1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikVietrnam

Vietnam Rencanakan Reformasi Birokrasi, Pangkas Kementerian

18 Desember 2024

Vietnam merencanakan reformasi birokrasi yang ambisius dengan memangkas jumlah badan pemerintah dari 30 menjadi 21. Beberapa kementerian akan digabung, dan beberapa media milik negara akan dibubarkan.

Kongres Vietnam I di Hanoi | Desember 2020
Beberapa kritikus khawatir bahwa rencana reformasi ini hanya akan mengonsolidasikan kekuasaan tanpa menangani masalah sistemik yang lebih dalamFoto: Phuong Hoa/VNA/REUTERS

Pemerintah komunis Vietnam berencana melakukan "revolusi” institusional dengan merampingkan birokrasinya secara radikal dalam beberapa bulan mendatang. Jumlah badan pemerintah akan dikurangi dari 30 menjadi 21.

Beberapa kementerian utama, termasuk kementerian keuangan dan investasi, akan digabung, sementara komisi-komisi yang dijalankan oleh Partai Komunis Vietnam (VCP) yang berkuasa dan organisasi-organisasi media milik negara, akan dibubarkan, demikian menurut rencana reformasi itu.

Komite Sentral partai telah menyetujui rencana tersebut pada 25 November, dan diharapkan selesai pada bulan April 2025 mendatang. Nantinya, Vietnam akan memiliki 13 kementerian, empat lembaga setingkat kementerian, dan empat badan pemerintah tambahan.

Rincian perubahan yang direncanakan

Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah penggabungan Kementerian Keuangan dengan Kementerian Perencanaan dan Investasi untuk membentuk "kementerian super” baru yang disebut Kementerian Keuangan dan Perencanaan Nasional.

To Lam menyebutkan bahwa perubahan-perubahan ini dibutuhkan salah satunya karena alasan ekonomiFoto: MINH HOANG/POOL via REUTERS

Kementerian Transportasi juga akan bergabung dengan Kementerian Konstruksi, sementara Kementerian Tenaga Kerja, Penyandang Disabilitas, dan Urusan Sosial akan bergabung dengan Kementerian Dalam Negeri, demikian menurut laporan media pemerintah Vietnam.

Partai Komunis dan Majelis Nasional juga akan mengalami restrukturisasi. Sebagai contoh, Komisi Pusat Partai untuk Urusan Eksternal dan Komite Hubungan Luar Negeri dari Majelis Nasional akan diserap ke dalam Kementerian Luar Negeri.

Lebih jauh lagi, beberapa media yang dikelola negara, terutama stasiun radio, akan dibubarkan dan staf mereka akan dialihkan ke organisasi berita yang lebih besar.

Meskipun angka-angka spesifiknya belum diungkapkan, skala pemangkasan tersebut menunjukkan bahwa ribuan pegawai negeri kemungkinan terpengaruh dampaknya.

Penggabungan semacam ini bukan hal baru di Vietnam, yang secara bertahap mengurangi jumlah kementerian dari 36 kementerian pada awal 1990-an menjadi 22 kementerian pada tahun 2021.

Namun, para analis mencatat bahwa skala dan kecepatan reformasi kali ini sangat besar, dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis, To Lam, menyebut proses tersebut sebagai "revolusi kelembagaan”.

Tujuan utamanya adalah "modernisasi aparatur negara Vietnam, mengatasi inefisiensi yang terus-menerus menghambat tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, serta merampingkan birokrasi yang membengkak,” ujar Nguyen Khac Giang, peneliti tamu di ISEAS Yusof Ishak Institute.

Menurut Nguyen, jika dilaksanakan dengan baik, reformasi ini dapat menjadikan To Lam, yang dianggap sebagai politisi paling berkuasa di Vietnam, dan warisan Perdana Menteri Pham Minh Chinh, sebagai seorang reformis yang berorientasi pada tindakan.

Reformasi sebagai kebutuhan ekonomi

Dalam pertemuan Komite Sentral bulan lalu, To Lam menyebut perubahan-perubahan ini sebagai kebutuhan ekonomi, dengan menggambarkan institusi-institusi sebagai "hambatan dalam hambatan". Menurutnya, reformasi ini bertujuan membuat pemerintah menjadi "ramping, kompak, kuat, efisien, efektif, dan berdampak.”

Nguyen Dinh Cung, mantan direktur Central Institute for Economic Management, salah satu institut nasional utama di Vietnam, meyakini reformasi ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi.

Menurutnya, perampingan kementerian dan komisi akan memudahkan dokumen investasi serta skema infrastruktur dan real estat, juga menyelesaikan beberapa tumpang tindih kelembagaan yang menarik pemerintah ke arah yang berlawanan.

"Satu lembaga mengharuskan Anda ke kanan sementara lembaga lain menuntut Anda ke kiri. Masalah ini cukup umum terjadi," jelas Cung.

Rencana reformasi ini muncul di tengah kekhawatiran di Hanoi tentang laju pertumbuhan ekonomi.

Sebagai ekonomi yang bergantung pada ekspor, Vietnam menghadapi ketidakpastian tentang hubungan perdagangannya dengan pasar terbesarnya, Amerika Serikat, yang semakin meningkat menjelang masa kepresidenan Donald Trump yang akan datang.

Trump telah mengancam akan memberlakukan tarif sebesar 10%-20% untuk semua impor dan sebelumnya telah melabeli Vietnam sebagai "pelanggar terburuk” perdagangan AS karena surplus besarnya, yang telah meningkat secara besar-besaran sejak 2019.

Hai Hong Nguyen, seorang dosen senior di VinUniversity, mencatat bahwa 40 tahun setelah mengadopsi prinsip-prinsip pasar bebas, Vietnam kini menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah dan dipandang oleh dunia internasional sebagai sebuah model pembangunan.

Namun, "kerangka institusionalnya dipandang sebagai ‘hambatan' yang menghambat perkembangan ekonomi lebih lanjut,” kata Nguyen.

"Berdasarkan semua indikasi, Vietnam seharusnya berkembang lebih cepat dan berada di tingkat perkembangan yang lebih tinggi,” tambahnya.

Awal tahun 2024, To Lam sempat memegang jabatan sebagai pemimpin partai dan presiden negara, sebuah konsentrasi kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di VietnamFoto: NHAC NGUYEN/AFP

Upaya konsolidasi kekuasaan?

Reformasi ini juga memiliki dimensi politik. To Lam menjadi pemimpin partai pada bulan Agustus setelah kematian pendahulunya, Nguyen Phu Trong, yang mengubah Vietnam dengan kampanye anti-korupsi yang dijuluki "tungku yang menyala-nyala”.

Sebelumnya, saat menjabat sebagai menteri keamanan publik, To Lam mengumpulkan kekuatan yang signifikan dengan memelopori upaya antikorupsi. Sejak tahun 2021, pejabat dari Kementerian Keamanan Publik, militer, dan polisi semakin banyak mengisi mayoritas kursi di Politbiro, badan pembuat keputusan tertinggi di Vietnam.

Setelah naik ke jabatan tertinggi partai, To Lam terus mengonsolidasikan kekuasaan, yang mengarah pada tuduhan kecenderungan diktator. Awal tahun ini, ia sempat memegang jabatan sebagai pemimpin partai dan presiden negara, sebuah konsentrasi kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Vietnam.

Meskipun sebagian besar analis memperkirakan dia akan lanjut menjabat sekretaris jenderal, ada gosip ketidakpuasan di dalam partai.

Beberapa pengamat menarik kesamaan antara reformasi institusional Vietnam dan rencana pemerintahan Trump mendatang untuk merombak pemerintahan AS. David Brown, mantan diplomat AS di Vietnam, mengatakan bahwa pendekatan Trump bertujuan untuk "mengukuhkan kendalinya.”

Demikian juga, To Lam "berniat untuk menempatkan orang-orang yang ia percayai pada jabatan-jabatan penting,” terutama jika hal tersebut dibarengi dengan perombakan struktur pemerintahan yang sudah lama tertunda.

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait