Ratusan ribu peserta unjuk rasa turun ke jalan menuntut perombakan sistem politik di Irak. Para pengunjuk rasa juga mengajak orang-orang berpengaruh di Irak, dan memperingatkan pihak asing untuk tidak ikut campur.
Iklan
Para pengunjuk rasa mulai bergerak ke pusat Baghdad, Irak, pada Jumat (1/11), dan menggelar aksi protes anti pemerintah terbesar sejak demonstrasi pertama, yang terjadi sebulan lalu.
Ratusan ribu orang berkumpul di Tahrir Square, mengibarkan bendera Irak dan menuntut agar pemerintah mundur dan parlemen dibubarkan.
Diperkirakan 350 orang terluka dalam demonstrasi ini, setelah pasukan keamanan menembakkan peluru karet dan granat gas untuk memukul mundur pengunjuk rasa, agar menjauh dari jembatan yang mengarah ke zona hijau, di pusat pemerintahan Irak.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo, mengatakan bahwa pemerintah Irak harus mendengarkan "tuntutan utama" dari para pengunjuk rasa. Pempeo juga menambahkan bahwa penyelidikan resmi Irak terhadap kekerasan yang terjadi selama unjuk rasa pertama, tidak cukup.
Sejak gelombang protes pertama dimulai pada awal Oktober, sedikitnya 250 orang telah tewas, sementara sekitar 10.000 orang terluka akibat tindakan pasukan keamanan.
Pengunjuk rasa di Baghdad, pada Jumat (1/11) juga mengecam keras keterlibatan Iran dalam urusan protes yang terjadi di Irak. Ulama-ulama di Irak memperingatkan para pihak asing agar tidak ikut campur dalam protes.
Dalam khotbah mingguannya, ulama Syiah Ali al-Sistani, mengatakan bahwa Irak tidak boleh diseret ke dalam "jurang pertikaian."
"Tidak ada orang atau kelompok, tidak ada pihak dengan pandangan tertentu, tidak ada pihak regional atau internasional yang dapat merebut keinginan rakyat Irak dan memaksakan kehendaknya," ujarnya.
Iran menjadi kekuasaan utama di Irak setelah penggulingan terhadap Saddam Hussein terjadi pada 2003. Iran mendukung pemerintah Irak saat ini dan mempertahankan hubungan dengan pasukan yang didukung oleh negara tersebut.
Bagaimana Iran Menangkan Perang Dingin Lawan Arab Saudi
Iran sedang di atas angin. Negeri Syiah itu tidak hanya memanen rezeki dari perjanjian nuklir, tapi juga mendesak Arab Saudi dan melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah. Riyadh yang mulai gugup bertaruh pada Donald Trump
Foto: Irna
Damai di Dalam Negeri
Popularitas Presiden Hassan Rouhani menguat sejak Donald Trump berkuasa di Gedung Putih. Saat ini Iran fokus memanen sebanyak mungkin keuntungan dari perjanjian nuklir dan menjaga pengaruhnya di kawasan yang kian meluas. Konsensus itu ikut menjaga stabilitas politik di Teheran.
Foto: Mehr/M.Asgaripour
Banjir Pertumbuhan Ekonomi
Kelonggaran embargo ekonomi membuahkan lonjakan pertumbuhan di sejumlah sektor kunci. Dana Moneter Internasional memperkirakan nilai Produk Domestik Brutto Iran akan meroket dari 23,3 miliar menjadi 427,7 milliar Dollar AS pada 2017. Setelah banjir investasi di Cina, pekan ini giliran Presiden Rusia Vladimir Putin yang datang dan membawa kontrak energi senilai 30 miliar Dollar AS.
Foto: AP
Ramai Diplomasi di Eropa
Di panggung Diplomasi Teheran pun rajin menebar pesona. Eropa kini mendukung Iran mempertahankan perjanjian nuklir yang ingin dipreteli oleh Presiden AS Donald Trump. Agresi Gedung Putih juga mendorong Rusia dan Cina memperkuat dukungannya atas rejim di Teheran.
Foto: Reuters/Sputnik/Alexei Druzhinin/Kremlin
Sekutu di Jantung Teluk
Embargo Arab Saudi dan tiga negara Arab lain hingga kini urung memaksa Qatar memutus pertalian dengan Iran. Malah sebaliknya. Di balik krisis tersebut Doha juga membidik peluang bisnis dengan berekspansi dan menebar investasi. Qatar Airways misalnya membeli Cathay Pacific dan menggandakan kapasitas layanan logistik.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Heimken
Aliansi dengan Turki
Kedua negara adidaya Islam di Timur Tengah itu tidak hanya merangkai aliansi buat memukul kekuatan Kurdi di Irak dan Suriah, tapi juga bahu membahu menggembosi pengaruh Arab Saudi. Ketika krisis Qatar mulai meruncing, Presiden Recep Tayyip Erdogan buru-buru berikrar dukungan pada Doha. Baru-baru ini ketiga negara berupaya mengakali embargo dengan membangun koridor logistik.
Foto: Tasnim
Menumpas Pemberontakan di Irak
Stabilitas keamanan di Irak saat ini nyaris sepenuhnya bergantung pada Iran. Ketika etnis Kurdi menyatakan kemerdekaan di wilayah utara, adalah milisi Syiah dukungan Iran yang membantu pasukan Irak meredam pemberontakan. AS sempat mendesak Irak agar mengusir milisi tersebut. Tapi Baghdad menolak.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Dicenzo
Libanon di Pangkuan Mullah
Pengaruh Teheran pekat menyelebungi Libanon, terutama sejak penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam. Saat ini lingkar kekuasaan di Beirut tidak berdaya menghadapi Hizbullah yang dibekingi Iran. Buat memecah kebuntuan, Perdana Menteri Hariri mengundurkan diri atas desakan Riyadh. Langkah itu juga diduga buat memancing konflik antara Israel dan Hizbullah.
Foto: Mahmoud Zayyat/AFP/Getty Images
Menjebak Saudi di Yaman
Perang saudara yang dikobarkan milisi Houthi di Yaman dengan uluran tangan Teheran menempatkan Arab Saudi dalam posisi pelik. Sejauh ini kampanye militer Riyadh tidak hanya gagal menghancurkan kekuatan milisi Syiah itu, tetapi malah membuahkan hujan kritik dunia internasional karena memicu bencana kemanusiaan.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Al-Ansi
Memperkuat Assad di Suriah
Presiden Suriah Bashar Assad kian kokoh berkat dukungan militer Rusia dan Iran. Kekuasaan Damaskus saat ini melebar lewat Palmayra hingga ke Raqqa. Takluknya ISIS membuka vakum kekuasaan yang dimanfaatkan oleh serdadu pemerintah buat merebut kembali teritori yang hilang. Bahkan Eropa perlahan harus mengakui, perang saudara ini tidak akan menamatkan riwayat rejim Assad.
Foto: Getty Images/AFP/N. Al.Khatib
Pertaruhan bin Salman
Saat tersudut, penguasa de facto Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman mengintip peluang lewat Presiden AS Donald Trump. Ketika Trump berikrar bakal mengambil kebijakan garis keras terhadap Teheran, Riyadh menimpali dengan konfrontasi. AS saat ini adalah satu-satunya sekutu Saudi yang bisa mengganyang pengaruh Iran. Ironisnya kelemahan terbesar pada rencana Arab Saudi adalah Trump sendiri.
Unjuk rasa yang awalnya memprotes masalah korupsi, kurangnya lapangan kerja dan ketersediaan listrik dan air bersih, kini telah berkembang menjadi tuntutan untuk perbaikan sistem politik Irak.
Yang membuat aksi unjuk rasa di Irak menjadi sorotan adalah karena kemarahan publik tidak hanya diarahkan pada elit politik, tetapi juga elit agama.
"Tidak ada satu pun yang mewakili rakyat, bukan Iran, bukan partai politik, bukan ulama. Kami ingin mengambil kembali negara kami," Ali Ghazi, seorang pengunjuk rasa di Baghdad mengatakan kepada kantor berita AFP, Kamis (31/10).