Strain virus corona mutasi bisa lolos dari respons kekebalan tubuh yang lemah, dan membuatnya makin agresif. Pasien COVID-19 yang sudah sembuh bisa terinfeksi ulang. Artinya vaksin perlu aktualisasi.
Iklan
Kasus di kota Manaus, Brasil bisa jadi contoh nyata kecepatan luar biasa mutasi virus SARS CoV-2. Teorinya, setelah lebih 75% warga terinfeksi Agustus 2020, harusnya terbentuk "herd immunity." Tapi bulan Desember tahun lalu, rumah sakit kembali dipenuhi pasien positif corona.
Pemicunya, diduga varian virus mutasi P.1. Strain ini bisa "lolos" dari respons imunitas orang yang sembuh COVID-19 dan menyebabkan infeksi ulang. Kejelasan dari fenomena ini diharap diperoleh dari sequencing sampel virus dari pasien.
Apa yang disebut fenomena "Immune Escape" ini merupakan ancaman serius, karena pasien COVID-19 yang sudah sembuh bsa terinfeksi ulang. Juga vaksin yang sudah mendapat izin, bisa kehilangan keampuhannya dan harus terus menerus diperbarui agar tetap ampuh.
Walau begitu, sejauh ini varian virus mutasi tidak menunjukkan resistensi terhadap vaksin baru yang sudah mendapat izin, dan disuntikkan pada jutaan orang di seluruh dunia. Demikian diungkapkan Philip Krause, ketua kelompok kerja vaksin COVID-19 Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Inilah Efek Samping Vaksin Corona
Reaksi tubuh jika divaksin menandakan kita membangun kekebalan terhadap bibit penyakitnya. Tapi kadang ada efek samping serius yang kasusnya individual. Kenali apa saja efek samping vaksin corona.
Foto: Robin Utrecht/picture alliance
Vaksin Biontech-Pfizer
Pada fase uji klinis, unsur aktif BNT162b2 dari perusahaan BioNTech dari Jerman dan Pfizer dari AS tidak menunjukkan efek samping serius. Tapi setelah mendapat izin, vaksin mRNA ini tunjukkan reaksi alergi berat pada beberapa orang, bahkan tiga mengalami gejala syok anaphylaktis. Ketiga orang itu tidak punya riwayat alergi. Karenanya pengidap alergi disarankan konsultasi sebelum divaksin.
Foto: Jack Guez/Getty Images/AFP
Vaksin Moderna
Vaksin mRNA-1273 dari perusahaan Moderna AS, pada prinsipnya sangat mirip dengan vaksin BioNTech/Pfizer. Setelah dilakukan vaksinasi, muncul laporan efek samping berupa reaksi alergis. Dan pada kasus sangat kecil, kelumpuhan sementara saraf wajah. Efek samping diduga dipicu partikel lipid nano yang menjadi transporter unsur aktifnya, yang diuraikan oleh tubuh.
Foto: Jospeh Prezioso/AFP/Getty Images
Vaksin AstraZeneca - Universitas Oxford
Inggris memberikan izin darurat penggunaan vaksin AstraZeneca yang unsur aktifnya disebut AZD 1222. Berbeda dengan dua vaksin yang pertama mendapat izin, vaksin buatan perusahaan Inggris/Swedia ini adalah vaksin vektor yang dikembangkan dari virus flu simpanse yang dilemahkan. Sejauh ini belum ada efek samping vaksin yang dilaporkan, selain reaksi normal yang khas.
Foto: Gareth Fuller/AP Photo/picture alliance
Vaksin Sputnik V
Rusia sudah izinkan vaksin Sputnik V buatan pusat riset Gamaleja di Moskow, Agustus 2020. Padahal uji klinis fase 3 dengan sampel luas belum dilakukan. Vaksin menggunakan dua unsur aktif adenovirus berbeda yang dimodifikasi. Walau kontroversial, ratusan ribu orang di Rusia, Belarus, India, Brasil, UAE dan Argentina telah divaksin Sputnik V. Tidak ada laporan resmi mengenai efek samping.
Foto: Maria Eugenia Cerutti/AFP
Vaksin Sinovac Biotech
Cina izin darurat penggunaan vaksin Sinovac sejak Juli 2020. Unsur aktif vaksin yang diberi nama CoronaVac adalah virus inaktif. Uji klinis fase 3 secara massal telah dilakukan di Indonesia, Turki dan India. Laporan resmi efek samping yang dirilis perusahaan di Beijing itu sebutkan kurang dari 5% keluhkan reaksi yang umum. Indonesia sejauh ini telah menerima 3 juta dosis vaksin Sinovac. (as/vlz)
Foto: Presidential Palace/REUTERS
5 foto1 | 5
"Namun ada kabar kurang baiknya, kecepatan evolusi virus ini mengindikasikan, varian ini juga bisa secepat kilat mengembangkan fenotipe yang resisten, di luar perhitungan kita," ujar Krause dalam jurnal ilmiah Science.
Evolusi varian virus
Seperti sudah diketahui, untuk berkembang biak, virus menyusupkan informasi genetikanya ke sel inang. Dan pada setiap reproduksi virus, muncul kesalahan kecil "copy" kode genetikanya. Artinya virus mengalami mutasi.
Vaksin yang sekarang digunakan untuk meredam pandemi, memberikan tekanan evolusi pada virusnya. Dengan itu varian virus melakukan seleksi alamiah dan tetap mampu melakukan reproduksi, lewat mutasi yang mampu meloloskan diri dari sistem kekebalan tubuh.
Ini tidak berarti virus yang melakukan seleksi alamiah menjadi lebih mematikan. Pasalnya, virus yang membunuh inangnya terlalu cepat akan sulit melakukan reproduksi dan akan musnah. Sementara varian virus yang lebih jinak bisa terus berkembang biak.
Juga vaksin yang "lemah" atau penangguhan pemberian dosis kedua vaksin, bisa memicu efek samping yang berlawanan dengan yang diharapkan. Pakar virologi Andrew Read dari Pennsylvania State University sudah memperingatkan kemungkinan efek samping merugikan itu. Risetnya dengan virus ayam pada 2001 memberikan kesimpulan, vaksin dengan keampuhan lemah, pada kondisi tertentu justru menguntungkan varian virus yang berbahaya.
Karena itu kebijakan penangguhan pemberian dosis kedua vaksin COVID-19, seperti yang saat ini diterapkan di Inggris, dan kemungkinan menyusul diterapkan di AS, diamati dengan kritis. Orang yang sudah mendapat dosis pertama vaksin, memang mengembangkan imunitas, namun belum sepenuhnya membangun respons kekebalan tubuh yang kuat. Tubuh berjuang lebih lama melawan virusnya, dan memberikan waktu kepada virus untuk lolos dari kematian akibat vaksin. Jika varian virus semacam itu menginfeksi orang yang belum divaksin, dampaknya bisa fatal.
Apakah Sudah Ada Obat Penyembuh Covid-19?
Euforia pecah saat vaksin corona pertama dinyatakan efektif hingga 95%. Namun banyak yang lupa, penyakit Covid-19 jika sudah menyerang tubuh, harus diobati agar pasien sembuh. Adakah obat ampuh buat melawan Covid-19?
Foto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance
Dexamethasone Reduksi Kematian Pasien Covid-19
Sejauh ini penyakit Covid-19 hanya diobati gejalanya. Dexamethasone adalah obat keluarga streoid yang murah dan mudah diakses. Dalam uji coba terhadap 2.100 pasien Covid-19 dengan gejala berat, obat anti inflamasi ini mampu mereduksi kematian pasien hingga 30%. Pakar epidemiologi Peter Horby dari Universitas Oxford Inggris, pimpinan riset menyebut, obat murah ini bisa cegah banyak kematian.
Foto: Getty Images/M. Horwood
Favipiravir Kurangi Beban Virus Corona
Favipiravir dikembangkan oleh Fujifilm Holdings Jepang untuk melawan virus lain, dalam kasus ini virus influenza. Dalam sebuah riset disebutkan unsur aktifnya bisa mengurangi beban virus pada tubuh pasien dan mereduksi lamanya waktu perawatan di rumah sakit. Obat yang di Jepang dikenal dengan merk Avigan ini, juga sudah mendapat izin edar di Rusia dengan nama Avifavir.
Foto: picture-alliance/dpa/Kimimasa Mayama
Remdesivir Tidak Disarankan oleh WHO
Remdesivir sejatinya dikembangkan untuk mengobati Ebola yang dipicu virus corona jenis lain. Obat buatan Gilead Sciences AS ini mula-mula disebut ampuh melawan Covid-19 dan di AS diajukan regulasi darurat. Tapi WHO kemudian menyatakan, tidak merekomendasikan Remdesivir, karena tidak menunjukkan keampuhan signifikan pada pasien Covid-19.
Foto: picture-alliance/Yonhap
Chloroquin Mencuat Akibat Politisasi
Chloroquin dan turunannya Hydroxychloroquin adalah obat anti malaria yang ampuh dan sudah digunakan luas sejak lama. Nama obat ini mencuat gara-gara presiden AS, Trump dan presiden Brazil, Bolsonaro memuji keampuhannya tanpa data ilmiah penunjang. Riset terbaru menyatakan obat antimalaria ini tidak ampuh melawan virus SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.
WHO mula-mula menyarankan jangan mengkonsumsi obat antinyeri Ibuprofen dalam kasus infeksi virus corona. Namun beberapa hari kemudian WHO mencabut lagi saran ini. Pakar virologi Jerman Christian Drosten menyebut, asupan ibuprofen tidak membuat penyakit Covid-19 tambah parah. Sejauh ini sifat virus SARS-Cov-2 memang masih terus diteliti.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Mirgeler
Artemisia Obat Herbal Berpotensi
Tanaman Artemisia dengan unsur aktif artemisinin terbukti ampuh melawan malaria. Penemunya, ilmuwan Cina Youyou Tu dianugerahi Nobel Kedokteran 2015. Kini herbal berkhasiat ini dilirik para peneliti Jerman yang merisetnya untuk mengobati Covid-19. Namun WHO menyarankan semua pihak agar ekstra hati-hati tanggapi laporan efektifitas herbal dalam pengobatan Covid-19. (Penulis: Agus Setiawan)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Kaixing
6 foto1 | 6
Penangguhan pemberian dosis kedua vaksin yang meluas, bisa menciptakan kelompok jutaan manusia yang memiliki cukup antibodi untuk memperlambat serangan virus corona agar tidak jatuh sakit, tai tidak cukup kuat untuk memusnahkan virusnya. "Ini bisa menjadi resep ideal untuk terciptanya varian yang kebal vaksin" kata pakar virologi Florian Krammer dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai dalam jurnal ilmiah Science.
Namun ilmuwan lain memiliki pendapat berbeda. Pakar evolusi mikrobiologi Andrew Read dari Pennsylvania State University menyebutkan, lebih menguntungkan jika lebih banyak orang yang secepatnya mendapat vaksinasi dosis pertama. "Dua kali lebih banyak orang yang memiliki separuh imunitas, harusnya lebih baik dibanding hanya separuh kuantitas dengan imunitas penuh," papar Read.
Apakah perlu update vaksin musiman?
Untungnya beberapa jenis vaksin tidak kehilangan keampuhannya, akibat evolusi normal virusnya. Contohnya vaksin cacar atau campak Jerman tidak mengembangkan mutasi yang bisa lolos dari imunitas yang dipicu vaksinasi. Dalam beberapa dekade terakhir, hanya sedikit virus yang mengembangkan resistensi.
Namun ada kekecualian, misalnya pada virus infuenza, yang terus menerus melakukan mutasi, hingga tiap musim harus dikembangkan vaksin yang sesuai.
Jika SARS-CoV-2 berperilaku serupa virus flu, artinya vaksin corona harus terus menerus diaktualisasi. Update semacam itu untuk vaksin berbasis mRNA menurut BioNTech-Pfizer bisa dilakukan dalam hitungan minggu. Tapi produksi, uji klinis dan regulasinya tentu memerlukan waktu cukup panjang. Padahal saat ini pusat imunisasi di seluruh dunia, mengharapkan secepatnya mendapat suplai vaksin anti corona.
Alexander Freund (as/rap)
Negara dengan Kuota Vaksinasi Corona Tertinggi di Dunia
Sejumlah negara ngebut melakukan vaksinasi corona untuk meredam pandemi Covid-19 secara efektif. Yang mengejutkan, sejumlah negara kecil mencapai kuota vaksinasi per kapita tertinggi di dunia.
Foto: picture-alliance/dpa/Geisler-Fotopress
Israel Terdepan
Israel berada di peringkat paling atas sebagai negara dengan kuota vaksinasi corona per kapita tertinggi sedunia. 96% dari seluruh populasi yang jumlahnya 8,6 juta orang minimal sudah mendapat dosis pertama vaksin (posisi 08/03/21). Sukses negara Yahudi itu untuk mengerem pandemi Covid-19 mendapat acungan jempol. Kini kehidupan publik berangsur normal, tapi prokes tetap dijalankan.
Foto: Ronen Zvulun/REUTERS
Uni Emirat Arab di Posisi Dua
Uni Emirat Arab (UEA) menyusul di posisi kedua dengan kuota vaksinasi per kapita mencapai 62 per 100 penduduk. Sekitar 6,8 juta dari lebih 9 juta penduduk UEA sudah mendapat vaksin corona dosis pertama. UAE menggunakan vaksin Sinovac buatan Cina untuk program vaksinasi massal gratis. Saat ini Dubai mulai "roll out" vaksinasi dengan vaksin buatan BioNTech-Pfizer.
Foto: Getty Images/AFP/K. Sahib
Inggris
Inggris mencatatkan kuota vaksinasi corona per kapita pada kisaran 31 per 100 orang. Dengan jumlah populasi hampir 86 juta orang, berarti lebih dari 28 juta warga Inggris sudah mendapat vaksin corona. Aktual ada tiga jenis vaksin yang digunakan, yakni buatan BioNTech-Pfizer, Moderna dan AstraZeneca.
Foto: Victoria Jones/AFP/Getty Images
Amerika Serikat
Amerika Serikat juga ngebut memerangi pandemi Covid-19, setelah terganjal beberapa bulan oleh politik Trump. Aktual kuota vaksinasi per kapita mencapai 23,5 per 100 orang. Artinya hingga saat ini sudah lebih dari 76 juta dari total 331 juta populasi AS mendapat minimal satu dosis vaksin buatan BioNTech-Pfizer atau Moderna. Presiden terpilih Joe Biden mendapat vaksinasi sebagai aksi simbolis.
Foto: Tom Brenner/REUTERS
Serbia
Serbia, salah satu negara bekas Yugoslavia dengan populasi 7 juta orang juga ngebut dengan program vaksinasi massal. Kuotanya mencapai 22 per 100 orang (posisi 4/3/21) Menteri kesehatan Serbia, Zlatibor Loncar secara simbolis mendapat vaksinasi anti Covid-19 buatan Sinopharm, Cina di Beograd akhir Januari silam.
Foto: Nikola Andjic/Tanjug/ Xinhua News Agency/picture alliance
Chile
Negara kecil di Amerika Selatan, Chile juga melakukan vaksinasi massal dengan cepat. Negara dengan populasi sekitar 19 juta orang itu sudah mencapai kuota 19,2 per 100 penduduk. Presiden Sebastian Pinera mendaat suntikan vaksin perdana secara simbolis pertengahan Februari lalu di kota Futrono. Vaksin yang digunakan adalah Sinovac buatan Cina.
Bahrain menjadi negara di kawasan Teluk berikutnya yang mencatatkan kuota tinggi vaksinasi corona dengan 17,8 per 100 orang. Registrasi vaksinasi di negara kecil berpenduduk sekitar 1,6 juta orang itu dilakukan menggunakan aplikasi mobile. Vaksinasi menggunakan dua jenis vaksin dalam program ini, yakni vaksin buatan Sinopharm dan buatan BioNTech-Pfizer.
Foto: Imago/Sven Simon
Denmark
Denmark negara kecil di Eropa dengan populasi 5,8 juta mencatatkan kuota vaksinasi corona per kapita 11 per 100 warga. Jika dilihat angka mutlaknya relatif kecil, hanya sekitar 600 ribu warga yang mendapat vaksinasi. Tapi dilihat dari kuota per total populasi angka itu cukup tinggi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendapat vaksin Sinovac buatan Cina saat memulai kampanye vaksinasi massal di Ankara pertengahan Januari silam. Saat ini kuota vaksinasi di Turki mencapai sekitar 11 dari 100 warga di negara dengan populasi 82 juta orang itu.
Foto: Murat Cetinmuhurdar/Presidential Press Office/REUTERS
Jerman
Jerman belakangan catat pertambahan kasus covid-19, menjadi lebih dari 2,5 juta orang dan lebih dari 72.000 korban meninggal. Walau vaksin BioNTech berasal dari Jerman, namun pembagiannya tergantung Uni Eopa. Jerman baru mencatat 7,9% vaksinasi corona bagi 83 juta penduduknya. Strategi vaksinasi dikritik sebagai amat lamban dan kurang efektif. Penulis Agus Setiawan (as/pkp)