1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Islam ala Eropa

24 Agustus 2015

Perdebatan kontroversial soal pertautan erat antara Islam dan kekerasan masih berjalan. Namun isu tersebut menyamarkan keberhasilam intergrasi Islam di Jerman, menurut Loay Mudhoon.

Foto: picture-alliance/Godong

Apakah Islam adalah agama yang mengagungkan kekerasan dan menyangkal kemanusiaan? Apakah kitab suci Al-Quran menyediakan legitimasi untuk pesta kekerasan ala kaum Jihadis? Dan yang lebih penting: Apakah integrasi kaum muslim di Jerman telah gagal?

Sederet pertanyaan semacam itu sebenarnya sahih, namun melewatkan pokok masalah yang sesungguhnya, yakni ihwal kecocokan agama Islam dengan pencapaian era modern dan nilai-nilai sosial yang berbasis pada demokrasi dan kebebasan.

Bahwa "Islam" bukan entitas yang statis dan tak berubah, boleh jadi sudah menjadi pemahaman umum. Pun umat muslim tidak membentuk blok monolistik, di manapun di dunia ini.

Di semua negara bermayoritaskan muslim, berbagai bentuk mazdhab dipropagandakan dan dipraktikkan. Terpaut jauh misalnya antara Arab Saudi yang menganut Wahabisme dan Iran yang mengusung Islamisme Kenegaraan berbasis Syiah. Dan di banyak negara muslim yang berhasil dari segi ekonomi seperti Malaysia dan Turki sejak lama telah terbentuk kelompok moderat Islam yang konservatif dan pragmatis.

Fakta-fakta tersebut memperjelas, pada akhirnya kaum muslim sendiri yang menetukan apa yang bisa diefinisikan sebagai sesuatu yang "islamis". Terlepas di mana dan pada era apa mereka hidup. Mayoritas Sunni Islam misalnya tidak mengenal hirarki dan otoritas seperti Paus dalam gereja Katholik.

Semua itu mau tidak mau mengarah pada pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan setelah serangan di Paris: model Islam seperti apa yang kita inginkan di Eropa?

Loay MudhoonFoto: DW

Membumikan Islam di Jerman

Kita malah terancam melewatkan keberhasilan di tahun-tahun terakhir lantaran sibuk melakoni debat yang emosional dan kontroversial mengenai Islam. Karena dengan melembagakan struktur Konferensi Islam Jerman 2005 silam dan proses yang muncul setelahnya untuk membumikan Islam dalam prinsip-prinsip dasar demokrasi dan kebebasan, sudah terjadi perubahan dalam kesadaran bernegara di Jerman.

Kendati kericuhan dan penolakan yang sempat ramai, dialog terbuka antara negara dan umat Muslim mengubah presepsi masing-masing dan telah memberikan wajah pada Islam di Jerman. Walaupun "Islam" sering disalahgunakan oleh kelompok populis sebagai sarana untuk membakar ketakutan tak berwujud, tidak ada yang bisa menyangkal keberhasilan kebijakan integrasi pemerintah.

Kini kita sudah tiba pada titik di mana pelajaran Islam yang berorientasikan Aqidah di sekolah-sekolah milik negara bukan lagi hal yang asing di tingkat negara bagian. Pun keberadaan jurusan Teologi Islam di berbagai universitas di Jerman yang relatif sukses akan ikut menyumbangkan perannya dalam mengembangkan Islam yang berbasis pada nilai-nilai yang dianut di Eropa dan mampu bersanding dengan sistem yang demokratis, serta menyingkirkan tafsir Islam yang selama ini "diimpor" dari negara lain.

Karena Islam selalu berkembang bersama dengan waktu dan Theologi Islam merupakan produk kekuasaan politik, negara dan masyarakat seyogyanya mendukung "eropaisasi" Islam. Bahwa ini adalah pilihan satu-satunya, bisa dilihat pada serangan teror di Perancis dalam wujudnya yang paling barbar.

*Loay Mudhoon adalah pakar Timur Tengah di Deutsche Welle. Selain mengasuh portal dialog Islam-Eropa, Qantara.de, ia juga mengajar di Institut Hubungan Internasional di Universitas Köln, Jerman.

Loay Mudhoon (rzn/hp)