1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Usai Pandemi, Angkatan Kerja Muda Sulit Cari Kerja

Rahka Susanto
12 Agustus 2022

Ketidakpastian kondisi ekonomi menjadi tantangan bagi angkatan kerja muda yang harus menghadapi sistem kerja lepas. Pada 2021, sekitar 8 juta sarjana menanggur.

Pencari kerja memadati acara bursa kerja atau Jobfair yang digelar Pemprov DKI
Pencari kerja memadati acara bursa kerja atau Jobfair yang digelar Pemprov DKI Foto: Rahka Susanto/DW

Pandemi COVID-19 dan ketidakpastian global berdampak besar bagi bursa kerja di Indonesia. Pada 2021, terdapat 21,32 juta orang yang terdampak COVID-19. Dari data itu terdapat sebanyak 2,39 juta angkatan kerja yang menganggur akibat terdampak pandemi. Efisiensi terjadi di sektor bisnis maupun ekonomi.

Sulitnya mencari lapangan pekerjaan juga dialami oleh Khairul Febriansyah (23). Lulusan sekolah menegah atas ini mengaku sudah 5 bulan mencari kerja sejak kontraknya diberhentikan oleh perusahaan tempatnya dulu bekerja. "Sudah 5 bulan terakhir cari kerja, susahnya cari kerja (saat ini), sehari-hari paling saya ojek online aja,” papar Khairul kepada DW Indonesia saat ditemui di sebuah acara bursa pencarian kerja yang digelar oleh Pemprov DKI Jakarta.

Setali tiga uang, sulitnya mencari kerja juga dirasakan oleh Rizki Aris Firdaus (24). Sebagai lulusan strata satu, ia mengaku mencari pekerjaan yang ideal menjadi cukup sulit. "Sudah dua bulan terakhir saya nganggur. Kalau belum dapat kerja juga mungkin kepikiran ojek online dulu. Cuma kalo itu ga bisa juga, mungkin bakal pulang ke kampung, buat ngehemat uang tabungan,” ungkap Rizki kepada DW Indonesia.

Sarjana bukan jaminan

Setiap tahunnya Indonesia menghasilkan sekitar 1,7 juta sarjana muda baru. Namun, pada 2021 jumlah pengangguran di Indonesia lebih dari 8 juta sarjana, angka ini meningkat 26,3% dibanding jumlah sarjana yang menganggur pada 2020.

Gelar pendidikan tinggi belakangan bukan lagi menjadi tolok ukur kemudahan dalam mencari kerja. Hal ini juga yang diakui oleh pencari kerja lulusan S1 bidang ekonomi, Haidar kepada DW Indonesia. Pria berusia 24 tahun ini merasakan sulitnya mencari kerja dalam beberapa waktu terakhir.

"Untuk saat ini sih agak susah sih, soalnya banyak saingan juga sih, saya kan udah lulus 2019, jadi banyak saingan dari freshgraduate juga,” ungkap Haidar. Haidar juga menyadari saat ini ia juga harus bersaing dengan lulusan SMA sederajat dalam mencari kerja. Ia juga menyebut, "sekarang upah kerja lulusan S1 dan SMA hampir sama, ga jauh beda.”

Tingginya angka pengangguran terbuka di tingkat pendidikan strata satu menjadi indikasi bahwa pendidikan tingkat sarjana bukan lagi menjadi jaminan dalam mencari kerja. Dosen Senior Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Tadjuddin Noer Effendi menyebut, "berapa angka pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi? Kalau angka itu tinggi maka tidak ada jaminan sarjana mudah dapat kerja.” Kepada DW Indonesia, Tadjuddin menyebut saat ini para sarjana "perlu meningkatkan keterampilan sesuai degan kebutuhan pasar kerja.”

Fenomena sistem kerja lepas

Selain sulitnya mencari lapangan kerja, belakangan, warganet juga membahas mengenai sistem kerja lepas yang marak terjadi setelah pandemi COVID-19. Umumnya perusahaan cenderung memilih karyawan dengan status magang ataupun pekerja lepas yang menjalani kontrak kerja selama beberapa bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan perusahaan.

DW Indonesia mewawancarai salah seorang angkatan kerja muda yang menjalani sistem kerja lepas. Ia meminta identitasnya disamarkan untuk alasan kenyamanan saat bekerja. "Di kantor yang sekarang itu, status saya hanya freelance di mana kontrak saya diperpanjang setiap beberapa bulan sekali dengan penghasilan UMR dan manfaat hanya BPJS,” paparnya.

Ia menyebut kondisinya ini jauh dari apa yang dibayangkan, "Kalau menurut saya upah segitu kurang ya, sebagai lulusan S1 rasanya kurang memuaskan dengan upah yang diterima.” Di sisi lain, ia juga menyebutkan bahwa sistem kerja lepas ini telah diterapkan sejak beberapa tahun terakhir di perusahaan tempatnya bekerja. "Ada yang lebih dulu masuk dari saya, dia sudah sekitar dua tahun status kerjanya ya freelance dengan kontrak yang diperpanjang setiap beberapa bulan itu.”

Fenomena perusahaan mencari karyawan dengan status magang ataupun pekerja lepas ini dinilai pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak sebagai upaya perusahaan menghadapi kondisi yang begitu dinamis saat ini di tengah aturan ketenagakerjaan yang ada di Indonesia.

"Diperkirakan ke depan, perusahaan akan lebih hati-hati, karena di Indonesia perusahaan akan lebih sulit untuk memberhentikan atau PHK orang yang bekerja, karena diperkirakan keadaan tidak selalu akan konstan dan bisa terjadi perubahaan, sehingga mau memberhentikan orang menjadi sulit,” papar Payaman kepada DW Indonesia.

Payaman juga menambahkan, "banyak perusahaan cenderung tidak memperkerjakan pegawai tetap, atau disubkontrakan.”

Menurutnya, dengan tidak mengambil pegawai tetap, sebuah perusahaan akan lebih mudah menghadapi perubahan yang dinamis dengan memberhentikan karyawan apabila kontraknya sudah habis. "Sekarang dunia usaha selalu berhati-hati untuk merekrut orang untuk bekerja, tetapi ketika pasar menunjukan adanya kebutuhan, perusahaan cenderung mencari karyawan dengan sistem kontrak,” pungkasnya.

Di sisi lain, Payaman menolak gagasan bahwa fenomena ini bukanlah sebuah taktik yang pengusaha coba lakukan, tetapi upaya bertahan dan beradaptasi dengan kondisi yang ada.

Perlunya jaminan sosial untuk lindungi pekerja

Sistem rekrutmen pegawai dengan sistem magang hingga pekerja lepas memicu kekhawatiran dari banyak pihak mengenai risiko apabila karyawan menghadapi pemutusan hubungan kerja.

Di Indonesia, sejak Februari 2022, pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan telah meluncurkan jaminan sosial bagi karyawan yang kehilangan pekerjaan. Program Jaminan Kehilangan Kerja digagas untuk memberikan manfaat berupa uang tunai, informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja bagi karyawan yang kehilangan mata pencahariannya.

Namun, Payaman menilai sistem Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang ada di Indonesia masih belum menjamin kebutuhan pekerja ketika berhenti bekerja. Ia menyebut, "jaminan kehilangan pekerjaan itu kan hanya 45% dari gaji. 45% dari gajinya, misalnya gajinya Rp5 juta, jadi ia hanya mendapat kurang dari Rp2,5 juta.” Ia juga menyebut bahwa sistem jaminan ini cukup berbeda dengan sistem jaminan sosial di Eropa yang menghadirkan jaminan bagi warganya yang menghadapi pemutusan hubungan kerja.

(rs/yf)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait