Viral 'Joki Strava', Waspadai Risiko Hidup dalam Kepalsuan
5 Juli 2024
Media sosial dihebohkan dengan kemunculan jasa 'joki Strava.' Strava adalah aplikasi di kalangan pelari dan pesepeda, yang digunakan untuk merekam aktivitas olahraga penggunanya. Apa kata psikolog soal fenomena ini?
Media sosial diramaikan dengan fenomena unik soal banyaknya orang yang menggunakan jasa joki Strava, sewa iPhone, hingga sewa lanyard BUMN. Banyak yang menduga, mereka yang melakukan hal ini karena haus validasi.
Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi mengatakan salah satu faktor yang membuat seseorang sampai melakukan hal tersebut bisa saja hanya untuk mendapatkan pengakuan sosial. Mereka, ingin mendapatkan validasi dari orang lain.
"Jadi kalau dibilang haus validasi, sebenernya bisa juga sih. Tapi bisa juga ada faktor-faktor lain," ujar Anastasia saat dihubungi detikcom, Kamis (4/7/2024).
Selain itu, lanjut Anastasia, ada faktor lain yang bisa juga mendorong mereka melakukan hal tersebut yakni konformitas atau pengaruh sosial yang membuat seseorang mengubah sikap dan tingkah laku sesuai norma sosial yang ada.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Faktor kedua bisa juga konformitas, di mana dalam psikologi sosial sesuatu yang dilakukan oleh banyak orang maka bisa saja itu dianggap sebagai sesuatu yang normal dan wajar," kata Anastasia.
"Sehingga, menjadi tren, ingin mencoba, penasaran, ingin tahu juga dan merasakan punya benda-benda. yang dipakai oleh mereka 'kelas atas'," sambungnya.
Perilaku seperti ini menurut Anastasia biasanya diawali dengan rasa penasaran dan ingin tahu tentang sensasi yang dirasakan orang lain.
Kepuasan dan Perfeksionisme - Mengapa Otak Kita Suka Instagram?
Media sosial termasuk Instagram bisa menjadi sumber informasi, tetapi lebih sering menyulut perasaan tidak puas dan kurang bisa bersaing. Tapi mengapa sulit meninggalkan media sosial?
Foto: picture-alliance/PhotoAlto/F. Cirou
Perfeksionisme semu dan jebakannya
Terutama dalam Instagram, kecenderungan bandingkan diri sendiri dengan orang lain sangat mudah muncul. "Orang lain hidupnya tampak lebih cool - merasa kurang OK di berbagai area sangat mudah," kata Victoria van Violence, seorang influencer. Padahal gambar yang ditampilkan kadang sangat jauh dari kenyataan. Dan itu bukan rahasia lagi. Mengapa sulit tinggalkan Instagram?
Foto: picture-alliance/dpa/J. Schmitt-Tegge
Ingin cepat merasakan kepuasan
Menurut Instagram, penggunanya lebih dari 500 juta per hari. Apa yang terjadi di otak jika gunakan Instagram? Dar Meshi, pakar ilmu syaraf dari AS, uji pengguna media sosial dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Jika orang dapat pemberitahuan bahwa postingnya disukai, sistem penghargaan di otak aktif. Sama halnya jika kita diberi makan, minum, uang atau jika terpuaskan kalau ketagihan obat.
Foto: picture-alliance/blickwinkel/ADR
Sulitnya menentukan batas
Orang rasakan keuntungan dari media sosial, karena melaluinya bisa berhubungan dengan ratusan atau ribuan orang tanpa perlu keluar rumah. Meshi mengungkap, belum pernah ada orang tua yang kehilangan hak urus anak, karena terlalu lama gunakan media sosial. Tapi ada orang yang susah tidur, susah konsentrasi, bahkan kehilangan pekerjaan karena tidak bisa meninggalkan media sosial untuk waktu lama.
Foto: picture-alliance/imagebroker/V. Wolf
Sehat atau tidak sehat?
Peneliti menduga, pengguna aktif yang juga mendapat jempol dari pengguna lain, lebih merasa senang, daripada pengguna pasif. Dalam hal membandingkan diri dengan orang lain, profesor etika media, Petra Grimm berkata, "Ini masalah, jika setelah membandingkan, orang turunkan nilai dirinya sendiri, atau menetapkan, orang lain lebih hebat." Membandingkan juga persulit pengguna muda menemukan jati diri.
Foto: Imago/Westend61
Bagaimana dengan anak-anak?
Petra Grimm melihat kekurangan dalam pendidikan di sekolah. Langkah preventif harus diambil, kata Grimm dan menambahkan, guru-guru harus terangkan strategi bisnis di balik media sosial. Murid juga harus diberikan informasi dan kesempatan refleksi konsekuensi media sosial. Influencer van Violence tekankan, "Jika tidak punya hubungan dengan orang lain di dunia nyata, kita tidak punya apapun."
Foto: picture-alliance/SvenSimon/F. Hoermann
Orang harus bisa mengatur sendiri penggunaan media sosial
Baik influencer Victoria van Violence, maupun ilmuwan Petra Grimm, dan Dar Meshi tidak menyebut media sosial sesuatu yang sepenuhnya buruk. Mereka menyebutnya kesempatan unik untuk berhubungan dengan orang lain. Tetapi kita bisa dan harus menentukan sendiri, bagaimana mereka gunakan media sosial. Orang yang sebabkan kita sedih tidak perlu diikuti lagi, katanya. (ml/vlz)
Foto: picture-alliance/PhotoAlto/F. Cirou
6 foto1 | 6
"Misalkan kalau ini ada (sewa) lanyard BUMN gitu, nilai-nilai sosial dalam memperlakukan orang-orang dengan tag-tag atau simbol-simbol tertentu dipandang lebih baik. Mungkin mereka ingin merasakan hal itu, sedangkan di kehidupan aslinya tidak, itu juga bisa menjadi salah satu landasannya," lanjut Anastasia.
Anastasia menekankan agar mereka yang mulai terjebak dalam 'lingkaran kebohongan' ini berhati-hati. Pasalnya, jika diteruskan maka mereka justru akan hidup dalam kepalsuan.
"Efeknya kalau dibiarkan lama jika validasi itu terus menerus diberi makan, menurut saya akan kurang baik untuk dirinya sendiri. Berarti dia hidup juga dengan 'kepalsuan', jadi dia merasakan sensasi-sensasi yang palsu," kata Anastasia.
"Topeng dengan berbagai simbol dan aksesoris-aksesoris yang bukan pencapaian dia aslinya, dikhawatirkan dia bisa lupa dengan aslinya dia, atau 'wajah' aslinya dia, atau kemampuan dia aslinya," tutupnya. (gtp/gtp)