, sebuah surat terbuka dari direktur 18 lembaga think tank Eropa dirilis yang meminta AS untuk bergabung kembali dengan perjanjian tersebut.
Sebagian isi suratnya menuntut agar "pendukung JCPOA di seluruh dunia harus meningkatkan koordinasi untuk memastikan bahwa sanksi AS tidak menghambat stabilitas ekonomi dan kerja sama teknis nuklir Iran perlu mematuhi kesepakatan (...) Yang terpenting, pendukung JCPOA di Eropa dan di tempat lain harus mengartikulasikan kembali manfaat perjanjian kepada berbagai audiens AS - dalam pemerintahan, Kongres, komunitas ahli dan media - sehingga jelas bahwa satu-satunya cara untuk menuai manfaat penuh dari JCPOA dan membangun di atasnya adalah untuk AS bergabung kembali."
Axel Hellman, seorang rekan kebijakan di Jaringan Kepemimpinan Eropa, yang membantu mengoordinasikan pesan bersama selama bulan lalu, mengatakan walau Iran tidak mengambil jalur paling dramatis yang bisa mereka lakukan, tetap saja potensinya berbahaya.
"Di Washington, banyak orang akan merujuk pada masalah ini dan mengatakan 'baiklah ini yang kami katakan selama ini, ini adalah kesepakatan yang buruk, Anda tidak bisa mempercayai Iran, kami perlu mengambil tindakan'," kata Hellman.
Lebih tidak jelas bagaimana kelanjutannya di Eropa, katanya. "Jelas risikonya sudah naik, tetapi masih ada waktu untuk solusi diplomatik."
Ini berlaku selama Teheran masih menerima aturan tentang aktivitas nuklir. Sebelum tenggat waktu 60 hari yang diberikan Iran, akan datang laporan IAEA. Jika itu menunjukkan pelanggaran, pejabat senior Uni Eropa meyakinkan, "kami akan bereaksi." (vlz/rzn)
Menakar Ancaman Teror Nuklir
IAEA dan NATO pernah meramalkan skenario muram bahwa kelompok teror mampu memiliki senjata nuklir. Pencurian dan perdagangan ilegal membuat skenario tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Berikut fakta-faktanya
Foto: DW/K.Jäger
Gertak Sambal El Baradei?
Mantan Direktur Badan Tenaga Atom Internasional, Mohammed el-Baradei, 2009 silam pernah merapal mimpi buruk, bahwa "terorisme nuklir adalah ancaman terbesar yang dihadapi dunia saat ini." Menteri Pertahanan Inggris, Michael Fallon, pun mengutarakan hal senada. Tapi seberapa realistis skenario tersebut?
Foto: Getty Images/AFP
Ambisi Nuklir Serdadu Tuhan
Adalah Osama Bin Laden yang 1998 lalu pertama kali memfatwakan "kewajiban kaum muslim rebut senjata nuklir buat lindungi Islam." Dalam laporannya, militer AS menilai saat ini Al-Qaida adalah kelompok yang paling mumpuni dalam hal teknologi nuklir. Al-Qaida tercatat berhubungan erat dengan Bashiruddin Mahmood, Bekas Kepala Program Nuklir Pakistan yang bersimpati terhadap kelompok ekstremis Islam
Foto: AP
Membidik Instalasi Nuklir Sipil
Celah keamanan terbesar ada pada instalasi nuklir sipil. Saat ini dari 130 reaktor percobaan atau laboraturium nuklir yang tersebar di seluruh dunia, 40 di antaranya berada di negara berkembang seperti Pakistan, Ghana dan Libya. Dalam laporannya tahun 2013 silam, IAEA mengeluhkan rentannya sistem keamanan pada instalasi nuklir di negara berkembang
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
Uranium dari Mosul
Juli 2014 Duta Besar Irak untuk PBB, Mohamed Ali Alhakim, melaporkan bahwa Islamic State mencuri 40 Kilogram Uranium berkonsentrasi rendah dari laboraturium nuklir Universitas Mosul. Elemen tersebut adalah warisan program nukir rejim Saddam Hussein. NATO meyakini, ISIS memiliki dana cukup dan tenaga ahli dari barat untuk mulai mengembangkan apa yang disebut Improvised Nuclear Device (IND)
Foto: picture-alliance/AP Photo
Peluang Lewat Pintu Belakang
Peluang lain buat mendapatkan senjata nuklir adalah lewat jalur ilegal. Tahun 2006 seorang warga Rusia, Oleg Khinsagov ditangkap di Georgia saat membawa 100 gram Uranium yang telah diperkaya (HEU). Ia mengaku membawa sampel buat dijual. 2007 lalu sekelompok pria bersenjata merampok laboraturium nuklir Pelindaba di Afrika Selatan dan mencuri Uranium yang jumlahnya cukup untuk 30 senjata nuklir
Foto: Getty Images
Lenyap ke Pasar Gelap
Sejak tahun 1993, IAEA mencatat sebanyak 421 kilogram zat radioaktif berkonsentrasi tinggi dilaporkan hilang oleh negara-negara anggotanya. Tidak jelas siapa yang mencuri atau membeli elemen beracun tersebut. Pengawas nuklir PBB itu juga sejak tahun 1993 melaporkan seluruhnya 18 kasus kepemilikan ilegal Uranium berkonsentrasi tinggi dan Plutonium .
Foto: PD
Bumbu dari Neraka
Untuk meracik senjata nuklir diperlukan empat kilogram Plutonium atau 25 kilogram Uranium yang telah diperkaya (HEU). Tapi ketika Plutonium memancarkan radiasi tinggi sehingga mudah dideteksi, Uranium sebaliknya lebih mudah diselundupkan, kata William C. Potter, pakar nuklir di Monterey Institute of International Studies di Kalifornia.
Militer Amerika Serikat mengaku pernah kehilangan 11 hulu ledak nuklir. Jumlah serupa juga diyakini pernah raib dari gudang senjata Rusia. Kendati tidak mustahil, mencuri senjata nuklir bukan hal yang mudah. Teknologi terbaru melibatkan sistem keamanan yang tidak lagi berbasis pada kode rahasia, melainkan serangkaian perubahan temperatur dan tekanan udara buat mengaktifkan hulu ledak nuklr
Foto: DW/K.Jäger
Bom Kotor dari Langit
Ketika senjata nuklir buat teroris masih jauh panggang dari api, para serdadu tuhan itu bisa membuat bom kotor alias "dirty bomb" buat menyerang kota-kota besar. Dirty bomb pada dasarnya adalah bahan peledak konvensional yang dibubuhi agen radioaktif untuk menyebar racun mematikan tersebut. Selain elemen nuklir, bom kotor juga bisa berisi muatan racun kimia atau bahkan virus mematikan