Kasus Tragedi Trisakti Harus Segera Dibawa ke Pengadilan
Rizki Akbar Putra
13 Mei 2019
21 tahun sejak peristiwa berdarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998, masih belum terusut siapakah dalang di balik peristiwa penembakan ini. Simak wawancara dengan Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.
Iklan
21 tahun sejak peristiwa berdarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998, masih belum terusut siapakah dalang dibalik peristiwa penembakan ini. Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto adalah empat mahasiswa Universitas Trisakti yang menjadi korban tewas dalam penembakan tersebut. Aktivis 98, Usman Hamid yang juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia merupakan salah satu pelaku sejarah dalam turunnya rezim Soeharto saat itu. Lantas setelah 21 tahun berlalu bagaimana kisah Usman dalam memperjuangkan HAM? Simak wawancara eksklusif DW bersama Usman Hamid.
DW : 21 tahun tragedi Trisakti, bagaimana pendapat Anda selaku aktivis HAM dan pelaku sejarah peristiwa tersebut tentang perkembangan pengusutan kasus ini?
Kalau perkembangan bisa dilihat dari dua parameter, pertama secara hukum sebenarnya tidak ada perkembangan yang positif karena hasil-hasil penyelidikan awal peristiwa ini tidak juga ditindaklanjuti oleh pemerintah khususnya oleh jaksa agung apalagi sampai ke tingkat pengadilan mencari siapa pelaku dan penanggung jawab dari penembakan tersebut. Secara hukum begitu tidak ada perkembangan yang positif. Secara diluar hukum saya kira atau usaha untuk memberikan semacam kebijakan berbetuk rekognisi semacam pengakuan terhadap peran dari para korban selaku eksponen gerakan mahasiswa di tahun-tahun itu melalui semacam penghargaan dari negara khususnya dari pemerintah tapi persisnya apa bentuknya juga belum tahu mungkin baiknya ditanyakan kepada pemerintah.
DW : Misi mahasiswa saat itu ingin menjatuhkan pemerintahan Soeharto pun berhasil. Lantas setelah enam kali pergantian kepala Negara bagaimana tren penanganan kasus ini?
Memang fluktuatif naik turun. Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid misalnya harapan itu lebih terasa muncul karena pemerintah kala itu mendukung upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dari Timor Timur sampai Tanjung Priok. Pemerintahan Megawati saya kira mulai mengalami semacam "kemandekan” untuk menyelesaikan kasus HAM bahkan di masa pemerintahannya dan juga di masa pemerintahan SBY orang-orang yang di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah menjadi semacam subjek dari investigasi artinya diusut bahkan didorong untuk diajukan ke pengadilan, justru mendapatkan vonis-vonis bebas di masa pemerintahan Megawati dan SBY. Di masa SBY sepenuhnya seluruh para pelaku akhirnya dibebaskan, untuk pelanggaran HAM masa lalu ya. Ada usaha ketika itu untuk membuat semacam kebijakan 'rekognisi' pengakuan dengan pernyataan presiden untuk meminta maaf sampai dengan pemberian gelar pahlawan tetapi menjadi sebatas hanya pemberian semacam bintang jasa kepada keluarga korban yang saat itu diserahkan di istana negara. Pemerintahan SBY, pemerintahan Megawati, pemerintahan Abdurrahman Wahid sama-sama mencoba memberikan komitmennya tetapi hasilnya memang tidak dapat dirasakan langsung oleh para korban secara penuh misalnya keadilan hukum itu kan sesuatu yang paling utama. Sekarang kan mungkin tuntutan atau harapan, karena setelah sekian tahun lamanya mereka seakan diberi ketidakpastian oleh pemerintah dan ya hingga hari ini tuntuan itu juga masih ada, tidak seoptimis yang dahulu.
Mengenang Kerusuhan Mei 1998
Menurut data Tim Relawan Untuk Kemanusian, Mei 1998 terdapat 1.190 korban tewas dalam keadaan terbakar dan ratusan korban hilang. Sementara korban dan/atau saksi mata perkosaan ada 189 orang.
Foto: Monique Rijkers
Hampir Dilalap Api
Mei 1998, Steven Winata berjalan kaki mengantar sabun, 500 meter dari rumahnya di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam keadaan tangan penuh barang bawaan, murid sekolah dasar ini dituduh menyenggol dan membuat seorang anak pribumi jatuh ke dalam selokan. Massa yang mengamuk hampir membakar tubuh Steven. “Saya selamat karena Ketua RT mengenali saya dan mengantar saya pulang.”
Foto: Monique Rijkers
Api Reformasi Akan Terus Menyala
Suara tuntutan agar Presiden Soeharto lakukan reformasi politik bergema di sejumlah kampus termasuk dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Namun aksi unjuk rasa damai itu dilawan dengan tembakan peluru tajam yang tewaskan 4 mahasiswa Trisakti. Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa dan diresmikan bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala
Foto: Monique Rijkers
Terjebak Api
Mei 1998, tahun lokasi pusat perbelanjaan ini menjadi sasaran penjarahan massa. Namun bangunan itu terbakar dan ditemukan 118 jasad tewas terbakar yang tak dapat dikenali. Kini pusat perbelanjaan baru yang semarak dengan papan iklan di Klender, Jakarta Timur itu seakan ingin meredam ingatan pada teriak tubuh-tubuh yang dijilati api.
Foto: Monique Rijkers
Akibat Api Sentimen Rasial
Penjarahan saat Kerusuhan Mei ’98 bukan hanya menyasar pusat perbelanjaan, rumah warga pun tak luput dari sasaran massa. Rumah Sudono Salim, pemilik Bank BCA di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat diserbu massa dan sempat dibakar. Kini deretan aset keluarga Sudono Salim menjadi “monumen” sentimen rasial yang kembali menyala dua dekade lalu.
Foto: Monique Rijkers
Melawan Api Kebencian
Salah satu lokasi kerusuhan 98 adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Pada sebuah lorong sempit di Glodok, Jakarta Barat sebuah pintu rumah terbuka dan terlihat sejumlah pria duduk sambil mendengar musik Mandarin. Bapak yang tak mau disebut namanya itu mengaku rumahnya dibakar orang pada Mei 1998 lalu. Kini rumah-rumah ini kembali dibangun. Warga mengurung diri dalam pagar tinggi demi rasa aman.
Foto: Monique Rijkers
Sisa Dari Yang Terbakar
Sepotong balok kayu bekas rumah yang terbakar Mei 1998 lalu masih dipertahankan oleh pemiliknya sebagai tonggak kesaksian peristiwa yang ingin ia lupakan. Informasi berasal dari petugas Perlindungan Masyarakat setempat.
Foto: Monique Rijkers
Bertugas Saat Api Melanda
Widodo adalah petugas Perlindungan Masyarakat di RW 01, Taman Sari, Jakarta Barat. Mei 1998, ia bertugas di lokasi dalam foto dan menyaksikan api menjalar seluruh tempat usaha sekaligus rumah warga. Widodo mengaku tidak mampu mencegah massa karena massa dan warga sudah berbaur sedangkan ia sibuk membantu petugas pemadam kebakaran. “Semua rumah yang sekarang ini rumah baru”, kata Widodo.
Foto: Monique Rijkers
Bangkit Dari Abu
Toko alat sembahyang agama Buddha ini sebelum kerusuhan adalah percetakan sekaligus rumah tiga lantai di Glodok, Jakbar. Setelah ludes terbakar, rmereka memulai dari nol. “Tak mau ingat-ingat lagi”, kata ibu yang menolak sebut namanya. “Kerugian alat cetak ratusan juta rupiah dan materi bisa dihitung tetapi kerugian mental tak ternilai.”, ujar anak laki-laki pemilik toko yang turut menjaga toko.
Foto: Monique Rijkers
Saksi Mata Selamat
Hendry (68 tahun) mempunyai rumah sekaligus bengkel las bubut di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Mei 1998 keluarganya menyelamatkan diri, menumpang di bedeng di sebelah rumahnya. Sementara Udin (50 tahun) saat itu jualan rokok di trotoar sebelah bengkel las bubut Hendry. Saat kerusuhan terjadi ia memilih pulang ke kampung di Kuningan, Jawa Barat. Udin dan Hendry sudah bersahabat selama 30 tahun
Foto: Monique Rijkers
Korban Tragedi
Pemerintah memakamkan korban tewas yang tidak bisa dikenali atau tidak beridentitas di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Seratusan nisan tak bernama menandai tragedi kemanusiaan 1998. Tahun 2015, pemerintah Jakarta resmikan Prasasti Tragedi Mei’98 bertuliskan pesan “Pengorbanan jiwa mereka telah menyalakan api reformasi menuju Indonesia yang lebih rukun, bermartabat dan cinta damai.”
Foto: Monique Rijkers
Pemerkosaan Itu Ada
Tim Relawan Untuk Kemanusian Mei ’98 menerima laporan korban perkosaan saat kerusuhan. Laporan yang bisa diverifikasi dengan menemui korban dan/atau saksi mata ada 189 orang. Ita.F. dan Dr Lie Dharmawan memeriksa fisik serta merawat sejumlah korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan Mei ’98 Ita Martadinata tewas dibunuh Oktober 1998 saat akan bersaksi di PBB. Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
11 foto1 | 11
DW : Apa yang menggerakkan Anda untuk ikut turun ke jalan pada hari itu?
Ya kepedulian sosial semacam kepekaan pada masyarakat yang ketika itu merasakan kegelisahan saat itu akibat dari harga sembako yang melonjak drastis sampai dengan krisis moneter secara keseluruhan.
DW : Bisa Anda gambarkan atmosfer Ibu Kota saat Tragedi 12 Mei 1998?
Jakarta ketika itu misalnya sebelum sidang umum kondisi lalu lintasnya sih biasa saja hanya ada semacam kecemasan di dalam benak masyarakat kaena membaca berita tentang langkanya bahan-bahan pokok, harga-harga yang melambung tinggi, minyak beras gula semua sembilan bahan pokok tapi akhirnya memang itu memuncak setelah krisis harga nilai tukar rupiah anjlok. Sehingga dimana-mana kita lihat orang cemas karena keadaan ekonomi tidak menentu, di sisi lain persiapan penyelenggaraan pemilihan umum yang berlangsung tahun 97 atau sidang umum MPR/DPR yang berlangsung pada Maret 98 itu terasa sekali tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat dan ada berbagai protes dari gerakan mahasiswa sendiri dari aksi-aksi yang kecil sampai aksi yang besar termasuk juga dari satu dua partai seperti PDI dan PPP yang beberapa politisinya cukup vokal, tokoh-tokoh kampus juga sangat vokal hampir tiap pekan diwarnai dengan mimbar bebas suatu cara untuk menggelar suatu orasi-orasi keprihatinan dari para tokoh dari para aktivis mahasiswa tentang keadaan ekonomi politik pada saat itu, dimulai dari keprihatinan pada ibu-ibu di Solidaritas Ibu Peduli yang menggelar aksi di Bundara HI memprotes melambungnya harga susu yang tentu saja berdampak pada ibu –ibu keseharian. Akhirnya aksi ibu-ibu dalam Solidaritas Ibu Peduli itu echo suara ibu-ibu itu banyak semacam mendapatkan perhatian dan mahasiswa akhirnya bergerak keluar kampus. Terjadilah penembakan-penembakan di beberapa kota di Jogjakarta, di Bogor, sampai di Trisakti di Jakarta.
Prahara Mei 1998
Mei 1998 menjadi arus balik dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Tapi bulan berdarah itu hingga kini masih menyisakan sejumlah pertanyaan tak terjawab perihal keterlibatan militer.
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
Kebangkitan Mahasiswa
Mai 1998 menandai perputaran sejarah Indonesia. Berawal dari ketidakpuasan rakyat atas kenaikan harga kebutuhan pokok, mahasiswa mulai bergerak memrotes pemerintahan Suharto. Saat itu presiden kedua Indonesia itu baru saja terpilih secara aklamasi oleh parlemen untuk ketujuh kalinya. MPR berdalih, kepemimpinan Suharto dibutuhkan di tengah krisis moneter yang melanda.
Foto: picture-alliance/dpa
Protes dari Kampus
Bibit protes sebenarnya sudah bermunculan sejak pengangkatan Suharto sebagai Presiden RI pada Maret 1998. Namun karena sebatas di wilayah kampus, aksi tersebut masih dibiarkan oleh militer. Kendati begitu bentrokan dengan aparat keamanan tetap tak terelakkan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Titik Api di Sumatera
Awalnya cuma sekelompok kecil mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pemilihan ulang Suharto. Namun ketika pemerintah menaikkan harga barang pokok pada 4 Mai, rakyat kecil pun ikut terlibat. Penjarahan pertama muncul di Medan yang tidak berlangsung lama, tapi menjalar ke berbagai daerah.
Foto: Getty Images/AFP/P. Richards
Bara di Jakarta
Pada 9 Mei, sehari setelah kerusuhan Medan berakhir, Jakarta mulai bergolak. Tapi Suharto terbang ke Kairo untuk menghadiri KTT G15. Dia pulang lebih dini saat kerusuhan di Jakarta memasuki fase paling mematikan. Pada 12 Mei, 10.000 mahasiswa berkumpul di kampus Trisakti. Saat itu empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Heriyanto dan Hendriawan Sie tewas tertembak peluru polisi.
Foto: picture-alliance/AP Images
Protes dari Luar Negeri
Peristiwa berdarah di Indonesia juga disimak oleh aktivis kemanusiaan asing dan mahasiswa Indonesia di mancanegara. Berbagai aksi protes digelar di Australia, Jerman, Belanda, Inggris (gambar), Swedia, Perancis dan Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eggitt
Bergerak ke Senayan
Hingga tanggal 13 Mei kepolisian masih berupaya membarikade kampus-kampus di Jakarta untuk mencegah mahasiswa keluar. Sebagian yang berhasil menerobos, berkumpul di berbagai titik untuk kemudian bergerak ke arah Senayan. Momentum terbesar adalah ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.
Foto: picture-alliance/dpa
Api di Klender
Termakan amarah lantaran mendengar kabar mahasiswa yang tewas ditembak, massa kembali melakukan aksi penjarahan di beberapa sudut kota. Yang terparah terjadi di kawasan Klender, di mana massa membarikade dan membakar gedung Yogya Department Store. Sekitar 1000 orang yang terjebak di dalam tewas seketika.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Pahit Orde Baru
Aksi pendudukan mahasiswa terhadap gedung MPR/DPR dan tekanan internasional memaksa Presiden Suharto undur diri dari jabatannya. Diktatur yang berkuasa selama 32 tahun itu menyisakan republik yang carut marut oleh kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Sesaat setelah pengunduran diri Suharto, Wapres B.J. Habibie memulai 517 hari perjalanannya membawa Indonesia kembali ke pangkuan demokrasi.
Foto: picture alliance/CPA Media
Saling Tuding di TNI
Tragedi 1998 menyisakan pertanyaan besar buat TNI. Bekas Pangkostrad, Prabowo Subianto diduga ikut mendalangi kerusuhan, berdasarkan temuan tim Gabungan Pencari Fakta. Bekas Jendral bintang tiga itu kemudian dipecat oleh Presiden Habibie menyusul isu kudeta yang disebarkan Panglima ABRI Wiranto. Prabowo sebaliknya menuding Wiranto lah yang mengeluarkan perintah agar TNI menyulut kerusuhan berdarah
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
9 foto1 | 9
DW : Bagaimana sejarah akan menilai generasi muda kita? Apakah cepat atau lambat peristiwa ini akan terlupakan atau sebaliknya?
Memang akan selalu demikian, sejarah akan ada yang melupakan tapi ada juga yang selalu mengingatnya. Apakah seluruhnya melupakan atau seluruhnya mengingat nampaknya juga tidak sehitam putih itu. Akan selalu ada aktivis mahasiswa yang tampil yang muncul termasuk pelajar yang mulai sadar akan pentingnya sejarah sehingga bisa mengambil peran untuk selalu mengingat dan mengusahakan agar sejarah yang kelam itu jangan terulang. Apalagi anak muda sekarang dengan informasi yang berlimpah sekarang saya pikir juga memang menjadi semacam penentu baik dari pandangan dan ingatan masyarakat tentang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan saya yakin meskipun yang ditemui banyak yang lupa tapi juga masih banyak yang ingat. Bisa lewat buku, bisa lewat film dokumenter, bisa lewat media sosial, bahkan bisa dengan berinteraksi langsung dengan para tokoh pelaku sejarahnya.
DW : Amnesty International telah menerbitkan 9 Agenda Prioritas Ham untuk pemerintah tepilih nantinya. Menurut pandangan Anda bagaimana proyeksi HAM di Indonesia kedepan?
Sulit untukmemproyeksikan hitam putihnya. Pertama karena agenda tersebut memang diperuntukkan untuk lima tahun periode pemerintahan yang dihasilkan oleh Pemilihan Umum 2019. Berarti kurang lebih seandainya KPU mengumumkan pemerintahan kembali dipimpin oleh Pak Joko Widodo misalnya maka kita akan melihat pengalaman selama lima tahun terakhir apakah cukup meyakinkan lima tahun selanjutnya itu bisa jauh lebih baik. Ada dua pandangan, pandangan pertama merasa yakin akan karena tidak ada lagi beban dari kepemimpinan Jokowi misalnya dibandingkan dengan lima tahun terakhir pertama karena didalam pemerintahan berikutnya tidak akan ada lagi resiko untuk tidak terpilih, katakanlah begitu. Tetapi pandangan yang kedua merasa bahwa sejauh pemerintahan ke depan masih melibatkan oran-orang yang tidak memiliki kepedulian soal hak asasi manusia maka agenda apapun yang sembilan agenda itu bahkan lebih misalnya, itu tidak akan mendapatkan perhatian penuh. Itu yang saya rasakan. Jadi akan masih sangat ditentukan, misalnya apa yang akan menjadi prioritas dari pemerintahan ke depan di tahun pertama atau di 100 hari pertama, terus siapa pejabat-pejabat strategis pemerintah dan pimpinan parlemen yang akan mengisi dan itu akan menentukan apakah mereka cukup punya kepedulian baik bersifat pribadi maupun kolektif sebagai kelembagaan atau sebagai kepartaian untuk menyelesaikan tragedi Trisakti, Semanggi, atau tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
DW : Sejauh ini apakah cukup meyakinkan?
Di awal saya sudah katakan memang tidak ada perkembangan yang bersifat positif apalagi kalau kita ukur dari parameter keadilan hukum misalnya.
DW : Banyak pihak meminta pemerintah untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada keempat korban, namun saat ini masih dalam tahap pengkajian. Harapan Anda?
Pada dasarnya apa yang diharapkan oleh keluarga korban entah itu gelar pahlawan atau yang lain itu akan saya mendukung sepenuhnya atau apapun yang menjadi inisiatif pemerintah untuk memberikan rasa keadilan kepada mereka pasti akan kita dukung. Nah pemberian gelar Palawan itu sesuatu yang sangat positif tentu saja dan jika itu memang bisa diwujudkan tentu akan membawa semacam rasa keadilan pada tingkat tertentu meskipun mungkin akan lebih baik selain pemeberian gelar pahlawan itu juga pemerintah mengambil kebijakan lain untuk memperkuat keputusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan, menurut saya secara hukum dengan ke pengadilan atau memberikan kebijakan lain yang sekiranya dibutuhkan untuk para korban. Saya tidak akan pernah lelah memperjuangkan HAM di Indonesia.
Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra.
Usman Hamid adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Lahir pada tanggal 6 Mei 1976, Usman pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti 1998-1999.
Sejarah Runtuhnya Tirai Besi di Eropa Timur
Penyatuan Jerman dan runtuhnya "tirai besi" di blok Timur diawali dengan keruntuhan Jerman Timur. Mei 1989, Hungaria mulai membuka pagar kawat perbatasannya ke Austria.
Foto: picture-alliance/dpa
Awal dari Keruntuhan
Tanggal 2 Mei 1989, penjaga perbatasan Hungaria mulai membuka pagar kawat perbatasan ke Austria. Pagar itu sudah tua dan berkarat dan Perdana Menteri Hungaria Miklos Nehmet tidak mau mengeluarkan dana untuk pagar baru, yang dianggap "sudah kuno secara teknis, politis dan moral".
Foto: AP
Pemotongan pagar simbolis
Beberapa minggu kemudian, menlu Hungaria Gyula Horn dan menlu Austria Alois Mock mengundang wartawan menyaksikan pembukaan perbatasan. Aksi simbolis itu dilakukan tanggal 27 Juni 1989, dengan instalasi pagar baru. Karena semua pagar yang lama sudah dibongkar.
Foto: AP
Pengungsi Jerman Timur membanjir
Pimpinan Jerman Timur mengeritik langkah Hungaria. Para aktivis hak asasi Hungaria dan Jerman menggelar acara "piknik massal" di kota perbatasan Sopron tanggal 19 Agustus 1989. Perbatasan ke Austria dibuka untuk lalu lintas umum selama tiga jam.
Foto: picture alliance/dpa
Perjalanan menuju kebebasan
Sekitar 600 warga Jerman Timur membanjiri acara "piknik massal" di Hungaria itu. Mereka kemudian melarikan diri lewat perbatasan ke Austria. Banyak keluarga yang membawa anak-anaknya. Banyak yang lari ke Austria hanya berbekal pakaian di badan.
Foto: picture-alliance/dpa
Penjaga perbatasan dan penyelamat
Perwira penjaga perbatasan Hungaria, Arpad Bella, menyaksikan ratusan orang yang melarikan diri ke Austria. Bella (di foto sebelah kiri, bersama koleganya dari Austria) ketika itu memerintahkan penjaga keamanan agar tidak mencegah para pelarian. Bella sempat dianggap sebagai pengkhianat, tapi ia kemudian mendapat penghargaan.
Foto: Ferenc Isza/AFP/Getty Images
Akhirnya berhasil
Warga Jerman Timur yang berhasil lari ke Austria dari perbatasan Hungaria akhirnya mendapat paspor Jerman Barat. Karena masih banyak warga Jerman Timur yang lari ke Hungaria, pemerintah Hungaria meminta kebijakan baru dari Jerman Timur. Tapi Jerman Timur menolak. Sampai November 1989, sekitar 50.000 warga Jerman Timur lari ke Hungaria.
Foto: picture-alliance/dpa
Hari bersejarah
Hampir tiga bulan setelah acara "piknik massal" di Hungaria, 9 November 1989 pemerintah Jerman Timur akhirnya mengumumkan pembukaan perbatasan ke Jerman Barat. Hari tersebut dirayakan sebagai peristiwa runtuhnya Tembok Berlin.