Untung Rugi Penggunaan Biodiesel Berbahan Dasar Minyak Sawit
Betty Herlina
27 Mei 2022
Emisi yang digadang bisa diturunkan dengan bahan bakar hijau berbasis energi terbarukan akan sulit tercapai jika dilakukan dengan perluasan lahan sawit besar-besaran.
Iklan
Program biodiesel nasional menjadi salah satu upaya untuk menurunkan emisi karbon di sektor energi, sesuai target Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar 91 juta ton CO2 pada tahun 2022. Ini sejalan dengan Nationally Determined Contribution (NDC), turunan dari ratifikasi Perjanjian Paris.
Kementerian ESDM pun dengan demikian meyakini bahwa penggunaan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku utama biodiesel akan efektif menurunkan emisi.
"Untuk saat ini, secara keekonomian dan produktifitas, bahan bakar nabati berbasis sawit adalah yang paling reliable dan rendah emisi," kata Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Edi Wibowo.
Grand Strategi Energi Nasional hingga tahun 2040 berupa pemanfaatan biofuel yang ditargetkan sebesar 15,2 Juta kL. Dari jumlah tersebut biodiesel ditargetkan akan mencapai 11.7 juta kL, kata Edi.
"Sebagian besar berbasis CPO. Termasuk pemanfaatan greenfuels (green diesel, green gasoline, bioavtur), sebagian besar akan berbasis CPO, mengingat potensinya yang sangat besar dan karakteristik bahan bakar nabati yang mirip dengan bahan bakar berbasil fosil," ujar Edi kepada DW Indonesia.
Edi tidak menampik bahwa pengembangan biodiesel di Indonesia masih mengalami hambatan dan tantangan. Mulai dari ketergantungan pada pungutan dana ekspor untuk menutup selisih harga indeks pasar (HIP) BBM dengan HIP Biodiesel.
Rentan peningkatan emisi
Sementara Research Manager Traction Energy Asia, Fariz Panghegar, mengatakan pemenuhan kebutuhan biodiesel dari CPO malah berpotensi menambah emisi karbon. Ini dapat terjadi akibat adanya peluasan pembukaan lahan hutan, baik pada tanah mineral maupun gambut secara ilegal dan dengan teknik yang tidak tepat, seperti membakar lahan. Penggunaan pupuk secara berlebihan dan praktik pengolahan limbah cair atau palm oil mill effluent (POME) yang tidak tepat di pabrik kelapa sawit juga berpotensi menambah emisi.
"Apabila Indonesia mampu memastikan proses produksi biodiesel dari hulu sampai hilir rendah emisi, tentu B30 akan menjadi program yang sangat efektif untuk menurunkan emisi. Proses produksi rendah emisi yang kami maksud adalah bahan bakunya tidak berasal dari perkebunan yang melakukan deforestasi, dan perkebunan kelapa sawit tidak menggunakan methane capture, serta memastikan rantai pasok yang efisien," kata Fariz pada DW Indonesia.
Sawit Indonesia yang Gegerkan Dunia
Larangan ekspor turunan minyak sawit membuat banyak negara gerah. Tiba-tiba disadari sawit Indonesia memainkan peranan vital dalam ketahanan pangan dunia. Bahan minyak goreng itu kini jadi gorengan politik global.
Foto: Yuli Seperi/Zumapress/picture alliance
Faktor Pemicu
Minyak goreng di dalam negeri tiba-tiba langka. Antrian panjang warga untuk membeli minyak goreng jadi pemandangan mengenaskan sekaligus ironi di negara penghasil “Crude Palm Oil” tebesar sedunia. Permainan mafia migor terbongkar, beberapa orang kini dijadikan tersangka. Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan tegas: Setop sementara ekspor produk turunan sawit.
Foto: Eko Siswono Toyudho/AA/picture alliance
Perkebunan Sawit Terluas Sedunia
Kelangkaan migor, ibarat sebuah tamparan keras untuk pemerintah Indonesia. Betapa tidak, Indonesia adalah produsen CPO global terbesar yang memiliki lahan perkebunan sawit paling luas sedunia sekitar 22,6 juta hektar (data 2021). Total produksi tahunan sawit Indonesia sekitar 36 juta ton. Disusul Malaysia dengan produksi separuh kapasitas Indonesia.
Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Komoditas Ekspor Unggulan
Dari rata-rata produksi tahunan global 77 juta ton minyak sawit, sekitar 59%-nya diproduksi di Indonesia. Saat dunia alami kelangkaan minyak nabati dan harga melambung naik akibat perang di Ukraina, pengusaha oportunis dibantu pejabat korup, mengekspor sebagian besar produksi minyak sawit ke luar negeri. Inilah yang diduga kuat memicu kekosongan pasokan minyak goreng di dalam negeri.
Isu Kerusakan Lingkungan
Sawit bukan hanya berkah. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di Indonesia, juga berdampak negatif pada kelestarian alam. Biasanya industri melakukan tebang habis dan pembakaran hutan. Organisasi pelindung lingkungan kerap mengangkat topik ini di forum dunia. Juga sejumlah negara ikut menggoreng isu ini, untuk menekan Indonesia dan Malaysia terkait isu lingkungan dari perkebunan sawit.
Foto: Ulet Ifansasti/Getty Images
Dari Makanan, Biodiesel hingga Sabun
Minyak sawit punya kegunaan luas dan sangat beragam. Memang sebagian besarnya diolah menjadi minyak goreng. Namun minyak nabati yang harganya paling murah ini, oleh sejumlah industri raksasa di Eropa, juga digunakan sebagai campuran biodiesel, makanan, kosmetik hingga keperluan sehari-hari di rumah tangga seperti sabun atau sampo.
Foto: AP
Berkontribusi Pada Ketahanan Pangan Global
Setelah dihantam kelangkaan pasokan gandum, merosotnya suplai minyak nabati di pasar dunia dan melonjaknya harga, membuat banyak negara menjerit kebingungan. Terlepas dari efek negatif industri sawit bagi lingkungan, ternyata manfaatnya bagi ketahanan pangan global juga tidak bisa diremehkan. IMF mencemaskan kelangkaan ini akan memicu krisis pangan di negara-negara miskin di dunia.
Peran minyak sawit yang harganya murah dan kapasitas produksinya tinggi, saat ini sulit tergantikan oleh minyak nabati lainnya. Setiap hektar kebun sawit, bisa memproduksi 3,3 ton minyak per tahun. Sementara bunga matahari dan rapa hanya 0,7 ton minyak per ha/tahun. Harga minyak sawit saat ini terus naik, dan menembus rata-rata 1.300 USD/ton.
Foto: dpa
Kelangkaan Migor Juga Landa Eropa
Kenaikan harga minyak nabati global, tidak hanya dirasakan di Indonesia, juga di Eropa rak minyak goreng di sejumlah supermarket mulai kosong. Di Jerman pemicunya adalah "panic buying" dipicu perang Ukraina dan perilaku tidak logis warga. Namun di beberapa negara memang ada kekurangan pasokan dan menetapkan pembatasan, satu orang hanya boleh membeli satu botol minyak goreng. (as/vlz
Foto: MiS/IMAGO
8 foto1 | 8
Jika dihitung secara konservatif, biodiesel dapat menurunkan emisi sebesar 91 juta ton C02 sesuai rencana Kementerian ESDM. Namun, lanjut Fariz, bila dilihat secara keseluruhan, masih banyak "PR" dari penggunaan biodiesel tersebut.
"Traction menghitung menggunakan metode analisis daur hidup menemukan bahwa biodiesel yang diproduksi dari lahan gambut emisinya akan lebih jauh daripada solar fosil. Apabila emisi solar fosil 3,14 kg CO2eq/liter maka emisi biodiesel bisa sampai 4,60 kg CO2eq/liter. Tentu kita harus memastikan agar tidak ada kebocoran di sektor lahan atau hulunya, maka dari itu kita tidak boleh hanya fokus di hilirnya saja," paparnya.
Iklan
Skema subsidi atau insentif?
Bila dilihat dari serapan CPO di pasar domestik, adanya peningkatan permintaan biodiesel akan memengaruhi harga CPO. Idealnya, ini dapat memberikan keuntungan bagi petani sawit. Namun tidak serta merta demikian yang terjadi, kata Fariz, karena yang terjadi adalah perpindahan subsidi.
Edi Wibowo mengatakan pendanaan program B30 tidak menggunakan skema subsidi, melainkan sebagian berasal dari insentif yang didapat dari pungutan ekspor produk sawit dan turunannya. Insentif tersebut diberikan untuk menutupi selisih kurang harga indek pasar (HIP) minyak solar dengan HIP Biodisel. Insentif tidak diberikan jika HIP solar lebih besar HIP biodiesel.
"Sumber pendanaan biodiesel dapat berasal dari APBN, APBD atau sumber pendapatan sah lain yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan. Sampai saat ini, pendanaan untuk program B30 masih berasal dari pungutan ekspor sawit, sampai adanya kebijakan atau aturan baru yang mengatur sumber dana lainnya," ujar Edi Wibowo.
Finalisasi implementasi B40
Ia juga mengatakan bahwa kebijakan wajib 40% biodiesel berbahan sawit (B40) akan berjalan setelah memastikan kualitas mutu B40 tidak berdampak negatif pada mesin kendaraan melalui uji jalan B40. Saat ini, pemerintah masih dalam tahap finalisasi persiapan dan kesepakatan terkait lingkup dan metode uji jalan B40.
"Termasuk rute road test, spesifikasi bahan bakar uji, dan jenis kendaraan uji. Kepastian ketersediaan B40 melalui ketersediaan bahan baku, unit produksi dan infrastruktur pendukung termasuk insentifnya (jika diperlukan)," katanya.
Terpisah, Fariz mengatakan pengguliran B40 masih harus dikaji ulang, baik dari sisi teknologi maupun emisi yang ditimbulkan. Semakin tinggi bauran akan menyebabkan semakin tingginya jumlah gas beracun yang dikeluarkan, yakni nitrogen oksida atau NOx, ujar Fariz.
Realita Getir di Balik Gelombang Islamisasi Suku Anak Dalam
Ratusan anggota Suku Anak Dalam ramai-ramai meninggalkan keyakinan leluhur dan memeluk agama Islam. Tapi bukan iman yang menggerakkan mereka, melainkan demi KTP dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nomaden Sumatera Pindah Agama
Indonesia saat ini memiliki sekitar 70 juta anggota suku pedalaman, mulai dari Dayak di Kalimantan hingga suku Mentawai di Sumatera. Namun dari semua, Suku Anak Dalam adalah salah satu yang paling unik karena gaya hidupnya yang berpindah-pindah alias nomaden. Belakangan banyak anggota suku asli Jambi dan Sumatera Selatan itu yang memeluk agama Islam.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Digusur Manusia, Berpaling ke Tuhan
Baru-baru ini sebanyak 200 dari 3.500 anggota Suku Anak Dalam menanggalkan kepercayaan Animisme setelah menerima ajakan sebuah LSM Islam yang difasilitasi oleh Kementerian Sosial. Banyak yang terdorong oleh harapan kemakmuran, menyusul kehancuran ruang hidup akibat terdesak oleh perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Demi Kemakmuran
"Syukurlah pemerintah sekarang memperhatikan kami. Sebelum pindah agama mereka tidak peduli", kata Muhammad Yusuf, seorang anggota Suku Anak Dalam yang berganti nama setelah memeluk Islam melalui program pemerintah. Ia meyakini dengan pindah agama kehidupannya akan menjadi lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Solusi Sesat Komersialisasi Hutan
Pemerintah menilai Islamisasi suku pedalaman merupakan langkah baik. Program Kementerian Sosial antara lain mengajak anggota suku untuk tinggal menetap dengan menyediakan rumah dan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Namun aktivis menilai fenomena tersebut didorong oleh rasa frustasi karena gaya hidup mereka terancam oleh komersialisasi hutan.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Agama, KTP dan Kesejahteraan
Yusuf mengakui alasan pindah agama karena masalah ketahanan pangan yang terancam lantaran pemilik lahan membatasi area berburu bagi Suku Anak Dalam. Pria yang punya 10 anak itu mengaku ingin mendapat KTP agar bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan gratis yang disediakan pemerintah. Memeluk Islam dan hidup menetap mempermudah hal tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Setia Pada Tradisi
Meski begitu masih banyak anggota Suku Anak Dalam yang tetap setia pada ajaran leluhurnya. Sebagian besar masih menjaga tradisi berburu dan hidup berpindah tiga kali sebulan untuk mencari ladang berburu baru atau ketika salah seorang anggota suku meninggal dunia.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Panggilan Leluhur
Kondisi kehidupan Suku Anak Dalam tergolong berat. Sebagian besar terlihat kurus dan terkesan mengalami malnutrisi lantaran hanya memakan hasil berburu. "Menurut tradisi kami, pindah agama dilarang," kata Mail, salah seorang ketua Suku Anak Dalam. "Kalau melanggar, kami takut dimakan harimau," imbuhnya kepada AFP.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Pilihan Akhir Kaum Terbuang
Aktivis HAM menilai suku pedalaman sering tidak punya pilihan selain pindah agama untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. "Mereka harus meminta bantuan ulama atau gereja buat mencari perlindungan," di tengah laju kerusakan hutan dan komerisalisasi lahan, kata Rukka Sombolinggi, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sumber: AFP, Reuters, Antara
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
8 foto1 | 8
"Walaupun CO2nya turun, namun NOx akan ikut meningkat, dampaknya dapat menimbulkan gangguan sistem pernapasan. Jadi rasanya tidak perlu kita fokus pada peningkatan bauran biodiesel, mengingat tren otomotif dunia mulai beralih ke kendaraan listrik," katanya.
Selain itu, lanjut Fariz, Indonesia berpotensi mengalami defisit minyak sawit apabila biodiesel terus digenjot tanpa melihat tata kelolanya. "Masih banyak hambatan secara teknologi dan ketersediaan bahan baku," lanjutnya.
Potensi alternatif minyak jelantah
Fariz mengatakan, Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati lain yang lebih ramah emisi. Yakni minyak jelantah atau used cooking oil (UCO). Emisi karbon biodiesel dengan bahan baku minyak jelantah lebih rendah daripada emisi karbon yang dihasilkan dari biodiesel dari sawit. Fariz mengutip Royal Academy of Engineering, mengatakan UCO meninggalkan jejak karbon 60% hingga 90% lebih rendah daripada bahan bakar berbasis fosil.
Saat ini kata Fariz, potensi UCO Indonesia kurang lebih 1,2 juta kilo liter dari rumah tangga dan unit usaha mikro. Jumlah tersebut mampu memenuhi 10% kebutuhan bahan baku biodiesel.
"Tentunya apabila kita bisa mengambil UCO dari hotel, restoran, dan cafe serta industri makanan skala menengah dan besar potensinya akan lebih besar lagi. Hal ini juga akan mengurangi risiko pangan versus energi. Hambatannya adalah saat ini kita hanya mengakui CPO sebagai satu-satunya bahan baku biodiesel. Perlu keputusan politik untuk bisa mendorong UCO menjadi salah satu bahan baku biodiesel," demikian Fariz. (ae)