Ratusan warga lansia Korea Utara dan Selatan kembali bertemu setelah terpisah selama puluhan tahun. Bagi kebanyakan dari mereka, ini mungkin pertemuan keluarga pertama sekaligus terakhir kali, menimbang faktor usia.
Iklan
Banyak dari mereka tidak saling memberi kabar sejak meletusnya Perang Korea 1950-53, yang membelah negara ini menjadi dua. Hari Selasa lalu (20/10/15) mereka berkesempatan untuk melepas rindu selama tiga hari.
Dengan membawa berbagai oleh-oleh, sekitar 390 warga Korea Selatan berkumpul di sebuah resor di Gunung Kumgang, Korea Utara, untuk bertemu sekitar 140 sanak keluarga mereka yang berwarganegara Korea Utara. Reuni tahap kedua di tempat ini akan mempertemukan sekitar 250 warga Korea Selatan dan 190 anggota keluarga mereka yang tinggal di Korea Utara.
Reuni berlangsung dengan emosi yang campur baur: rasa haru, gembira dan juga sedih. Kakak beradik, orangtua dan anak mereka, sepupu, juga kerabat lain, mereka saling melepas rindu yang tertanam berdasawarsa lamanya. Mereka mencoba menikmati hari berharga ini, juga dengan hal-hal kecil.
Bagi banyak dari mereka, pertemuan ini menjadi satu-satunya kesempatan untuk melihat keluarga mereka. Setelah puluhan tahun terpisah, mereka diberi kesempatan tiga hari yang sangat berharga untuk menghabiskan waktu bersama.
Acara reuni keluarga Korea, pertama kali digelar oleh kedua pemerintah pada Februari 2014. Sebelumnya, reuni keluarga diselenggarakan secara sporadis sejak tahun 1988.
Banyak warga yang mendaftar ikut reuni, dengan harapan mereka akan bisa bertemu lagi sanak keluarga yang terpisah sebelum mereka meninggal. Namun sampai sekarang, hanya sedikit yang telah mendapatkan kesempatan ini. Hampir setengah dari 130.410 warga Korea Selatan yang mendaftar ikut reuni telah meninggal dunia.
Tirai Tersibak: Keseharian di Korea Utara
Sekelompok wartawan menjelajah Korea Utara selama sepekan, sambil ditemani pejabat yang menyensor foto atau memastikan tidak ada wawancara. Hasil temuan mereka menampilkan gambaran unik negeri yang tertutup itu.
Wartawan dan kantor berita AP menjelajah sekitar 2.150 kilometer di negara yang cuma mempunyai 25.000 kilometer ruas jalan. Selama perjalanan itu mereka mendapati negeri yang selama ini terisolasi. Dalam gambar tampak seorang perempuan berjalan di sebuah ruas di luar kota Pyongyang.
Seorang pria Korea Utara memanggang kentang dan ayam di atas api unggun di tepi kota Samjiyon di provinsi Ryanggang. Dibandingkan wilayah lain di muka bumi, Korea Utara nyaris tak tersentuh. Sebab itu pula merupakan sebuah kejutan ketika pemerintah Pyongyang mengundang wartawan AS untuk menjelajahi negerinya.
Sebongkah batu berdiri di tepi jalur menuju puncak gunung Paektu dí provinsi Ryanggang. Gunung ini diagungkan oleh penduduk setempat bukan cuma karena keindahan alamnya, melainkan lantaran dianggap sebagai tempat lahirnya revolusi merah di Korea Utara. Gunung Paektu juga sering disebut dalam cerita rakyat sebagai asal muasal nenek moyang penduduk Korea.
Petani berjalan di tengah guyuran hujan di dekat kota Hyesan, di provinsi Ryanggang. Korea Utara bertekad menghidupkan kembali sektor pariwisata yang lama terabaikan. Sebab itu Pyongyang mengundang wartawan asing. "Kami tidak boleh memotret razia jalan raya, instansi militer atau penjara," kata seorang wartawan yang diundang.
Para bocah di Korea Utara terkadang harus ikut membantu pembangunan jalan seperti yang tampak di provinsi Hamgyong ini. Jalan terbaik di Korea Utara adalah ruas sepanjang 200 kilometer yang menghubungkan ibukota Pyongyang dengan kota pelabuhan di timur, Wonsan.
Penduduk lokal berjalan di sepanjang sungai di kota Kimchaek, provinsi Hamgyong. Kota yang dulunya menjadi pusat pertambangan bijih besi itu kini membisu. Nama Kimchaek diambil dari seorang pahlawan perang Korea Utara yang tewas pada perang saudara.
Sisa-sisa makan siang di sebuah restoran di Wonsan. Santapan siang sebagian besar penduduk Korea Utara diyakini lebih sedikit ketimbang yang disajikan buat pelancong asing. Menurut WHO, ratusan ribu penduduk Korut menderita kelaparan. "Di antara ribuan manusia yang kami temui selama perjalanan, cuma dua yang badannya gempal," kata wartawan yang diundang.
Para wartawan dipaksa mengikuti aturan yang antara lain melarang wawancara dengan penduduk lokal. "Mungkin sebagian besar tidak pernah melihat orang asing," kata wartawan AP, Eric Talmadge. "Kehadiran kami diabaikan. Kami tidak bertukar pandang, apalagi bertukar kata." Tampak dua bocah bermain bola sembari menikmati guyuran hujan di kota Hyesan, provinsi Ryanggang.
Pria Korut menyantap makanan piknik dengan ditemani bir Taedonggang buatan lokal di sebuah kota di provinsi Hwanghae. Tahun ini PBB memperkirakan, Korut akan mampu memproduksi makanan yang cukup untuk penduduknya. Namun kelaparan tetap menjadi masalah besar. Sepertiga bocah Korea Utara mengalami pertumbuhan lambat lantaran kekurangan nutrisi.
Seorang petani memanen kol di pinggiran kota Pyongyang. Masalah terbesar Korea Utara di sektor pertanian adalah sebagian lahan negara yang tidak layak untuk berocok tanam. Kendati produksi pangan jauh meningkat dibandingkan awal 1990-an, ancaman bencana kelaparan mengintai setiap kali panen mengalami kegagalan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Wong Maye-E
Sepi Kendaraan Bermotor
Seorang pria sedang menginspeksi mesin mobilnya di tepi danau Wonsan. Cuma segelintir penduduk yang mampu membeli kendaraan bermotor. Dari sekitar 25.000 km ruas jalan, cuma 750 kilometer yang beraspal.
Sekelompok remaja Korea Utara menikmati santapan piknik di tepi danau Wonsan. "Bahkan di tengah jalan yang paling sepi sekalipun, kami didatangi oleh perwira yang bertugas mengawasi gerak-gerik kami," kata wartawan yang datang meliput.
Penduduk setempat menunggu kereta di samping rel yang melewati sebuah kota kecil di provinsi Hamgyong. Adapun sebagian lain yang tidak mampu membeli tiket kereta, harus rela berjalan kaki ke kota terdekat buat membeli kebutuhan hidup.