Corona Jadi Pukulan Telak bagi Industri Garmen Bangladesh
23 Juni 2020Sejak terjadinya pandemi COVID-19, Rubana Huq telah berkampanye tanpa lelah untuk meningkatkan kesadaran bagi mereka yang bekerja di bawah rantai industri tekstil. Di Bangladesh,jutaan pekerja pabrik garmen dipecat selama masa lockdown.
Presiden Asosiasi Produsen dan Pengekspor Garmen Bangladesh (BGMEA) telah berulang kali memperingatkan konsekuensi mengerikan yang dihadapi para pekerja yang kehilangan pendapatannya akibat merek-merek fashion global terus membatalkan pesanan.
Menanggapi hal tersebut, Uni Eropa mengorganisir dana darurat untuk membantu mereka, yang menurut Huq "sangat dihargai". Tetapi bantuan tersebut hanya mampu menghambat dampak kerusakan pada industri tekstil negara itu.
Ketergantungan ekspor
Menurut angka BGMEA, pesanan senilai € 2,8 miliar atau setara Rp 44,8 triliun telah dibatalkan sejak munculnya wabah COVID-19 yang terjadi awal tahun ini.
"Lebih dari 50% pembatalan pesanan senilai € 2,8 miliar berasal dari pembeli Eropa," kata Huq kepada DW, seraya menambahkan bahwa ini "sangat disayangkan" mengingat sejarah panjang hubungan dagang dengan Uni Eropa.
Banyak negara Asia sangat bergantung pada ekspor tekstil yang menjadi sumber pendapatan nasionalnya. Dan industri ini menyumbang lebih dari 80% keseluruhan ekspor Bangladesh. Sebagai perbandingan, industri mobil Jerman, yang dikatakan penting bagi perekonomian Jerman, menghasilkan kurang dari 20% dari ekspor negara itu.
Sekitar 4 juta pekerja bergantung pada industri garmen. Sebagian besar dari mereka merupakan penjahit wanita yang menjadi tulang punggung keluarga dan hidup mengandalkan gaji. "Sejak Maret 2020, sekitar 179 pabrik terpaksa tutup, dan banyak yang sedang dalam antrian," kata Huq.
Dia mengakui bahwa kontraktor Eropa juga berjuang, namun pembatalan pesanan yang menyebabkan kerugian finansial bagi satu pihak merupakan tindakan yang "tidak adil."
Solusi yang sulit dipahami
Importir tekstil Jerman membantah telah memperlakukan produsen Bangladesh secara tidak adil. German Fashion, sebuah kelompok industri yang mewakili label mode mengatakan kepada DW dalam sebuah pernyataan, anggotanya tidak membatalkan pesanan "dalam jumlah besar," karena mereka berusaha untuk "menjaga hubungan dekat yang mereka miliki dengan produsen selama bertahun-tahun."
"Kami saat ini mengadakan beberapa pembicaraan antara produsen dan pembeli karena kami yakin masalahnya hanya dapat diselesaikan dengan kesediaan untuk kompromi di kedua sisi," kata seorang juru bicara Fashion Jerman.
Asosiasi tekstil dan industri mode Jerman juga mengatakan, perusahaan anggotanya sadar akan "tanggung jawab mereka terhadap negara-negara produsen" dan tidak melakukan pembatalan jumlah besar dalam beberapa bulan terakhir. Perusahaan mengejar kebijakan "kemitraan dan rasa saling percaya," kata juru bicara kelompok lobi kepada DW.
Pukulan telak
Rantai usaha kopi Jerman Tchibo, yang juga menawarkan pakaian murah di lebih dari 1.000 toko di Jerman, mengatakan, lumpuhnya aktivitas bisnis telah "memberikan pukulan telak" bagi pengusaha eceran.
Juru bicara Tchibo, Arndt Liedtke mengatakan kepada DW, perusahaan bertujuan untuk "tetap menjadi mitra yang adil di tengah krisis."
"Bagi kami, sudah jelas selama ini kami menerima pengiriman sesuai dengan kewajiban kontrak yang disepakati sebelumnya," kata Liedtke, mencatat bahwa Tchibo baru-baru ini menandatangani kontrak untuk tahun depan.
Pejabat BGMEA, Rubana Huq memuji pendekatan Tchibo dan mengatakan perusahaan itu tidak termasuk dalam daftar perusahaan pelanggar kontrak atau membatalkan pembayaran. Yang lain, bagaimanapun, kurang ramah, tambahnya.
Kik dan C&A
Namun, pengecer pakaian murah Jerman, KiK, dikatakan BGMEA sebagai salah satu pelanggar utama kewajiban kontrak.
Dengan pendapatan tahunan sekitar € 2 miliar atau sekitar Rp 32 triliun, sejauh ini mereka telah membatalkan pesanan senilai $ 96.000 atau senilai Rp 1,3 miliar, menurut data BGMEA yang disediakan oleh pabrik-pabrik di Bangladesh.
KiK menganggap kuota pembatalan sekitar 1% sebagai keputusan yang "tidak terlalu buruk," dan mengklaim kepada DW telah membuat "hampir tidak ada pembatalan" selama masa pandemi COVID-19.
Demikian pula, rantai department store C&A, mengatakan tuduhan perusahaan melakukan pembatalan pesanan besar-besaran adalah "tidak benar."
"Setelah timbulnya wabah corona, kami mendesak mitra kami untuk segera menghentikan produksi sebagai tindakan darurat pencegahan," kata juru bicara C&A kepada DW. Pihak C&A juga menambahkan bahwa tidak ada alternatif lain yang tersisa setelah perusahaan terpaksa menutup semua 2.000 outletnya di Eropa dan tidak bisa menjual barang yang telah dikirim.
Tekstil dan pakaian yang sudah diproduksi "tentu saja diterima dan dibayar," klaim C&A, dengan pesanan yang sekarang telah "diaktifkan kembali hampir sepenuhnya."
Perang harga
Pesanan yang dibatalkan bukan satu-satunya masalah yang dihadapi produsen garmen Bangladesh selama pandemic corona. Para pengecer di negara barat lebih sering menuntut potongan harga, kata Rubana Huq. "Seiring dengan pengurangan pesanan sebelumnya, banyak pembeli meminta diskon 20% hingga 50%."
Perusahaan Jerman KiK dan C&A membantah tindakan pemaksaan tersebut di tengah pandemic. Huq mengakui bahwa tekanan untuk menurunkan harga terutama berasal dari pengecer Anglo-Saxon. "Beberapa perusahaan besar yang menunjukkan perilaku tidak profesional adalah toko Dunne, Peacocks, ASDA, Arcadia, Sainsbury dll."
Pembicaraan baru-baru ini dengan pemilik Peacocks, Edinburgh Woolen Mill Group (EWM) telah gagal menghasilkan apa pun, kata presiden BGMEA.
"Kami berusaha keras untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan (dengan EWM), tetapi sejauh ini tampaknya upaya sepihak dari kami tidak menghasilkan kerja sama."
EWM belum menanggapi permintaan DW untuk komentar.
Solidaritas vs. Kebangkrutan
Sekretaris Jenderal Euratex Dirk Vantyghem tahu benar angka mengerikan yang keluar dari industri ini.
"Total omset industri tekstil dan pakaian Eropa telah turun 50 hingga 60%, dan di beberapa sub-sektor bahkan lebih. Untuk seluruh tahun 2020, kami memperkirakan penurunan 30%. Penurunan € 50 miliar atau Rp 801 triliun, dan belum pernah terjadi sebelumnya, "katanya kepada DW.
Terlepas dari pukulan besar, ia menganggap respon beberapa perusahaan terhadap krisis sebagai langkah yang "tidak dapat diterima" dan mendesak mereka untuk menunjukkan solidaritas.
Perwakilan industri tekstil Bangladesh, Rubana Huq sepenuhnya setuju dengannya, tetapi kekhawatiran tidak berhenti di sini.
"Di tengah situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, pembeli yang bangkrut muncul sebagai teror lain bagi industri kami.“ Diterangkanya, karena saat mereka bangkrut, tidak terdapat kepastian pembayaran. Hal ini merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup bagi banyak orang di industri garmen Bangladesh. (ha/yf)