1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Wajah baru KPK: Masihkah Bisa Diharapkan?

3 Desember 2024

KPK pernah jadi simbol asa masyarakat dalam memberantas korupsi. Namun, belakangan, kepercayaan warga terhadap lembaga ini runtuh seiring intervensi politik dan polemik internal. Masih adakah harapan?

Gambar palu hakim di atas meja
Ilustrasi penegakan hukumFoto: picture-alliance/dpa/U. Deck

Menjelang akhir November, Komisi III DPR menuntaskan pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dewan pengawas KPK. Berdasarkan suara terbanyak, terpilih Setyo Budiyanto sebagai Ketua KPK, dengan Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Agus Djoko Pramono, dan Ibnu Basuki Widodo sebagai wakilnya.

Dari deretan nama itu, tak ada perwakilan elemen masyarakat sipil. Semua nama berlatar belakang penegak hukum dan auditor BPK. Banyak pihak mengkritisi hasil ini. DPR dinilai abai mempertimbangkan sejumlah aspek penting, seperti rekam jejak, independensi, dan kualitas para terpilih.

Rekam jejak pimpinan KPK jadi sorotan

Sejumlah pihak pun mempertanyakan mengapa nama-nama itu terpiliih, meski punya rekam jejak kontraproduktif pada upaya pemberantasan korupsi.

Johanis Tanak, satu-satunya petahana Pimpinan KPK yang kembali terpilih, pernah menjalani sidang etik 2023 karena menghubungi pihak yang saat itu berperkara di KPK. Selain itu, dalam uji kelayakan dan kepatutan, Tanak juga sempat melontarkan keinginannya untuk menghapuskan OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK. 

Sementara komisioner terpilih Ibnu Basuki Widodo dikenal sebagai hakim yang memvonis sejumlah terdakwa kasus korupsi dengan vonis lebih ringan dari tuntutan. Bahkan, Ibnu pernah memvonis bebas terdakwa di kasus korupsi pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama. Hasil pemilihan pimpinan KPK ini pun mendapat kritik keras.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai komposisi pimpinan KPK kali ini adalah yang terburuk sejak lembaga ini berdiri pada 2002. "Desain KPK yang sudah hancur sejak revisi UU KPK tahun 2019, sekarang diisi oleh orang-orang yang rekam jejaknya sangat buruk, dan berasal dari institusi yang justru jadi sasaran tembak KPK, yang justru harusnya menjadi raison d'etre kenapa KPK didirikan," ujar Bivitri.

Hal senada juga disampaikan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya. Menurutnya, nama-nama komisioner KPK yang dipilih justru yang melontarkan wacana kontroversial, seperti menghapus OTT, mengkritisi penyadapan, dan menilai revisi UU KPK tidak melemahkan institusi itu.

Diky pun menilai pernyataan-pernyataan para pimpinan terpilih justru menunjukkan bahwa mereka tidak kompeten serta tidak memahami konteks pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. "Ini menjadi bukti bahwa, lima orang pimpinan KPK dipilih bukan atas dasar objektivitas, kompetensi, dan rekam jejak. Hanya sekadar selera subjektif anggota Komisi III DPR saja," kata Diky. 

Nihil elemen sipil, KPK minim kontrol internal

Tidak adanya elemen perwakilan masyarat sipil dalam jajaran komisioner KPK juga menjadi pertanyaan besar. Bivitri menegaskan, ketiadaan elemen masyarakat dan malah memilih pimpinan KPK berlatar belakang penegak hukum bertentangan dengan esensi didirikannya KPK.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri SusantiFoto: C. Andhika/DW

"KPK itu berdiri justru untuk mengatasi persoalan korupsi di institusi penegakan hukum kita. Kalau sekarang isinya penegak hukum yang seharusnya dibongkar, ya berarti sudah tamat KPK," tegasnya.

Senada dengannya, Diky juga mengatakan, elemen masyarakat sipil di tataran pimpinan KPK akan menjadi kontrol internal para pimpinan KPK agar saling mengawasi. Karena masalah yang kerap dialami KPK selama ini adalah loyalitas ganda para pegawai KPK yang memiliki latar belakang dari institusi penegak hukum. Kondisi ini memengaruhi lembaga tersebut dalam menangani kasus yang berkaitan dengan institusi penegak hukum.

"Dalam UU KPK, salah satu subjek hukum yang bisa ditindak oleh KPK adalah aparat penegak hukum. Jadi pertanyaan reflektifnya, bagaimana kita bisa memastikan objektivitas dan imparsialitas para pimpinan yang berasal dari penegak hukum, jika dia menangani kasus yang menyangkut instansi asalnya?" tambah Diky.

Sementara, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, menyoroti dampak minimnya kontrol internal di jajaran pimpinan KPK yang bisa terjadi dari absennya elemen masyakarat. Kondisi ini juga akan menjauhkan KPK dari masyarakat.

Imbasnya, isu korupsi nantinya kembali menjadi isu elit. Boyamin memperingatkan, jika ini terjadi, bukan hanya di KPK, tetapi upaya pemberantasan korupsi di semua lembaga penegak hukum akan melemah karena hilangnya trigger mechanism yang selama ini dijalankan oleh KPK. 

Sulit untuk bisa merasa optimistis?

KPK dihadapkan dengan tugas berat mengembalikan kepercayaan publik yang terus merosot sejak revisi UU KPK tahun 2019. Berdasarkan survei Indikator Politik (Oktober 2024) tingkat kepercayaan masyakarat pada KPK berada di 61%. Angka ini menempatkan KPK di posisi paling buncit di antara lembaga penegak hukum.

Padahal sebelum 2019, hasil survei lembaga yang sama menunjukkan KPK secara rata-rata tingkat kepercayaan pada KPK berada di angka 80%, melampaui lembaga penegak hukum lain.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang merosot, para pengamat memprediksi tidak akan ada kemajuan berarti bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia di tangan pimpinan baru.

Boyamin mengatakan, dengan karakter dan latar belakang pimpinan yang terpilih, tidak akan ada prestasi yang gemilang dalam aspek penindakan. Namun, ia masih menaruh harapan KPK akan punya terobosan di aspek tata kelola pencegahan korupsi.

Sementara, Bivitri memprediksi bahwa KPK masih berpotensi digunakan sebagai alat tujuan-tujuan politik. "Sulit rasanya untuk optimis, buat saya KPK sudah tamat. Tidak akan ada OTT lagi, mungkin isinya hanya pendidikan-pendidikan pencegahan korupsi, mungkin juga dipergunakan untuk tujuan-tujuan politik. Tidak akan ada langkah pemberantasan korupsi yang bermakna," katanya. 

Meski menurut Diky masyarakat tak bisa berharap banyak dan harus mengelola ekspektasi tentang upaya pemberantasan korupsi di bawah pimpinan baru KPK. Namun, peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi masih tetap harus berlanjut. 

"Optimisme itu perlu dijaga. Karena gerakan antikorupsi itu adalah gerakan semesta, yang penting dilakukan publik adalah dengan terus-menerus mengkritik kinerja KPK jika di luar koridor upaya pemberantasan korupsi," tutur Diky.

Di tengah merosotnya kepercayaan publik, KPK juga dihadapkan dengan banyak kasus yang harus dituntaskan, dan banyak pihak harus dimintai pertanggungjawaban.

Kini, saatnya Setyo Budianto dan rekan-rekannya harus membuktikan: Akankah mereka mengembalikan martabat KPK, atau malah memperpanjang kisah kelam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia?

Editor: Arti Ekawati

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait