VW Pergi dari Xinjiang, Pabrik dan Lintasan Uji Dijual
28 November 2024
Produsen otomotif Jerman VW mengatakan akan menjual pabrik dan lintasan uji di Xinjiang, Cina, karena alasan ekonomi. Cina dituduh menggunakan kerja paksa dari etnis Uighur di wilayah itu.
Iklan
Pabrikan mobil Jerman Volkswagen (VW) pada hari Rabu (27/11) mengumumkan akan menjual pabrik mobil di kota Urumqi, di Provinsi Xinjiang, Cina. Pabrik ini dioperasikan bersama dengan perusahaan milik negara Cina SAIC Motor Corporation sebagai mitra,
Pembelinya adalah perusahaan milik Cina, SMVIC, yang aktif dalam bisnis mobil bekas. VW juga menjual lintasan uji di Turpan dan Anting di provinsi yang sama.
Cina telah dituduh melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut, termasuk kamp pendidikan ulang dan kerja paksa yang menargetkan warga Uighur dan kelompok minoritas lainnya.
Iklan
VW kalah saing dan tumbuh lebih lambat
VW mengatakan akan menjual pabriknya di ibu kota regional Urumqi dan jalur pengujian di Turpan. Seorang juru bicara perusahaan mengutip "alasan ekonomi" di balik keputusan tersebut.
Pertumbuhan VW pada tahun 2023 jauh lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perusahaan itu juga kalah saing dengan pesaingnya dari Cina.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Perusahaan itu mengatakan akan memperpanjang kemitraannya dengan perusahaan SAIC selama satu dekade hingga 2040. Kedua perusahaan itu mengatakan bahwa mereka akan menjual pabrik mereka di Xinjiang kepada unit SMVIC dari grup Shanghai Lingang Development, yang juga akan mengambil alih pekerja pabrik tersebut.
Perusahaan mobil Eropa ini juga mengukur dampak dari potensi perang dagang antara Beijing dan Brussels setelah UE mengenakan tarif yang besar pada kendaraan listrik yang diimpor dari Cina.
Uighur - Diskriminasi di Cina dan Terdesak di Turki
Akibat banyaknya tekanan dari Cina sebagian warga Uighur pindah ke Turki. Awalnya itu tampak seperti solusi bagus, tetapi kini mereka terdesak karena tidak mendapat izin tinggal dan tidak dapat memperbarui paspor Cina.
Foto: Reuters/M. Sezer
Kritik terhadap Cina
Dunia internasional telah berkali-kali mengeritik Cina karena mendirikan sejumlah fasilitas yang digambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tempat penahanan, di mana lebih sejuta warga Uighur dan warga muslim lainnya ditempatkan. Beijing menyatakan, langkah itu harus diambil untuk mengatasi ancaman dari militan Islam. Foto: aksi protes terhadap Cina di halaman mesjid Fatih di Istanbul.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan ekonomi
Pada foto nampak seorang perempuan menikmati santapan yang dihidangkan restoran Uighur di Istanbul, Turki. Pemilik restoran, Mohammed Siddiq mengatakan, restorannya mengalami kesulitan karena warga Uighur biasanya menyantap makanan di rumah sendiri, dan warga Turki tidak tertarik dengan masakan Uighur.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Suara perempuan Uighur
Gulbhar Jelilova adalah aktivis HAM dari Kazakhstan, dari etnis Uighur. Ia sempat ditahan selama 15 bulan di tempat penahanan yang disebut Cina sebagai "pusat pelatihan kejuruan." Ia mengatakan, setelah mendapat kebebasan ia mendedikasikan diri untuk menjadi suara perempuan Uighur yang menderita.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mencari nafkah di Turki
Dua pria Uighur tampak bekerja di toko halal di distrik Zeytinburnu, di mana sebagian besar warga Turki di pengasingan bekerja. Ismail Cengiz, sekjen dan pendiri East Turkestan National Center yang berbasis di Istanbul mengatakan, sekitar 35.000 warga Uighur tinggal di Turki, yang sejak 1960 menjadi "tempat berlabuh" yang aman bagi mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Merindukan kampung halaman
Gulgine Idris, bekerja sebagai ahli rpijat efleksi di Istanbul. Ketika masih di Xinjiang, Cina, ia bekerja sebagai ahli ginekolog. Kini di tempat prakteknya ia mengobati pasien perempuan dengan pengetahuan obat-obatan dari Timur. Turki adalah negara muslim yang teratur menyatakan kekhawatiran tentang situasi di Xinjiang. Bahasa yang digunakan suku Uighur berasal usul sama seperti bahasa Turki.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan bertambah sejak beberapa tahun lalu
Sexit Tumturk, ketua organisasi HAM National Assembly of East Turkestan, katakan, warga Uighur tidak hadapi masalah di Turki hingga 3 atau 4 tahun lalu. Tapi Turki pererat hubungan dengan Cina, dan khawatir soal keamanan. Pandangan terhadap Uighur juga berubah setelah sebagian ikut perang lawan Presiden Suriah Bashar al Assad, yang berhubungan erat dengan Cina.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Kehilangan orang tua
Anak laki-laki Uighur yang kehilangan setidaknya salah satu orang tua mengangkat tangan mereka saat ditanya dalam pelajaran agama di madrasah di Kayseri. Sekolah itu menampung 34 anak. Kayseri telah menerima warga Uighur sejak 1960-an, dan jadi tempat populasi kedua terbesar Uighur di Turki. Sejak keikutsertaan warga Uighur dalam perang lawan Assad, Cina memperkeras tekanan terhadap mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mengharapkan perhatian lebih besar
Sebagian warga Uighur di Turki berharap pemerintah Turki lebih perhatikan kesulitan mereka, dan memberikan izin bekerja, juga sokongan dari sistem asuransi kesehatan. Foto: seorang anak perempuan menulis: "Kami, anak Turkestan, mencintai kampung halaman kami" dengan bahasa Uighur, di sebuah TK di Zeytinburnu. Warga Uighur di pengasingan menyebut kota Xinjiang sebagai Turkestan Timur.
Foto: Reuters/M. Sezer
Situasi terjepit
Warga Uighur juga tidak bisa memperbarui paspor mereka di kedutaan Cina di Turki. Jika kadaluarsa mereka hanya akan mendapat dokumen yang mengizinkan mereka kembali ke Cina, kata Munevver Ozuygur, kepala East Turkestan Nuzugum Culture and Family Foundation. (Sumber: reuters, Ed.: ml/hp)
Foto: Reuters/M. Sezer
9 foto1 | 9
Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang
Etnis Uighur adalah kelompok etnis yang berbahasa Turki dan sebagian besar beragama Islam yang mendiami Xinjiang. Wilayah ini juga adalah tempat asal minoritas etnis Kazakh dan Kirgistan yang lebih kecil.
Tahun lalu di Paris, Prancis, beberapa kelompok aktivis mengajukan pengaduan yang menargetkan perusahaan-perusahaan Prancis dan AS, menuduh mereka terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang akibat menggunakan subkontraktor di Cina.