1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Universitas Jerman: Antara Kuliah Digital dan Tatap Muka

Wolfgang Dick
9 September 2020

Sejak pandemi corona merebak, ruang kuliah di Jerman yang biasanya penuh sesak mendadak kosong. Banyak universitas dipaksa memicu "digitalisasi" , tapi sebagian akademisi menekankan pentingnya kuliah tatap muka.

Kuliah online di Universitas Halle, Jerman
Kuliah online di Universitas Halle, JermanFoto: picture-alliance/dpa/W. Grubitzsch

Pada Maret lalu ketika wabah corona merebak, mahasiswa di Jerman yang mengikuti satu dari sekitar 18.000 program akademik di negeri itu tiba-tiba tidak bisa lagi menghadiri kuliah di kampus atau pergi ke perpustakaan universitas. Universitas ditutup karena wabah corona. Semua program pembelajaran beralih ke dunia maya. Awalnya, ada antusiasme untuk lompatan teknologi ini.

"Tidak ada yang langsung menolak," kata Bernhard Kempen, Presiden Asosiasi Profesor dan Dosen Jerman. Apalagi, kata dia, para tenaga pengajar mendapat dukungan dalam teknologi yang dibutuhkan.

Bernhard Kempen selanjutnya menerangkan, prioritas lembaga pendidikan saat itu adalah memastikan bahwa semua mahasiswa dapat melanjutkan studi mereka dengan sukses, sekalipun kampus ditutup. Memang sempat ada usulan untuk "membatalkan" seluruh semester, namun hal itu segera ditolak.

Belajar online perlu pembiayaan.Foto: picture-alliance/dpa/J. Stratenschulte

Masalah utama pembelajaran digital: infrastruktur teknologi

Tapi tidak semua mahasiswa bisa segera menyesuaikan diri dengan perubahan itu. "Saya tidak memiliki akses internet yang baik" adalah salah satu keluhan utama yang dikumpulkan Federasi Mahasiswa Jerman, FZS. Selain itu, mahasiswa juga mengeluhkan tidak memiliki perangkat komputer yang layak, atau tempat tinggal yang " tidak cukup tenang".

Meskipun banyak universitas meminjamkan laptop kepada mahasiswa untuk membantu pengalihan ke pembelajaran digital, masalah yang lebih besar adalah uang, kata Amanda Steinmaus dari FZS. Sebagian besar mahasiswa harus bekerja selama kuliah untuk menutupi kebutuhan keuangannya.

"Masalahnya, banyak mahasiswa kehilangan pekerjaan di restoran dan kafe atau di pameran-pameran dagang," jelas Amanda Steinmaus, yang mengambil jurusan bahasa Inggris dan sejarah di Universitas Duisburg-Essen.

Memang ada bantuan sampai 500 euro dari pemerintah Jerman untuk mahasiswa selama masa pandemi, tapi "terkadang (prosedur) sangat rumit," bagi mahasiswa untuk membuktikan bahwa mereka berhak menerima dana bantuan itu, katanya.

Teknologi digital tidak bisa gantikan kuliah tatap muka

Banyak mahasiswa yang sekarang menuntut agar kuliah tatap muka dimulai lagi. Sebagian khawatir mereka tidak bisa menyelesaikan studi pada waktunya, sekalipun universitas juga menawarkan ujian secara online lewat konferensi video atau dengan ujian tertulis.

"Mereka (mahasiswa) belajar dengan serius. Mereka sangat disiplin - yang dapat kita lihat dari jumlah orang yang mendaftar untuk menghadiri kuliah online," kata Bernhard Kempen. Tetapi tentu saja, pembelajaran digital tidak bisa menggantikan kuliah tatap muka.

Lebih dari 5.900 guru perguruan tinggi dan universitas di Jerman sekarang menandatangani surat terbuka yang menyerukan untuk kembali ke pengajaran langsung - dengan alasan bahwa universitas adalah tempat "pertemuan", dan kehidupan kampus adalah "fase kolektif" bagi mahasiswa, di mana mereka menjalin persahabatan dan jaringan yang mereka perlukan.

Para penandatangan menulis, pengajaran langsung di universitas didasarkan pada "pertukaran kritis, kerjasama dan hubungan saling percaya antara orang-orang dewasa," yang sulit dilakukan dengan kuliah online. Beberapa akademisi juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa para politisi kini getol menyerukan "lompatan digital" dalam pembelajaran di universitas hanya agar mereka bisa menghemat anggaran pendidikan.

"Pembelajaran secara langsung akan dilengkapi - tetapi tidak pernah digantikan - dengan kursus digital," kata Bernhard Kempen.

(hp/gtp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait