Baru saja Indonesia dipuji di ajang internasional sebagai negara demokrasi paling maju di dunia Islam, praktek sensor dan pembredelan tiba-tiba muncul lagi seperti di masa Suharto dan Orde Baru. Kolom Hendra Pasuhuk.
Iklan
Sensor, bredel, deportasi atas alasan politik. Tiba-tiba saja, Indonesia yang baru merayakan 70 tahun kemerdekaan dengan penuh kebanggaan, dan sibuk mencari investor luar dan membangun citra manis demokratis, dilempar ke belakang 20 tahun menuju era Suharto dan militerisme.
Aroma Orde Baru yang bagi banyak orang muda hanya kenangan atau kisah-kisah dari negeri jauh, tiba-tiba menyerbak mengharumi tanah Pulau Dewata. Orang disuruh diam. Dan hanya boleh bersuara mengikuti irama yang dilantunkan aparat keamanan.
Ironisnya, pratek sensor yang terakhir ini terjadi di Ubud, salah satu ikon pariwisata Indonesia yang paling dikenal dunia. Ubud, adalah hawa kebebasan dan kenyamanan, kedamaian dan keheningan jiwa, demikian citra yang dikembangkan para pembuat iklan pariwisata.
Ternyata, Ubud sekarang menjadi simbol kembalinya militerisme dan praktek budaya sensor berdasarkan komando.
Pemberangusan tema 1965 dari Ubud Writers & Readers Festival adalah tamparan keras bagi mereka yang berusaha mengedepankan wajah Indonesia yang dinamis, kreatif dan mampu berkomunikasi dengan dunia global, sekaligus menyumbang kontribusi bagi perdamaian dunia.
"Eropa, kalau mau, bisa belajar tentang apa artinya toleransi dari kami di Indonesia", ucap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada pembukaan Frankfurt Book Fair di Jerman yang dihadiri ribuan undangan kehormatan.
Saya tidak tahu, apakah hari-hari ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyesal telah memilih formulasi dan ajakan itu di depan publik dan di bawah sorotan puluhan kamera TV.
Ah, jangan terlalu mendramatisasi, kata seorang rekan jurnalis saya dari Indonesia. Saya tak habis pikir, bagaimana dia sampai pada sikap itu. Kalau ini bukan situasi dramatis bagi kebebasan berekspresi, lalu apalagi?
Saya tahu, ada perkubuan sastra di sana. Dan mungkin, festival di Ubud bukan sesuatu yang bisa "diterima" oleh sebagian kubu sastra karena satu dan lain hal.
Namun ketika kebebasan berekspresi, yang telah diperjuangkan 1998 dengan bertumpah darah, kini diancam dan ditindas, selayaklah para penulis dan pegiat sastra, para budayawan dan orang media, bersatu menentangnya. Hari ini mereka, esok ini terjadi padamu.
Tentu, saya tak berharap penyair ideologis sekelas Taufik Ismail bakal bersuara lantang menentang pembredelan Lentera dan pemberangusan kisah 1965 dari Festival Ubud. Tapi saya masih berharap pada banyak penulis dan pekerja media lain, yang tetap mau dan mampu menggunakan akal sehatnya.
Agar berdiri tegak menentang kembalinya tudung hitam bernama budaya sensor, yang mulai dihampar para demagog dan ahli nujum politik Orde Baru, buat menutupi kehijauan alam segar imajinasi dan kreativitas yang sedang tumbuh pesat di bumi nusantara.
HAM dan Realita Pahit Kemanusiaan
Pernyataan Umum Hak Azasi Manusia yang dideklarasikan oleh PBB berlaku buat semua negara anggota. Namun jalan panjang dan berliku masih terbentang hingga perlindungan HAM berhasil diterapkan di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/abaca/Depo Photos
Hak atas Kebebasan Berpendapat (18,19,20)
"Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama"(18). "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat" (19). "Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai." (20). Di seluruh dunia lebih dari 350 wartawan dan aktivis online dipenjara, tulis organisasi Reporter Tanpa Batas.
Foto: picture-alliance/dpa
Hak atas hidup dan kebebasan (Pasal 3,4,5)
"Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu." (3) "Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan." (4) "Tak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya." (5). Bagi bocah India yang dipaksa bekerja sebagai buruh ini, deklarasi HAM cuma mimpi di siang bolong.
Foto: picture-alliance/dpa
Persamaan Hak untuk Semua (Pasal 1)
"Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama." Kutipan ini diresmikan di dalam sidang umum PBB pada 10 Desember 1948 di Paris dan dikenal dengan sebutan Pernyataan umum HAM. Namun realita berkata lain. Terlihat bocah yang terpaksa menjadi buruh tambang emas di Kongo.
Foto: picture alliance/AFP Creative/Healing
Hak Sipil (Pasal 2)
Semua hak dan kebebasan berlaku buat semua manusia, terlepas dari "ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain." Sayangnya pernyataan ini terbentur realita internasional. Seperti yang harus dialami minoritas Rohingya di Myanmar.
Foto: Reuters
Setara di Hadapan Hukum (Pasal 6-12)
Semua orang setara di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum (6,8,10,12). Ia tidak bersalah selama kejahatannya belum dibuktikan (11). Dan tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang (9). Penjara Guantanamo di Kuba adalah contoh teranyar bagaimana negara-negara PBB secara sistematis melanggar pernyataan umum HAM.
Foto: Getty Images
Tidak Seorangpun Ilegal (13, 14, 15)
"Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara." Setiap orang berhak meninggalkan sebuah negara (13). "Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran." (14). Setiap orang berhak atas satu kewarganegaraan (15). Kenyataannya kini negara-negara makmur membetoni perbatasan untuk mencegah pengungsi.
Foto: customs.gov.au
Kebebasan Memilih Pasangan (Pasal 16)
Perempuan dan laki laki memiliki hak sama di dalam hubungan suami isteri. Sebuah pernikahan "hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai." Lebih dari 700 juta perempuan di seluruh dunia hidup dalam perkawinan paksa, menurut UNICEF. Salah satu contohnya adalah Tehani (ki.) dan Ghada (ka.) yang dinikahkan paksa di Yaman ketika berusia 8 tahun.
Foto: Stephanie Sinclair, VII Photo Agency for National Geographic magazine/AP/dapd
Hak atas Kepemilikan (Pasal 17)
"Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Tak seorang pun boleh dirampas hartanya dengan semena-mena." Namun jutaan orang terusir dari tanah sendiri untuk memberi ruang bagi pembangunan kota dan infrastruktur, seperti yang banyak terjadi di Cina atau Brasil.
Foto: REUTERS
Hak Memilih (Pasal 21, 22)
"Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas." (21). Setiap manusia juga dikarunai dengan "hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya." (22). Kebebasan semacam itu sayangnya tidak dikenal oleh penduduk Korea Utara.
Foto: Kim Jae-Hwan/AFP/Getty Images
Hak atas Pekerjaan Layak (Pasal 23 & 24)
"Setiap orang berhak atas pekerjaan". "Setiap orang berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama". "Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik " dan bergabung dengan serikat pekerja (23). "Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan" (24). Saat ini lebih dari 200 juta orang tidak memiliki pekerjaan, tulis Organisasi Buruh PBB, ILO.
Foto: DW
Hidup yang Bermartabat (Pasal 25)
"Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial". "Ibu dan anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa." Lebih dari dua miliar manusia di dunia menderita kekurangan gizi, sementara 800 juta orang mengalami kelaparan.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/Getty Images
Hak atas Pendidikan (Pasal 26)
"Setiap orang berhak mendapat pendidikan". Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tidak dipungut biaya. "Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi." Lebih dari 780 juta manusia di seluruh dunia tidak bisa baca tulis, kata UNESCO.
Foto: picture-alliance/dpa
Hak Berkarya dan Berbagi (Pasal 27)
"Setiap orang berhak ikut serta secara bebas dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, mengecap kenikmatan kesenian dan berbagi dalam kemajuan ilmu pengetahuan". Deklarasi HAM PBB juga melindungi "hak cipta atas karya ilmiah, kesusasteraan dan seni." Konsep hak cipta kini menjadi samar berkat media distribusi internet.
Foto: AP
Hak yang Tidak Tersentuh (28,29,30)
"Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Pernyataan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya"."Tidak satu pun negara, kelompok ataupun seseorang, berhak melakukan perbuatan yang merusak hak-hak dan kebebasan perorangan" (30). Sementara itu puluhan ribu kaum Yazidi terusir dari tanah sendiri di Irak.