1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kenapa Orang Mengancam Dengan Tindak Kekerasan?

13 Mei 2019

Di era media sosial, ancaman kekerasan bahkan sampai pembunuhan disebarkan di Facebook, Twitter dan kanal media sosial lainnya. Bukan hanya presiden tapi juga politikus pembuat kebijakan.

Symbolbild  Machete
Foto: Imago

Media sosial Indonesia ramai dengan video viral ancaman pembunuhan presiden Jokowi. Seorang pemuda berinisial HS yang telah ditangkap oleh polisi terekam dalam kamera mengatakan "siap penggal kepala" Presiden Jokowi pada acara demonstrasi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Jakarta.

HS dijerat pasal 27 ayat 4 UU ITE tentang penyebaran dokumen elektronik dengan muatan kekerasan dan pasal 104 KUHP tentang makar. Pasal 104 KUHP berbunyi, "Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun".

Menanggapi ancaman pada dirinya, Presiden Jokowi mengajak seluruh pihak untuk menahan diri, tetap tenang dan tidak mudah terpancing oleh isu-isu provokatif yang beredar. "Ini kan bulan puasa, kita semua puasa, yang sabar," ucap Presiden seperti dikutip dari rilis Kantor Sekretariat Presiden. "Proses hukum serahkan kepada aparat kepolisian," tambah Jokowi.

Obama paling sering diancam

Sebagai presiden pertama dari etnis Afrika-Amerika, Barack Obama menjadi sasaran empuk kejahatan kebencian dari kelompok supremasi kulit putih. Ancaman asasinasi terhadap dirinya meningkat 400 persen dibandingkan dengan presiden-presiden AS sebelumnya. Sebagai contoh, Presiden George W. Bush menerima sekitar 3000 ancaman pembunuhan per tahun, menurut Ronald Kessler, penulis buku "In the President's Secret Service”.

Ancaman asasinasi Obama paling sering muncul dalam media sosial. Pada Januari 2014, warga AS Daniel L. Temple dihukum 16 bulan penjara setelah mencuit "i'm coming to kill you” (aku datang untuk membunuhmu) dan "so I gotta kill barack obama first” (jadi saya harus bunuh barack obama dulu).

Sementara itu, dalam kasus terbaru ancaman pembunuhan terhadap presiden di AS, pria paruh baya asal negara bagian Connecticut terancam hukuman penjara 140 tahun jika terbukti bersalah melakukan 16 tindakan kriminal, termasuk mengancam Presiden Trump. Pria bernama Gary Gravelle yang tergabung dalam kelompok supremasi kulit putih American Knights of Anarchy (AKA) itu mengirim amplop yang berisi bubuk putih pada Trump.

Di dalam amplop terdapat pula surat yang bertuliskan "Saya, Gary Gravelle, …sebagai seorang prajurit setia AKA, datang untuk membunuh Donald Trump.” Selain mengalamatkan suratnya kepada presiden, Gravelle juga mengirim amplop ancaman ke satu sinagoga, masjid dan organisasi pengembangan warga non-kulit putih.

Kasus di Jerman

Kebijakan Jerman terkait pengungsi dan pencari suaka menjadikan politikus, seperti perdana menteri negara bagian, menjadi sasaran ancaman pembunuhan kelompok ekstrem kanan neo-Nazi. Pada April 2015, Bodo Ramelow, perdana menteri negara bagian Thüringen, diancam akan dibunuh menyusul rencananya untuk menampung pengungsi di sana. 

Selain itu, politikus lokal di negara bagian Sachsen-Anhalt juga mendapat ancaman penggal kepala dari neo-Nazi dengan alasan yang sama. Politikus dari Partai CDU Peter Tauber melaporkan seseorang, yang menuliskan ancaman pada dirinya di Facebook kepada polisi. Pelaku yang adalah pria berusia 45 tahun menghina Tauber dengan menyebutnya "babi jantan primitif" dan mengancam akan membunuhnya "pada pemilu berikutnya", seperti dikutip dari situs welt.de. Pria itu berhasil diidentifikasi dan dihukum denda sebanyak 2000 euro.

Di Jerman, tindakan mengancam seseorang bisa dituntut hukuman penjara atau denda uang.

na/hp (dari berbagai sumber)