Uni Eropa memberikan tambahan waktu untuk Indonesia dan baru akan melarang minyak sawit pada 2030. Keputusan ini merupakan kompromi menyusul penolakan Dewan dan Komisi Eropa yang menolak tenggat waktu larangan sawit.
Iklan
Pertemuan trilog antara Parlemen, Dewan dan Komisi Eropa membuahkan kompromi terkait impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya parlemen Eropa menetapkan akan melarang penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran biodiesel pada 2021. Namun rencana tersebut memicu protes dari kedua negara.
Kini ketiga pihak menyepakati akan memberikan tambahan waktu bagi Indonesia dan Malaysia. Kandungan minyak sawit dalam biodiesel nantinya tidak lagi akan termasuk sasaran iklim Uni Eropa dan baru akan dilarang sepenuhnya pada 2030. Uni Eropa juga memutuskan akan mempertahankan volume impor serupa 2019 dan akan mengurangi impor minyak sawit secara perlahan mulai tahun 2023.
"Hasil ini adalah terobosan yang unik," kata anggota parlemen Eropa asal Belanda, Bas Eickhout yang ikut serta dalam perundingan tersebut. Eickhout yang berasal dari Partai Hijau mengaku pihaknya ingin menghentikan permintaan atas minyak sawit sebagai sumber bahan bakar. Bahkan jika penggunaan minyak sawit sebagai sumber energi diatur oleh UE, produk yang diimpor hanya boleh berasal dari perkebunan yang telah bersertifikat.
"Bersertifikat atau tidak, penggunaan minyak sawit dari sudut pandang perlindungan lingkungan lebih buruk ketimbang penggunaan bahan bakar fossil," ujarnya kepada DW.
Bagaimana Ambisi Iklim Eropa Membunuh Hutan Indonesia
Ambisi Eropa mengurangi jejak karbonnya menjadi petaka untuk hutan Indonesia. Demi membuat bahan bakar kendaraan lebih ramah lingkungan, benua biru itu mengimpor minyak sawit dari Indonesia dalam jumlah besar.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Oelrich
Hijau di Eropa, Petaka di Indonesia
Bahan bakar nabati pernah didaulat sebagai malaikat iklim. Untuk memproduksi biodiesel misalnya diperlukan minyak sawit. Sekitar 45% minyak sawit yang diimpor oleh Eropa digunakan buat memproduksi bahan bakar kendaraan. Namun hijau di Eropa berarti petaka di Indonesia. Karena kelapa sawit menyisakan banyak kerusakan
Foto: picture-alliance/dpa/J. Ressing
Kematian Ekosistem
Organisasi lingkungan Jerman Naturschutzbund melaporkan, penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran untuk Biodiesel meningkat enam kali lipat antara tahun 2010 dan 2014. Jumlah minyak sawit yang diimpor Eropa dari Indonesia tahun 2012 saja membutuhkan lahan produksi seluas 7000 kilometer persegi. Kawasan seluas itu bisa dijadikan habitat untuk sekitar 5000 orangutan.
Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
Campur Tangan Negara
Tahun 2006 silam parlemen Jerman mengesahkan regulasi kuota bahan bakar nabati. Aturan tersebut mewajibkan produsen energi mencampurkan bahan bakar nabati pada produksi bahan bakar fossil. "Jejak iklim diesel yang sudah negatif berlipat ganda dengan campuran minyak sawit," kata Direktur Natuschutzbund, Leif Miller.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Komoditas Andalan
Minyak sawit adalah komoditi terpanas Indonesia. Selain bahan bakar nabati, minyak sawit juga bisa digunakan untuk memproduksi minyak makan, penganan manis, produk kosmetika atau cairan pembersih. Presiden Joko Widodo pernah berujar akan mendorong produksi Biodiesel dengan campuran minyak sawit sebesar 20%. Di Eropa jumlahnya cuma 7%.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Menebang Hutan
Untuk membuka lahan sawit, petani menebangi hutan hujan yang telah berusia ratusan tahun, seperti di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau, ini. "Saya berharap hutan ini dibiarkan hidup selama 30 tahun, supaya semuanya bisa kembali tumbuh normal," tutur Peter Pratje dari organisasi lingkungan Jerman, ZGF. "Tapi kini kawasan ini kembali dibuka untuk lahan sawit."
Foto: picture-alliance/dpa/N.Guthier
Kepunahan Paru paru Bumi
Hutan Indonesia menyimpan keragaman hayati paling kaya di Bumi dengan 30 juta jenis flora dan fauna. Sebagai paru-paru Bumi, hutan tidak cuma memproduksi oksigen, tapi juga menyimpan gas rumah kaca. Ilmuwan mencatat, luas hutan yang menghilang di seluruh dunia setiap enam tahun melebihi dua kali luas pulau Jawa
Foto: Getty Images
6 foto1 | 6
Organisasi lingkungan sempat mengritik hasil perundingan tidak membantu mengurangi laju deforestasi di Indonesia. Namun Eickhout mengatakan Komisi Eropa dan Dewan Eropa yang beranggotakan negara negara UE awalnya menolak tenggat waktu bagi minyak sawit. Penolakan itu menurut Eickhout "pastinya" akibat lobi politik yang dilancarkan Indonesia dan Malaysia.
Diplomasi sawit juga berhasil mencegah digunakannya istilah "minyak sawit" dalam dokumen perjanjian, melainkan "tanaman pangan" yang dikategorikan "tidak termasuk energi terbarukan."
Lain halnya dengan ucapan Vincent Guérend, Duta Besar Uni Eropa di Indonesia. Menurutnya Uni Eropa tidak secara spesifik membidik minyak sawit ketika menyusun sasaran pertumbuhan energi terbarukan. Ia menekankan keputusan trilog tersebut sekaligus membuka pasar Uni Eropa bagi minyak sawit dari Indonesia.
Kabar tersebut disambut Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Dengan adanya tambahan waktu, Indonesia bisa memperbaiki tata kelola produksi sawit. "Setidaknya, bisa bernafas agak panjang dari waktu 2021 diundur menjadi 2030,” ujar Rino Afrino, Wakil Sekjen APKASINDO, kepada situs Sawit Indonesia.
Biteback: Potensi Minyak Serangga Gantikan Minyak Sawit
Penggagasnya anak-anak muda. Idenya gantikan minyak kelapa sawit yang produksinya selama ini tidak ramah lingkungan, dengan memanfaatkan serangga.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Bermula dari eksperimen
Para anak muda yang tergabung dalam start up Biteback melakukan berbagai eksperimen dengan serangga. Hasilnya, minyak makan dibuat dari serangga. Potensinya bisa gantikan fungsi minyak kelapa sawit. Biteback telah mengembangkan sebuah proses untuk mengekstrak minyak dari serangga yang dapat dimakan. Ini adalah pilihan yang jauh lebih berkelanjutan untuk kelapa sawit.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Memanfaatkan ulat kumbang hitam
Jenis ulat yang digunakan adalah ulat kumbang hitam atau larva kumbang. Para peneliti mengikuti kompetisi-kompetisi internasional di manca negara sebelum berbuka usaha. Selain berkompetisi mereka juga terus menimba ilmu kembangkan bio teknologi yang berkaitan dengan pengembangan minyak serangga ini.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Gantikan minyak kelapa sawit
Maraknya perkebunan sawit telah mengundang kekhawatiran aktivis lingkungan karena besarnya penghancuran hutan untuk melakukan pertanian monokultur. Diharapkan di masa mendatang, minyak serangga ini bisa gantikan fungsi minyak sawit yang dianggap rugikan lingkungan lewat penebangan hutan besar-besaran yang juga telah banyak hancurkan ekosistem di Indonesia.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Fungsinya serupa
Tak jauh beda dengan kelapa sawit, minyak serangga bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam industri, mulai dari industri makanan, kosmetika hingga bahan bakar. Menurut peneliti yang terjun dalam bisnis ini, jika dalam setahun, minyak yang diproduksi sawit 4 ton per hektar, maka dalam satu hektar, bisa dihasilkan 150 ton minyak serangga dalam setahun.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Konsumsi Anda
Minyak sawit digunakan dalam banyak produk. Anda mungkin bahkan tidak menyadari berapa banyak yang Anda konsumsi dalam setahun. Ini adalah minyak nabati yang paling diperdagangkan secara internasional, dapat ditemukan di 50% semua barang kemasan mulai dari bahan makanan hingga kosmetik. Jika minyak serangga bisa gantikan fungsinya, diharapkan kerusakan akibat sawit dapat dikurangi.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Pakan dari limbah
Serangga membutuhkan sedikit pakan, air, tanah, dan hampir tidak menghasilkan gas rumah kaca. Tak sulit dipelihara, menurut para peneliti yang kini terjun di bisnis minyak serangga, pakan ulat kumbang hitam ini adalah limbah-limbah organik.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Berkompetisi sambil gaet pemodal
Salah seorang peneliti dan pebisnis Mush'ab Nursantio menceritakan, beberapa bulan setelah ikut berbagai kompetisi di manca negara, mereka berhasil menggaet para investor. Akhirnya ia dan rekan-rekannya pulang ke tanah air dan memberanikan diri membuka bisnis ini.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Menarik perhatian publik
Bisnis Biteback ini menarik tim Founders Valley DW untuk berkunjung dan melihat bagaimana cara kerja mereka. Dalam foto, tampak Fridtjof Detzner, organisator kompetisi Founders Valley DW, terjun langsung ke Indonesia dan lokasi bisnis. Start up ini adalah salah satu ide bisnis cemerlang.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Mengatasi anemia
Minyak serangga, selain bisa mereduksi penggundulan hutan, juga bisa memberi nutrisi penting bagi dunia dengan metode yang mudah digunakan. Minyak yang telah dibuat oleh Biteback sama dengan minyak goreng biasa. Dan karena minyaknya terbuat dari serangga, kandungan zat besinya tinggi sehingga bisa mengatasi anemia.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Ulat gorengnya bisa dimakan
Entomofag, atau memakan serangga, baru-baru ini mendapat banyak perhatian sebagai cara yang menjanjikan untuk mengatasi beberapa tantangan makanan dan gizi utama, yang dihadapi dunia. Serangga yang dapat dimakan karena sangat bergizi, mengandung asam lemak esensial, protein, kandungan mineral dan biokimia bernilai tinggi lainnya.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Menangkan 10 ribu Euro
Anda punya ide bisnis cemerlang semacam ini ? Ikuti kontes Founders Valley DW. Kirim video gagasan start up atau bisnis Anda. Pemenangnya akan mendapat hadiah 10.000 Euro. Ditunggu hingga 15 November 2017.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
11 foto1 | 11
Hal senada diungkapkan Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) yang menyebut keputusan Uni Eropa dibuat "pada waktu yang tepat." Hal senada diungkapkan Perdana Menteri Serawak, James Jemut Masing. "Jika larangan minyak sawit sebagai bahan dasar energi diterapkan, kita harus mencari pasar lain," ujarnya seperti dilansir Borneo Post. Skenario tersebut dianggap tidak menyulitkan lantaran tingginya permintaan dari Cina dan India.
Saat ini Sarawak telah memiliki "masterplan" untuk mengubah dua juta hektar lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Pakar agrikultur memperkirakan, tenggat waktu pada 2030 mungkin disesuaikan dengan periode tanam pohon sawit di Indonesia yang mulai aktif membuka perkebunan sawit pada 2005 silam. Seperti diketahui, pohon sawit memiliki usia produktif selama 25 tahun. Dengan begitu Indonesia memiliki waktu untuk mengubah tata kelola sawit menjadi lebih ramah lingkungan.
Wakil Sekjen APKASINDO Rino Afrino menyebut pemerintah akan melakukan sejumlah hal untuk memperbaiki tata kelola sawit, antara lain peningkatan daya saing perkebunan rakyat, peningkatan produktivitas, penambahan kapasitas dan kompetensi petani dan manajemen pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)