Upaya Mempertahankan Kampung Tongkol Dengan Isu Hijau
20 Maret 2017
Sejak dua tahun warga Kampung Tongkol di tepi sungai Ciliwung, Jakarta, dilanda isu penggusuran. Sekarang mereka mencoba bertahan dengan membuat kampung ramah lingkungan.
Iklan
Kampung tongkol di tepian sungai Ciliwung kini berubah menjadi lokasi yang bersih dan hijau. Tanaman hijau dimana-mana, sampah tidak dibuang sembarangan. Kampung ini sebenarnya sudah akan digusur, tapi warga dengan bantuan lembaga swadaya Urban Poor Consortium (UPC) berusaha melakukan negosiasi dengan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI.
"Kami ingin membuktikan bahwa orang miskin dapat membawa perubahan, perubahan di lingkungan mereka," kata Gugun Muhammad, warga Kampung Tongkol dan salah satu fasilitator dalam prakarsa kampung hijau.
Upaya membersihkan kampung termasuk menyingkirkan tumpukan sampah di tepi sungai Ciliwung dengan rakit, memasang tempat-tempat sampah di sekitar kampung dan tanda-tanda untuk mengingatkan warga agar tidak membuang sampah sembarangan.
Tahun 2015, Kampung Tongkol sedianya akan digusur untuk program normalisasi Ciliwung. Namun setelah perundingan, disepakati bahwa warga akan memotong rumahnya hingga jarak 5 meter dari tepi sungai.
Warga kampung lalu memotong rumah mereka. Bahkan ada rumah yang harus dibongkar seluruhnya, karena terlalu dekat ke sungai. Rumah-rumah warga sekarang berukuran mungil. Mereka mengecat rumahnya dengan warna hijau, kuning dan biru.
Dalam kotak-kotak yang dibuat khusus, ditanam berbagai buah dan sayuran. Warga juga mulai membuat pupuk kompos dari sampah organik. Ada sekitar 260 keluarga yang tinggal di sini.
Tapi beberapa bulan lalu, Pemprov DKI berubah pikiran. Mereka menuntut lahan bebas 15 meter dari tepi sungai. Warga akhirnya membongkar lagi sebagian rumahnya. Tapi mereka tetap ingin bertahan di Kampung Tongkol.
Sekarang, tumpukan sampah yang pernah berjajar di tepi sungai sudah tidak ada. Juga banjir yang biasanya selalu datang pada musim hujan, sekarang makin jarang.
"Saya tidak mengatakan ini sudah berhasil, tapi kondisinya jauh lebih baik dari sebelumnya," kata Muhammad, Gugun Muhammad, yang bekerja untuk UPC.
Tahun 2015, UPC mengucurkan bantuan dana Rp. 160 juta untuk pembangunan lima unit rumah contoh. Rumah contoh dibangun tiga lantai dengan lebar lima meter, untuk mengantisipasi lahan yang makin sempit.
Selama dua tahun terakhir, penggusuran karena kepentingan pembangunan memang makin gencar. Sungai-sungai harus dinormalisasi sebagai upaya untuk mencegah banjir. LBH Jakarta memperkirakan, lebih dari 8.000 keluarga terpaksa mengungsi tahun 2015, atau pindah ke rumah susun yang disediakan pemerintah.
Kampung Tongkol berusaha berbenah diri. Warga belajar mengurangi sampah atau melakukan daur ulang. Dimulai dengan cara-cara sederhana, misalnya menggunakan tas kain untuk berbelanja.
Namun hingga kini, status Kampung Tongkol masih belum jelas. Penggusuran masih tetap mengancam. Apalagi, Pemprov DKI sudah mempersiapkan rumah susun yang masih kosong sebagai penggantinya.
Gugun Muhammad mengatakan, warga berusaha melaksanakan kegiatannya sehari-hari tanpa fokus pada ancaman penggusuran.
Metamorfosis Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung adalah nadi kehidupan sejak era Tarumanegara hingga Jakarta. Setelah dijadikan lubang sampah ibukota, sungai bersejarah itu mulai berubah. Kini Ciliwung menjadi ladang perseteruan demi identitas kota
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nadi Peradaban
Tanpa Ciliwung Jakarta mungkin tidak pernah ada. Sungai sepanjang 120 kilometer itu ikut melahirkan peradaban awal berupa Kerajaan Tarumanegara. Kesultanan Banten, pemerintahan kolonial Portugal dan Belanda menggunakan Ciliwung sebagai jalur transportasi utama dan sumber air minum. Namun sejarah panjang sungai tersebut kini nyaris dilupakan.
Foto: public domain
Pelarian Kaum Terbuang
Sejak 40 tahun terakhir wajah bantaran Ciliwung dipenuhi pemukiman kumuh buat kaum terpinggirkan. Ketiadaan ruang hidup yang terjangkau memaksa mereka menempati lahan milik negara tersebut. Buruknya perencanaan tata kota dan infrastruktur untuk mendukung pemukiman penduduk membuat Ciliwung menjadi daerah kotor dan berpolusi.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Polusi demi Uang
Namun begitu penduduk bukan satu-satunya sumber polusi Ciliwung. Studi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama empat tahun yang dipublikasikan 2014 silam menyebut 17 perusahaan rajin membuang limbahnya di sungai tersebut. Pada 2011 Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD Jakarta telah memperingatkan, air resapan tanah di Ciliwung telah terkontaminasi bakteri E Coli lebih dari 90 persen.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Proyek Masa Depan
Bahkan sejak 1995 perusahaan air minum Jakarta, PT Palyja dan PT Aetra, tidak lagi mengambil air dari Ciliwung, melainkan Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Seharusnya harga air buat sekitar 5 juta konsumen di Jakarta bisa berkurang drastis jika kejernihan air Ciliwung bisa dikembalikan. Dengan kebutuhan air yang kian melonjak, normalisasi Ciliwung menjadi proyek masa depan yang tak bisa diabaikan
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Polemik di Bantaran Sungai
Rencana itu kemudian dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2012. Normalisasi Ciliwung melibatkan pelebaran bibir sungai hingga mencapai 50 meter, seperti pada era kolonial Belanda. Namun hal tersebut berarti menggusur penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Ujung-ujungnya proyek pemprov DKI itu mengundang polemik dan kritik karena dianggap mengorbankan penduduk miskin.
Foto: picture-alliance/dpa
Perang Identitas Kota
Arus balik animo publik berkutat pada masalah penggusuran. Sejumlah aktivis menilai normalisasi Ciliwung mengebiri identitas kota dan mengubur predikat Jakarta yang inklusif buat semua. Membangun tanpa menggusur menjadi moto yang dirapal oleh sebagian pakar tata kota. Pemerintah Provinsi sebaliknya terkesan ingin mempercepat normalisasi karena khawatir kehilangan momentum politik jelang Pilkada
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Penggusuran atau Relokasi?
Penggusuran sebagai bagian dari normalisasi sungai adalah ganjalan terbesar. Menurut Pemprov DKI, sebanyak 75.000 keluarga harus direlokasi untuk membebaskan bantaran sungai dari pemukiman kumuh. Kondisi tersebut menambah rumit masalah Ciliwung. Tidak heran jika rencana awal menyebut proyek normalisasi akan memakan waktu hingga 20 tahun.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Jernih Sungai Ciliwung
Perlahan wajah Ciliwung mulai berubah. Sungai yang dulunya dipenuhi sampah dan berbau busuk, kini bersih dan terkesan asri. Pemerintah dan penduduk berharap normalisasi bisa menghadang banjir yang tiap tahun menggenangi bantaran sungai. Namun proyek raksasa ini belum akan selesai dalam waktu dekat. Prahara yang menyertai penggusuran pun akan terus berlanjut selama belum ada model pendekatan lain