1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setelah AS Gagal, Cina Coba Damaikan Jepang dan Korsel

24 Desember 2019

Jepang dan Korsel saling berseteru ihwal praktik dagang dan sejarah kolonialisme. Namun normalisasi hubungan kedua negara dianggap penting demi stabilitas di Semenanjung Korea. Kini Cina mencoba hadir sebagai juru damai.

PM CIna Li Keqiang (tengah) diapit PM Korea Selatan Moon Jae-in (kiri) dan PM Jepang Shinzo Abe (ka.) di Chendu.
PM CIna Li Keqiang (tengah) diapit PM Korea Selatan Moon Jae-in (kiri) dan PM Jepang Shinzo Abe (ka.) di Chendu.Foto: picture-alliance/AP/Wang Zhao

China mengundang dua sekutu dekat Amerika Serikat di Asia Pasifik, Korea Selatan dan Jepang, untuk duduk bersama membahas hubungan pelik dengan jiran komunis di Semenanjung Korea. Pertemuan puncak di Chengdu itu digelar menyusul ancaman pimpinan Korea Utara, Kim Jong Un untuk menyiapkan "kado natal" berupa ujicoba senjata nuklir teranyar.

Ancaman tersebut akan menjadi kenyataan jika Amerika Serikat menolak kompromi pada negosiasi nuklir antara kedua negara jelang akhir tahun nanti.

Saat bertemu Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan PM Korsel Moon Jae-in, PM Li Keqiang menegaskan Cina berkepentingan melindungi "stabilitas dan keamanan di kawasan." Adapun Moon mengamini ucapan tersebut saat mengingatkan ketiga negara harus bekerja sama menghadapi era "yang penuh turbulensi" ini.

Digelayuti sentimen sejarah

KTT kecil di Chengdu menjadi kesempatan bagi Jepang dan Korea Selatan untuk melanjutkan normalisasi hubungan diplomatik. Kedua negara belakangan bersitegang ihwal perang dagang yang ikut dikompori oleh sentimen sejarah pendudukan Jepang atas Semenanjung Korea hingga Perang Dunia II.

Baca juga:Pertemuan "Bersejarah" di Zona Demiliterisasi Korea 

Ironisnya Washington yang selama ini berusaha menjadi juru damai antara kedua negara, ternyata gagal meraih hasil maksimal. Peran mediasi itu kini diambilalih Cina lewat KTT di Chengdu. "Sebagai negara adidaya di kawasan, Cina berharap bisa mendemonstrasikan kekuatan diplomasinya dengan membawa Jepang dan Korea Selatan untuk duduk bersama," kata Haruko Satoh, Profesor Sinologi di Osaka University.

Korsel dan Jepang merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat dalam meredam pengaruh Cina di Laut Cina Selatan dan Timur. Peran kedua negara menjadi semakin penting usai pertemuan kedua antara Presiden Donald Trump dan Kim Jong Un awal tahun ini di Hanoi ditunda untuk waktu yang belum ditentukan.

Batalnya pertemuan tersebut dianggap menihilkan proses negosiasi alot yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Untuk menekan Washington jelang putaran baru perundingan nuklir, Pyongyang menggelar sejumlah ujicoba peluru kendali dan mengancam AS dengan sebuah "hadiah natal."

Jepang siap berkompromi

Sebelum meninggalkan Chengdu, PM Abe mengakui hubungan Jepang dengan Korsel tetap "sengit," meski pertemuan kedua negara dianggap penting untuk menjembatani kepentingan. "Mengingat isu keamanan di Asia Timur, saya menilai hubungan antara Jepang dan Korea Selatan, serta hubungan antara Jepang, AS dan Korsel sangat penting."

Sikap Korea Selatan terhadap Jepang dibayangi sejarah brutal kolonialisme Tokyo antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Saat itu Jepang menerapkan praktik kerja paksa dan perbudakan seks yang hingga kini masih menorehkan luka nasionalisme dikalangan penduduk Korsel.

Baca juga:Presiden Cina Xi Jinping Pertama Kali Kunjungi Korea Utara

Hubungan diplomatik kedua negara semakin terpuruk dalam beberapa bulan terakhir menyusul sejumlah keputusan pengadilan Korsel yang mewajibkan perusahaan-perusahaan Jepang membayar uang kompensasi bagi korban kerja paksa. Vonis tersebut memancing amarah Tokyo yang bersikeras bahwa ganti rugi korban perang sudah diatur dalam Perjanjian 1965.

Seoul menjawab lugas, dengan mengancam menarik diri dari pakta keamanan antara kedua negara. Namun Korsel akhirnya memperpanjang perjanjian, meski membubuhi "syarat" yang memungkinkan Seoul membatalkan kesepakatan di kemudian hari.

Namun demikian upaya Xi Jinping mendamaikan kedua negara diyakini akan berakhir serupa layaknya diplomasi AS. "Sebenarnya tidak banyak yang bisa dilakukan Beijing untuk mengakhiri kisruh antara Seoul dan Tokyo," kata Yun Duk-min, Bekas Presiden Akademi Diplomasi Nasional Korea.

rzn/as (afp, rtr)

          

     

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait