1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikVietrnam

Vietnam Perketat Pengawasan pada “Influencer” Media Sosial

6 Maret 2024

Pihak berwenang Vietnam menahan seorang YouTuber terkenal pekan lalu. Tetapi mengapa pemerintah Vietnam menindak suara-suara independen?

Bloger Vietnam Nguyen Chi Tuyen
Bloger Vietnam Nguyen Chi TuyenFoto: HOANG DINH NAM/AFP/Getty Images

Nguyen Chi Tuyen, yang juga dikenal sebagai Anh Chi, ditahan di Vietnam dengan tuduhan melawan negara pada hari Kamis (29/02).

"Influencer” YouTube itu tengah diselidiki akibat menyebarkan informasi yang menentang negara Vietnam dan akan menghabiskan empat bulan dalam tahanan di Hanoi, sementara pihak berwenang meneruskan penyelidikan.

Tuyen adalah salah satu aktivis masyarakat sipil yang paling terkenal di Vietnam. Dia adalah bagian dari "kelompok No-U," sebuah kelompok anti-Cina yang menolak garis berbentuk U dari Beijing dalam upayanya untuk mengontrol wilayah di Laut Cina Selatan.

Berfokus pada aktivis influencer

Tuyen memiliki kanal YouTube yang cukup sukses, termasuk kanal yang membahas masalah-masalah luar negeri, seperti perang Rusia di Ukraina.

Zachary Abuza, seorang profesor di National War College, Washington D.C., yang berfokus pada politik dan keamanan Asia Tenggara, mengatakan bahwa YouTuber tersebut adalah aktivis berpengaruh yang menjadi target baru-baru ini.

"Bagi jurnalis independen, ada banyak undang-undang, keputusan, dan kebijakan siber yang telah meningkatkan biaya, memberlakukan denda perdata, dan mengalihkan tanggung jawab untuk mengawasi ke platform media sosial itu sendiri," katanya kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Melalui langkah-langkah ini, pemerintah berharap bahwa sensor mandiri dapat melakukan sebagian besar pekerjaan untuk mereka," seraya menambahkan bahwa "Kementerian Keamanan Publik lebih memfokuskan perhatiannya pada para pemberi pengaruh utama."

'Memastikan keamanan nasional'

Vietnam adalah negara Komunis satu partai di Asia Tenggara, di mana pemerintahnya memiliki kontrol penuh atas negara, organisasi atau kelompok sosial, dan media.

Meskipun Vietnam memiliki ekonomi yang berkembang pesat, negara ini masih memiliki reputasi yang buruk dalam hal korupsi, penyensoran politik, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil.

Pada bulan Februari, ada sebuah dokumen yang bocor dari badan pemerintah tertinggi pengambil keputusan Politbiro Vietnam, yang mengungkapkan bahwa wawasan tentang pemikiran para pemimpin negara itu masih begitu terbatas.

Dokumen tersebut menunjukkan bagaimana kebijakan pemerintah Vietnam bertujuan untuk "menjamin keamanan nasional," termasuk mencegah masyarakat sipil membentuk kebijakan negara dan menciptakan kelompok-kelompok oposisi.

Dokumen Directive 24 itu diperoleh dan diterjemahkan oleh Proyek 88, sebuah organisasi berbasis di Amerika Serikat (AS) yang mengkampanyekan kebebasan berekspresi di Vietnam.

Hingga kini, ada sekitar 176 aktivis yang berada di penjara Vietnam, ungkap proyek tersebut.

"Nguyen Phu Trong hanya berfokus pada satu tujuan, yakni untuk menghancurkan masyarakat sipil Vietnam yang baru lahir. Dia telah mengincar sektor demi sektor, termasuk asosiasi pengacara, pencinta lingkungan, dan jurnalis independen. Directive 24 ini merangkum pemikirannya tentang ancaman yang ditimbulkan oleh masyarakat sipil dalam memimpin revolusi yang penuh warna," ungkap Abuza mengenai ketua Politbiro.

Namun, pertemuan tingkat tinggi Vietnam dengan dua negara adidaya utama di dunia juga berperan dalam meningkatnya ketegasan Hanoi atas kebijakan domestiknya.

AS dan Vietnam meningkatkan hubungan antara kedua negara itu menjadi "mitra strategis komprehensif" pada bulan September tahun lalu, setelah kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Vietnam.

"Hanoi telah diberkahi oleh fakta bahwa ada dua pemerintahan AS yang tidak mengangkat hak asasi manusia sebagai isu bilateral," kata Abuza.

"Trump sama sekali tidak peduli. Pemerintahan Biden mengatakan bahwa hak asasi manusia hanya akan menjadi pusat dari kebijakan luar negerinya, namun dalam hubungannya dengan Hanoi, hal itu diabaikan."

Presiden Cina Xi Jinping juga telah mengunjungi Hanoi pada bulan Desember tahun lalu untuk membahas "masa depan bersama" kedua negara.

"Vietnam memang belajar dari Cina dalam hal mengembangkan hukum dan peraturan untuk memantau internet, tetapi para pemimpin di Hanoi berada dalam posisi yang sulit karena internet, tidak seperti Cina, Vietnam adalah masyarakat yang jauh lebih terbuka daripada Cina," tambah Abuza.

"Para pemimpin Partai Komunis Vietnam memiliki kekhawatiran yang sama dengan Tiongkok, tetapi mereka tidak memaksakan, jadi ada ketakutan," tambahnya.

Aktivis iklim 'menginjak poin-poin penting'

Para aktivis lingkungan mengatakan bahwa mereka telah menghadapi intimidasi dan pelecehan dari pihak berwenang Vietnam, dan banyak orang yang menentang kebijakan energi pemerintah, di mana pada akhirnya juga dijatuhi hukuman penjara karena "penggelapan pajak" atau "penipuan", sebuah taktik penindasan yang umum dilakukan oleh pemerintah komunis Vietnam. 

Aktivis iklim Hoang Duc Binh dipenjara pada tahun 2018 setelah memprotes pembuangan limbah beracun yang mematikan berton-ton ikan.Foto: VIETNAM NEWS AGENCY/AFP via Getty Images

Proyek 88 mengatakan pihaknya ada bukti bahwa para aktivis tersebut dipenjara untuk membungkam suara mereka dan menyingkirkan mereka dari masyarakat.

Bill Hayton dari Chatham House Asia-Pasifik di London mengatakan, pada saat itu, para aktivis itu cenderung "menginjak-injak poin-poin yang penting."

Hayton mengatakan kepada DW bahwa "dengan mengkritik industri batu bara milik negara, mereka mengganggu kepentingan domestik yang sangat berpengaruh di Vietnam. Dan hal itu membuat mereka memiliki beberapa musuh."

(kp/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait