1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tenggelamnya Pekalongan Akan Jadi Realita?

Andreas Pamungkas | Rizki Nugraha
8 Juli 2022

Pesisir utara Jawa perlahan menyatu dengan laut. Bukan karena ombak yang tinggi, melainkan Bumi yang kian amblas. Penyebab eksploitasi dan penyedotan air tanah berlebihan.

Indonesien: Zentral-Java versinkt im Meer
Foto: Rizki Nugraha/DW

Lebih dari 40 keluarga di dusun Semonet sudah pindah, sementara 28 yang lain masih bertahan. Penyebabnya, dusun di Pekalongan itu perlahan tenggelam dan menyatu dengan laut.

Bencana ini dipicu manusia, dan kisahnya, menjadi peringatan bagi seluruh pesisir Jawa. Laut berangsur tinggi sejak 2005, dan mulai merendam dusun Semonet pada 2020 lalu.

Dampaknya sangat dirasakan warga, misalnya Rayuti. Sebelum mengantar anaknya ke sekolah, dia harus lebih dulu mengeringkan rumah. Setiap pagi, laut menyatu dengan ruang keluarga. Semua harus menunggu surutnya air, termasuk si kecil Danah.

Rayuti bercerita, “Kalau naiknya besar, ya enggak sekolah, lewatnya gak bisa. Lewat mana? Kalau ta terjang, jangan-jangan jurang.“ Jika banjir, Danah biasanya diizinkan belajar dari rumah. Kadang laut surut cukup cepat. Tapi air garam tampak mulai menggerogoti harta benda warga, misalnya sepeda motor yang mereka gunakan.

Tenggelamnya Pesisir Utara Jawa

07:17

This browser does not support the video element.

Rayuti juga tidak bisa melupakan bahaya yang mengintai jika laut pasang. Dia berujar, “Kalau banjir, rob nya gede, mau lewat mana, coba?  Itu artinya ombaknya  juga besar.”

Bumi terdampak perubahan iklim

Laut tidak memusuhi dusun Simonet, melainkan Bumi yang sudah terdampak perubahan iklim. Menurut prediksi Climate Central, kota Pekalongan memang kelak akan terendam akibat kenaikan muka laut.

Pantai utara Jawa dikenal berpondasi tanah lunak, dan di mana lapisan ini membentang, di situ Bumi juga tenggelam. 

Anita Heru K, Kepala BAPPEDA Pekalongan mengatakan, “Pekalongan merupakan tanah endapan muda, yang secara alami akan mengalami pemampatan seiring dengan kurangnya kadar air di dalam tanah.”

Masalah berpangkal pada isu sanitasi dan akses air bersih yang coba diatasi dengan menyedot air tanah. Masalahnya, di tengah lonjakan populasi penduduk, pemerintah kota Pekalongan tetap mengandalkan air tanah untuk kebutuhan industri demi menggenjot ekonomi

Cetak biru penggunaan air untuk kebutuhan dasar dan industri sebenarnya sudah dibuat Belanda di Jawa sejak awal 1900an. Di sepanjang sabuk gula di utara jawa ini, pemerintah kolonial membangun infrastruktur air,diutamakan untuk mengairi perkebunan tebu

Air diambil dari sungai dan dialirkan ke berbagai pelosok. Kemudahan akses air inilah yang kelak mendorong industrialisasi dan lonjakan populasi. Menurut Water Footprint, konsumsi air untuk kebutuhan dasar tergolong tinggi, terlebih jika produksinya dibuat massal dan tidak berkelanjutan.

Penyediaan air mengandalkan air tanah

Tapi saat ini, penyediaan air baku di utara Jawa hampir sepenuhnya mengandalkan air tanah. Anita Heru K. menjelaskan pula, "Industri di Pekalongan rata-rata membutuhkan air dalam jumlah banyak, baik untuk padi, pabrik es (perikanan), jasa, perhotelan, semua harus diambil dari tanah karena air PDAM belum bisa mencukupi.”

Ketika eksploitasi tidak dibarengi dengan pengelolaan air yang baik, akuifer alami di perut Bumi perlahan mengering dan memadat. Akibatnya muka tanah pun ikut amblas.

Bahaya eksploitasi air tanah terlambat disadari di Pekalongan. Menurut studi Departemen Teknik Geodesi ITB pada 2018 silam, sebagian wilayah kota amblas sedalam 10 hingga 34 sentimeter per tahun. 

Demi menghambat penurunan tanah, pemerintah pusat dan daerah sudah menambah infrastruktur air baku yang bersumber dari air sungai. Tapi upaya tersebut belum mampu menghambat penurunan muka tanah di Pekalongan.

“Di beberapa tempat, daerah dan negara, kebanyakan penurunan tanah diakibatkan pengambilan air tanah berlebihan, sehingga kami harus mewaspadai hal itu.“ Begitu dikatakan Kepala BAPPEDA Pekalongan Anita Heru K. “Hanya memang menghentikan sepenuhnya pengambilan yang sudah ada kami belum bisa, karena menyediakan substitusinya juga belum mampu.”

Warga yang tetap bertahan

Saat ini pemodelan ilmiah meramalkan 80 persen wilayah kota Pekalongan akan berada di bawah permukaan air laut, dalam waktu 10 hingga 15 tahun ke depan. Hal ini tidak menyurutkan semangat warga Dusun Semonet untuk bertahan, dan merawat satu-satunya jembatan darurat penghubung menuju daratan.

Termasuk di antaranya Sunaryo yang lahir dan besar di sini. Nasibnya berputar arah, ketika abrasi pantai ikut menggerus lahan tambak warisan orangtuanya. “Dulu punya lahan sekarang sudah jadi lautan. Jadi tidak bisa dimanfaatkan lagi,” tutur Sunaryo.

Sejak kehilangan sumber penghasilan, Sunaryo harus bekerja memburuh di lahan tambak tetangga. “Saya buruh di sini, karena saya tidak punya lahan, jadi saya buruh di tempatnya pak Carwan.”

Sunaryo dulu punya satu hektar lahan tambak dan tanah yang digunakan membudidayakan ikan dan tanaman bunga melati. Secara total, sebanyak tujuh hektar lahan tambak warga Dusun Semonet sudah lenyap diterjang rob.

Namun demikian, Sunaryo mengaku masih bisa mencari kegunaan lain dari lahannya itu. Sudah jadi lautan tidak bisa dimanfaatkan untuk apa-apa, mas. Paling dimanfaatkan sertifikatnya sebagai bukti, walaupun tidak ada tambak, masih bisa dimanfaatkan untuk berutang.”

Tambak tempat kerjanya kini berjarak dua kilometer dari bibir pantai. Di rumah ini, dia hidup seorang diri. Istri beserta tiga anaknya sudah pindah ke tempat lain yang aman. 

Niatnya bertahan masih tinggi, baru-baru ini dia berinvestasi meninggikan lantai rumah. "Tapi kalau ombaknya tidak bisa dikompromi, ya satu-satunya jalan tetap pindah,” kata Sunaryo.

Sebagai solusi cepat, pemerintah membangun tanggul sepanjang 7,2 kilometer di utara Pekalongan, yang diharapkan bisa meminimalisir dampak banjir rob. Tanggul laut memberi waktu tambahan bagi pemerintah, untuk menyediakan pengganti sumber air tanah. Tapi hingga saat itu terjadi, warga di pesisir tetap akan mengandalkan air dari perut Bumi. (ml/Inovator)