1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

UU Keamanan Digital Bangladesh Batasi Kebebasan Berpendapat

4 Maret 2021

Meski muncul aksi protes massal pasca kematian penulis Mushtaq Ahmed di penjara, pihak berwenang Bangladesh tetap tidak akan mencabut dugaan kasus yang menuduh PM Sheikh Hasina melakukan korupsi.

Pengunjuk rasa menuntut undang-undang keamanan digital dihapuskan
Setelah penulis Mushtaq Ahmed meninggal dunia, aksi demonstrasi berlangsung di kota DhakaFoto: Zabed Hasnain Chowdhury/Zuma/picture alliance

Para pengunjuk rasa melakukan aksi demonstrasi di ibu kota Bangladesh setelah penulis Mushtaq Ahmed meninggal dunia di penjara dengan tingkat keamanan maksimum pada 25 Februari 2021.

Mushtaq Ahmed ditangkap 10 bulan lalu karena diyakini melanggar Digital Security Act (DSA) Bangladesh atau undang-undang keamanan digital, yang memungkinkan pihak berwenang melakukan penangkapan tanpa surat perintah terhadap siapa pun yang mengkritik pemerintah melalui media sosial atau dilakukan secara online.

Ahmed ditangkap lantaran diduga memposting komentar kritik terhadap Perdana Menteri Sheikh Hasina dalam hal penanganan pandemi COVID-19 di akun Facebook miliknya pada Mei 2020. Petisi jaminan pembebasannya ditolak sebanyak enam kali.

Meski penyebab kematian Ahmed masih belum jelas, para pengunjuk rasa menuntut keadilan dan pembebasan para tahanan yang dituduh melanggar DSA. Demonstran juga mendesak pemerintah mencabut undang-undang tersebut.

Terkejut dengan berita kematian Ahmed, Bärbel Kofler, Komisaris Hak Asasi Manusia Federal Jerman meminta pemerintah Bangladesh untuk melakukan "penyelidikan independen" atas kematian Ahmed. "Kebebasan berbicara adalah hak asasi manusia yang esensial dan tidak boleh dikompromikan oleh undang-undang keamanan," tulisnya di Twitter.

Apa itu Digital Security Act?

Parlemen Bangladesh mengesahkan DSA pada akhir 2018, menyusul tindakan kekerasan sektarian yang dipicu oleh postingan di Facebook. Namun, aturan dalam DSA tidak jelas dan cakupan ketentuannya sangat luas.

Mereka yang diyakini melanggar DSA akan menghadapi denda dan hukuman penjara, bahkan kemungkinan bisa dipenjara seumur hidup.

Mengutip data dari Pengadilan Kejahatan Dunia Maya Bangladesh, Amnesty International melaporkan bahwa sekitar 2.000 kasus telah diajukan di bawah DSA. Jurnalis merupakan salah satu profesi yang sering menjadi sasaran penangkapan atas pelanggaran DSA. Tercatat sudah sepuluh editor surat kabar pada tahun 2020 menghadapi tuntutan hukum dengan dakwaan tindakan pelanggaran DSA, karena pemberitaan kritis yang mereka rilis terhadap para pemimpin partai Liga Awami yang berkuasa .

Ali Riaz, profesor ilmu politik terkemuka di Illinois State University di Amerika Serikat (AS) mengatakan kepada DW, ketentuan dalam DSA menimbulkan ancaman terhadap hak-hak fundamental yang diabadikan dalam konstitusi Bangladesh dan standar kebebasan berekspresi internasional.

"Undang-undang itu tidak dibuat untuk melindungi warga negara, melainkan untuk melayani kepentingan partai yang berkuasa dan pemerintah," ujar profesor ilmu politik itu.

"DSA sengaja memasukkan konsep yang kabur dan ambigu, yang memungkinkan pemerintah untuk menafsirkannya sesuai keinginan mereka dan digunakan sebagai dalih untuk membungkam suara kritis," tambahnya.

Pemerintah tidak berencana membatalkan DSA

Terlepas dari aksi protes jalanan dan kecaman internasional, pemerintah Bangladesh tidak menunjukkan minat untuk membatalkan undang-undang kontoversial tersebut. Sebaliknya, polisi telah menggunakan kewenangan berlebih untuk membubarkan pengunjuk rasa di Dhaka setelah kematian Ahmed. Setidaknya 35 orang terluka dan tujuh lainnya ditangkap.

Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM mendesak Bangladesh untuk meninjau DSA. "Berbagai badan hak asasi manusia PBB telah lama menyuarakan keprihatinan tentang ketentuan DSA yang tidak jelas dan terlalu luas yang telah digunakan untuk menghukum mereka yang melontarkan kritik terhadap pemerintah," kata Bachelet dalam sebuah pernyataan pada hari Senin (01/03).

Anisul Huq, Menteri Hukum Bangladesh, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah akan "menghilangkan pasal mengganggu dalam DSA melalui proses yang semestinya." "Kami tidak akan membatalkan undang-undang," katanya. "Kami membutuhkannya untuk memastikan keamanan digital orang-orang kami di dunia digital."

"DSA merupakan penghalang serius bagi hak-hak dasar warga negara demokrasi. Itulah mengapa undang-undang perlu dihapus seluruhnya," kata Ali Riaz.

Para pengunjuk rasa di Dhaka berorasi menentang DSAFoto: Zabed Hasnain Chowdhury/Zuma/picture alliance

Media terpengaruh

Beberapa surat kabar Bangladesh belum lama ini menerbitkan editorial tentang bagaimana DSA membatasi pelaporan investigasi korupsi yang melibatkan pejabat tingkat tinggi. Media telah memilih swasensor untuk menjaga keamanan diri.

"Sejak diperkenalkan pada Oktober 2018, undang-undang tersebut telah berkontribusi pada makin dalamnya budaya ketakutan. Undang-undang tersebut telah berhasil mengirimkan pesan mengerikan kepada warga, meningkatkan swasensor di kalangan jurnalis dan mencekik media sosial,” kata Riaz.

Fahmidul Haq mengatakan media takut hukum. "Media lokal takut dengan DSA. Statistik menunjukkan tiga tuntutan hukum diajukan setiap hari mengacu pada undang-undang tersebut dan sebagian besar menarget jurnalis," katanya. Dia menambahkan bahwa lanskap media saat ini mengingatkan pada era pemerintahan militer Bangladesh dari tahun 1983 hingga 1990. "Sebagai hasilnya, orang Bangladesh berkonsultasi dengan outlet internasional untuk berita lokal."

Menteri Hukum Haq menilai DSA tidak membuat media takut. "Undang-undang tidak diberlakukan untuk mengekang kebebasan berekspresi atau kebebasan pers. Undang-undang tidak akan melakukan itu," katanya.

ha/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait