1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Waktu untuk Cegah Krisis Kemanusiaan di Myanmar Hampir Habis

15 Juni 2021

Situasi politik di Myanmar telah membuat pekerjaan banyak LSM terhambat. Pendanaan dibekukan dan status hukum mereka dipertanyakan. Padahal, Myanmar saat ini tengah dibayangi bencana kemanusiaan.

Foto ilustrasi krisis di Myanmar
Bagi Para LSM, hal pertama yang penting saat ini adalah menentukan sejauh mana pemerintah militer mengizinkan bantuan sama sekali.Foto: Str/AFP

Sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu, situasi di Myanmar terus memburuk. Ekonomi negara di Asia Tengggara ini babak belur dan jutaan warga jatuh ke dalam jurang kemiskinan.

Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) pada April 2021 lalu, hampir setengah dari populasi Myanmar terancam kemiskinan parah karena pandemi COVID-19 dan kudeta.

Konflik antara militer (dikenal sebagai Tatmadaw), dan kelompok pemberontak bersenjata di negara bagian etnis minoritas juga dengan cepat menimbulkan krisis pengungsi. PBB memperkirakan untuk di bagian timur Myanmar saja, sekitar 100.000 warga telah melarikan diri meninggalkan rumah mereka.

"Terjebak antara konflik bersenjata, COVID dan situasi saat ini, rakyat Myanmar sangat membutuhkan bantuan dan perlindungan,” kata Peter Maurer, presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) terkait situasi di Myanmar. Maurer menyerukan permohonan bantuan segara, setelah mengunjungi Myanmar pada 3 Juni lalu.

Bantuan kemanusiaan terhambat

Selain Palang Merah, ada banyak organisasi non-pemerintah (LSM) yang sejatinya terhubung dengan baik di Myanmar yang memiliki pengetahuan dan keinginan untuk terus bekerja di negara tersebut. Namun, mereka menghadapi hambatan besar.

Tidak satu pun dari LSM tersebut yang bersedia dikutip secara langsung dalam laporan DW. Mereka khawatir pernyataan yang disalahpahami dapat secara permanen membahayakan pekerjaan mereka di negara itu. Bahkan perwakilan pemerintah pun hanya bersedia berbicara dengan syarat anonim guna menghindari kesan bahwa mereka mendukung atau melegitimasi junta militer.

Satu yang pasti, situasi politik secara keseluruhan telah menghambat bantuan pembangunan dan pekerjaan kemanusiaan, lapor sejumlah LSM. Organisasi bantuan juga terdampak akibat munculnya pengurangan besar-besaran dalam layanan perbankan yang mempersulit pembayaran karyawan.

Bagi banyak LSM yang beroperasi di Myanmar, prioritas utama saat ini adalah memastikan sejauh mana rezim militer mengizinkan masuknya bantuani.

Organisasi bantuan terjebak pusaran kisruh politik

Rabu pekan lalu, surat kabar harian berbahasa Inggris The Irrawaddy melaporkan adanya penutupan klinik HIV dan TBC yang dioperasikan oleh LSM "Doctors Without Borders” (MSF) di Dawei. MSF mengatakan penutupan klinik tersebut dapat berkontribusi pada kematian pasien dan penularan penyakit lebih lanjut.

LSM lain mengaku kepada DW, mereka telah diinterogasi oleh rezim militer terkait apakah mereka ingin melanjutkan pekerjaan mereka di bawah kontrak yang sama sebelum kudeta. Hal ini mengindikasikan,  rezim militer sejatinya ingin pekerjaan bantuan pembangunan terus berlanjut, setidaknya di bidang politik yang tidak sensitif seperti pengentasan kemiskinan atau dukungan untuk pengungsi internal (IDPs).

Namun, munculnya sinyal kontras dari rezim militer Myanmar menunjukkan betapa kacaunya situasi di Myanmar saat ini. Misalnya, ada ambiguitas mengenai pendaftaran LSM, validitas perjanjian antara pemerintah asing dan pemerintah Myanmar yang dikudeta, dan juga masalah visa.

Beberapa LSM dan karyawan mereka yang masih tersisa harus berlomba dengan waktu, untuk bisa tetap diizinkan bekerja secara legal di Myanmar.

LSM di Myanmar terjebak dilema

Selain masalah legalitas, LSM di Myanmar juga dihadapkan pada sebuah pertanyaan: Apakah dengan melanjutkan pekerjaan bantuan kemanusiaan justru akan membantu menstabilkan kekuasaan rezim militer?

Ketika LSM memberikan bantuan dan memenuhi kebutuhan penduduk, hal ini dinilai dapat mengurangi tekanan pada kepemimpinan militer, yang dikhawatirkan dapat membantu rezim represif mengkonsolidasi kekuasannya.

Selain itu, LSM di Myanmar juga harus menghadapi polarisasi politik akut pascakudeta. Rezim militer dan lawan-lawannya, seperti ‘Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), tidak dapat didamaikan, sehingga menyebabkan hilangnya kemungkinan kerja sama LSM dengan oposisi dan rezim militer di masa depan.

Bagi pihak oposisi, setiap kerja sama dengan Tatmadaw sama saja dengan melegitimasi tindakan anti-demokrasi para jenderal militer. Dan siapa pun yang melakukan negosiasi dengan rezim militer akan mendapat kecaman di media sosial.

Meski begitu, NUG tampaknya telah menyadari bahwa solusi pragmatis diperlukan untuk masalah ini. Melalui sebuah pernyataan, pihaknya telah meminta PBB dan organisasi bantuan lainnya untuk melanjutkan bantuan kemanusiaan.

Donor LSM diminta fleksibel

Dalam diskusinya dengan DW, banyak LSM yang beroperasi di Myanmar mengatakan, mereka ingin melihat para donor membuat keputusan praktis kasus per kasus, terutama organisasi pembangunan yang dijalankan pemerintah, yang banyak bekerja dengan mitra lokal.

Artinya, para donor harus membedakan antara bantuan kemanusiaan dan kerja sama pembangunan.

Bantuan kemanusiaan untuk memastikan kelangsungan hidup sesegera mungkin, baik dalam konflik kekerasan atau bencana alam, dan kerja sama pembangunan untuk meningkatkan kondisi kehidupan secara keseluruhan, baik secara ekonomi, sosial, dan politik untuk kepentingan penduduk.

Bantuan kemanusiaan dapat diberikan secara langsung, melalui organisasi PBB atau ICRC, misalnya. Ini artinya hanya akan ada kerja sama terbatas dengan rezim militer untuk melaksanakan pekerjaan itu. Sementara dalam hal kerja sama pembangunan, biasanya membutuhkan kerja sama yang lebih erat dan berkelanjutan dengan pemerintah suatu negara.

Meski begitu, banyak LSM meyakini untuk menghindari krisis yang lebih luas dan berkepanjangan, baik bantuan kemanusiaan dan kerja sama pembangunan sama-sama dibutuhkan. Solusi perlu ditemukan segera untuk membantu rakyat Myanmar menghindari penderitaan lebih lanjut.

gtp/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait