1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Vaksin Corona, Peluang Industri Farmasi Perbaiki Reputasi?

Ashutosh Pandey
2 Juni 2020

Perusahaan farmasi besar sering dikecam karena terlihat rakus ingin mengeruk laba. Perlombaan menemukan vaksin corona sekarang membuka peluang bagi mereka untuk memperbaiki reputasinya.

Indonesien | Eijkman Institut für Molekularbiologie forscht an einem Impfstoff für Corona
Foto: Eijkman Institute

Ketika perusahaan-perusahaan obat di seluruh dunia berlomba menemukan vaksin corona, bisakah mereka juga memperbaiki reputasinya yang selama ini sering tercoreng karena terkesan hanya mengejar profit besar? Lebih dari 120 vaksin sedang dalam pengembangan dan hampir sama banyaknya obat yang sedang diteliti. Apakah vaksin dan obat akan tersedia juga bagi negara-negara miskin? DW berbicara dengan Gerald Posner, jurnalis dan penulis selusin buku tentang industri farmasi.

DW: Bagaimana Big Pharma menurut Anda merespons corona?

Gerald Posner, jurnalis dan penulis buku, antara lain: "Pharma: Greed. lies and the Poisoning of America"Foto: Dale Stine

Gerald Posner: Ada dua pandangan tentang itu. Jika Anda melihatnya hanya dari sudut pandang obat, artinya apakah mereka bekerja keras dan cepat untuk menemukan vaksin, jawabannya: ya. Jadi, mereka tidak buang-buang waktu. Ada lusinan perusahaan yang berpotensi menemukan vaksin. Jadi, saya pikir mereka bagus dalam hal itu.

Tetapi, mereka adalah perusahaan komersil, dan kami sebagai jurnalis, dan juga para pemimpin pemerintah, harus mengawasi pendaftaran paten dan harga, sehingga perusahaan-perusahaan obat tidak mengunakan ini sebagai peluang untuk keuntungan berlebihan. Dari aspek ini, mereka (perusahaan farmasi) tidak melakukannya dengan baik. Tapi masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan akhir.

DW: Perusahaan farmasi, terutama perusahaan raksasa, sering jadi sasaran kritik karena hanya berorientasi pada profit. Apakah masa-masa krisis ini bisa jadi peluang bagi mereka memperbaiki reputasinya?

Sebenarnya, saya melihat bukti yang bertentangan dengan itu. Misalnya, CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations], koalisi untuk epidemi dari Norwegia, telah mencoba untuk membuat perjanjian bahwa semua penelitian tentang vaksin yang ikut didanai pemerintah harus dibagikan data-datanya secara terbuka. Jadi, tidak ada yang akan menguasai hak kekayaan intelektual untuk itu. Tetapi tidak semua perusahaan obat setuju. Ini juga jadi masalah di Uni Eropa. Misalnya, dapatkah pemerintah Prancis meyakinkan Sanofi untuk melakukan itu, pemerintah Jerman meyakinkan Bayer? Saya tidak yakin tentang itu. Mereka adalah perusahaan yang harus melayani pemegang saham, dan mereka melakukan itu sedapat mungkin tanpa membuat orang begitu marah sehingga membuat keributan.

DW: Apakah Anda melihat adanya perubahan dalam persepsi masyarakat umum terhadap perusahaan farmasi di masa ini?

Pandemi ini sebenarnya adalah kesempatan bagi mereka, tidak hanya untuk menghasilkan uang, melainkan juga untuk merehabilitasi persepsi publik tentang industri ini. Jika mereka mampu menghasilkan vaksin dan terapi yang efektif dengan harga yang wajar, dan mereka membuatnya tersedia juga bagi negara-negara berkembang dan membantu dalam distribusinya, saya pikir banyak orang, termasuk saya sendiri, akan berkata: Baiklah, mereka benar-benar telah melakukan sesuatu yang fantastis pada saat dunia menghadapi krisis kesehatan. Saya tidak tahu apakah itu akan terjadi. 

DW: Ada desakan tentang vaksin yang bebas paten untuk COVID-19. Apakah ini realistis?

Contohnya saja, untuk penicillin tidak ada paten, artinya tidak ada yang memilikinya. Akibatnya, setelah Perang Dunia II, harga penicillin turun jadi sangat, sangat rendah. Perusahaan tidak menghasilkan banyak uang untuk itu. Jadi yang mereka lakukan adalah membuat tiruan berbagai jenis antibiotik. Seperti streptomycin, dan jenis antibiotik lainnya. Mereka akhirnya mendapatkan paten pada obat-obat itu dan menghasilkan uang. Jadi, jika perusahaan farmasi harus berbagi data penelitian vaksin COVID-19 dan tidak ada paten untuk itu, mereka masih dapat menghasilkan uang dari obat lain.

Kita harus menunjukkan bahwa ini adalah penyakit global dan bahwa virus ini tidak membuat perbedaan pada perbatasan negara. Tidak soal apakah Anda menghasilkan 20 dolar setahun dan hampir tidak memiliki air bersih seperti di Somalia atau jika Anda seorang miliarder di New Delhi yang tinggal di sebuah penthouse. Saya berharap pemerintahan memahami itu. Dalam hal ini, nasionalisme adalah hal terakhir yang kita butuhkan. (hp/vlz)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait