Situasi politik di Myanmar telah membuat pekerjaan banyak LSM terhambat. Pendanaan dibekukan dan status hukum mereka dipertanyakan. Padahal, Myanmar saat ini tengah dibayangi bencana kemanusiaan.
Iklan
Sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu, situasi di Myanmar terus memburuk. Ekonomi negara di Asia Tengggara ini babak belur dan jutaan warga jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) pada April 2021 lalu, hampir setengah dari populasi Myanmar terancam kemiskinan parah karena pandemi COVID-19 dan kudeta.
Konflik antara militer (dikenal sebagai Tatmadaw), dan kelompok pemberontak bersenjata di negara bagian etnis minoritas juga dengan cepat menimbulkan krisis pengungsi. PBB memperkirakan untuk di bagian timur Myanmar saja, sekitar 100.000 warga telah melarikan diri meninggalkan rumah mereka.
"Terjebak antara konflik bersenjata, COVID dan situasi saat ini, rakyat Myanmar sangat membutuhkan bantuan dan perlindungan,” kata Peter Maurer, presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) terkait situasi di Myanmar. Maurer menyerukan permohonan bantuan segara, setelah mengunjungi Myanmar pada 3 Juni lalu.
Bantuan kemanusiaan terhambat
Selain Palang Merah, ada banyak organisasi non-pemerintah (LSM) yang sejatinya terhubung dengan baik di Myanmar yang memiliki pengetahuan dan keinginan untuk terus bekerja di negara tersebut. Namun, mereka menghadapi hambatan besar.
Tidak satu pun dari LSM tersebut yang bersedia dikutip secara langsung dalam laporan DW. Mereka khawatir pernyataan yang disalahpahami dapat secara permanen membahayakan pekerjaan mereka di negara itu. Bahkan perwakilan pemerintah pun hanya bersedia berbicara dengan syarat anonim guna menghindari kesan bahwa mereka mendukung atau melegitimasi junta militer.
Satu yang pasti, situasi politik secara keseluruhan telah menghambat bantuan pembangunan dan pekerjaan kemanusiaan, lapor sejumlah LSM. Organisasi bantuan juga terdampak akibat munculnya pengurangan besar-besaran dalam layanan perbankan yang mempersulit pembayaran karyawan.
Bagi banyak LSM yang beroperasi di Myanmar, prioritas utama saat ini adalah memastikan sejauh mana rezim militer mengizinkan masuknya bantuani.
Myanmar: Aksi Protes Perahu Menentang Kudeta Militer
Warga etnis Intha di negara bagian Shan, Myanmar, melakukan protes unik terhadap junta militer dengan aksi protes perahu di Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara itu.
Foto: Robert Bociaga
Protes meluas di Myanmar
Protes terhadap kudeta militer di Myanmar 1 Februari lalu meluas ke luar kota Yangon. Pada 18 Februari, penduduk di sekitar Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara bagian Shan selatan, berdemonstrasi menentang junta militer dan menuntut pemulihan demokrasi.
Foto: Robert Bociaga
Protes dari atas perahu
Warga dari semua lapisan masyarakat berpartisipasi dalam aksi protes perahu. Mereka terlihat membawa megafon dan plakat-plakat, sambil melantunkan lagu-lagu revolusi.
Foto: Robert Bociaga/DW
Kudeta militer
Pihak militer awal Februari mengkudeta pemerintahan sipil dengan mengklaim terjadi penipuan yang luas dalam pemilihan umum November lalu, yang dimenangkan secara telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dari Aung San Suu Kyi, sekalipun militer ketika itu membuat partai politik untuk menang pemilu. Sejak kudeta, banyak anggota NLD dan pemerintahan sipil yang ditahan, termasuk Suu Kyi.
Foto: AP Photo/picture alliance
Pembangkangan sipil
Sejak kudeta, puluhan ribu orang melakukan protes dan kampanye pembangkangan sipil. Pihak militer menanggapi dengan keras dengan gelombang penangkapan ancaman sanksi berat.
Foto: REUTERS
Aksi protes perahu dukung sanksi Barat terhadap pelaku kudeta
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin kudeta dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan para tahanan politik lain. Pengunjuk rasa di Danau Inle menyambut baik sanksi tersebut dan mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk mengakhiri dominasi militer selamanya. Namun, mereka tidak mendukung rekonsiliasi dengan para jenderal, kebijakan yang diambil Suu Kyi selama ini.
Foto: Robert Bociaga
Sistem demokrasi satu-satunya jalan melindungi minoritas
Negara bagian Shan dihuni oleh warga etnis Intha, yang juga dikenal sebagai "orang danau". "Satu-satunya cara untuk melindungi tradisi minoritas adalah melalui sistem demokratis dan desentralisasi. Itulah mengapa kami membutuhkan demokrasi federal di Myanmar," kata Ko Su, seorang aktivis etnis Intha, kepada DW.
Foto: Robert Bociaga
Sektor turisme di bawah pengawasan militer
Suku Intha mengatakan, mereka belum dapat sepenuhnya memanfaatkan pariwisata karena sebagian besar hotel dan bisnis di daerah tersebut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki koneksi dengan militer. Namun sebelum kudeta, penduduk setempat setidaknya bisa mendapatkan keuntungan dari industri pariwisata yang berkembang pesat. (hp/vlz)
Foto: Robert Bociaga
7 foto1 | 7
Organisasi bantuan terjebak pusaran kisruh politik
Rabu pekan lalu, surat kabar harian berbahasa Inggris The Irrawaddy melaporkan adanya penutupan klinik HIV dan TBC yang dioperasikan oleh LSM "Doctors Without Borders” (MSF) di Dawei. MSF mengatakan penutupan klinik tersebut dapat berkontribusi pada kematian pasien dan penularan penyakit lebih lanjut.
LSM lain mengaku kepada DW, mereka telah diinterogasi oleh rezim militer terkait apakah mereka ingin melanjutkan pekerjaan mereka di bawah kontrak yang sama sebelum kudeta. Hal ini mengindikasikan, rezim militer sejatinya ingin pekerjaan bantuan pembangunan terus berlanjut, setidaknya di bidang politik yang tidak sensitif seperti pengentasan kemiskinan atau dukungan untuk pengungsi internal (IDPs).
Namun, munculnya sinyal kontras dari rezim militer Myanmar menunjukkan betapa kacaunya situasi di Myanmar saat ini. Misalnya, ada ambiguitas mengenai pendaftaran LSM, validitas perjanjian antara pemerintah asing dan pemerintah Myanmar yang dikudeta, dan juga masalah visa.
Beberapa LSM dan karyawan mereka yang masih tersisa harus berlomba dengan waktu, untuk bisa tetap diizinkan bekerja secara legal di Myanmar.
Iklan
LSM di Myanmar terjebak dilema
Selain masalah legalitas, LSM di Myanmar juga dihadapkan pada sebuah pertanyaan: Apakah dengan melanjutkan pekerjaan bantuan kemanusiaan justru akan membantu menstabilkan kekuasaan rezim militer?
Ketika LSM memberikan bantuan dan memenuhi kebutuhan penduduk, hal ini dinilai dapat mengurangi tekanan pada kepemimpinan militer, yang dikhawatirkan dapat membantu rezim represif mengkonsolidasi kekuasannya.
Selain itu, LSM di Myanmar juga harus menghadapi polarisasi politik akut pascakudeta. Rezim militer dan lawan-lawannya, seperti ‘Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), tidak dapat didamaikan, sehingga menyebabkan hilangnya kemungkinan kerja sama LSM dengan oposisi dan rezim militer di masa depan.
Bagi pihak oposisi, setiap kerja sama dengan Tatmadaw sama saja dengan melegitimasi tindakan anti-demokrasi para jenderal militer. Dan siapa pun yang melakukan negosiasi dengan rezim militer akan mendapat kecaman di media sosial.
Meski begitu, NUG tampaknya telah menyadari bahwa solusi pragmatis diperlukan untuk masalah ini. Melalui sebuah pernyataan, pihaknya telah meminta PBB dan organisasi bantuan lainnya untuk melanjutkan bantuan kemanusiaan.
Donor LSM diminta fleksibel
Dalam diskusinya dengan DW, banyak LSM yang beroperasi di Myanmar mengatakan, mereka ingin melihat para donor membuat keputusan praktis kasus per kasus, terutama organisasi pembangunan yang dijalankan pemerintah, yang banyak bekerja dengan mitra lokal.
Artinya, para donor harus membedakan antara bantuan kemanusiaan dan kerja sama pembangunan.
Bantuan kemanusiaan untuk memastikan kelangsungan hidup sesegera mungkin, baik dalam konflik kekerasan atau bencana alam, dan kerja sama pembangunan untuk meningkatkan kondisi kehidupan secara keseluruhan, baik secara ekonomi, sosial, dan politik untuk kepentingan penduduk.
Bantuan kemanusiaan dapat diberikan secara langsung, melalui organisasi PBB atau ICRC, misalnya. Ini artinya hanya akan ada kerja sama terbatas dengan rezim militer untuk melaksanakan pekerjaan itu. Sementara dalam hal kerja sama pembangunan, biasanya membutuhkan kerja sama yang lebih erat dan berkelanjutan dengan pemerintah suatu negara.
Meski begitu, banyak LSM meyakini untuk menghindari krisis yang lebih luas dan berkepanjangan, baik bantuan kemanusiaan dan kerja sama pembangunan sama-sama dibutuhkan. Solusi perlu ditemukan segera untuk membantu rakyat Myanmar menghindari penderitaan lebih lanjut.
gtp/as
Potret Aksi Protes Nasional Menentang Kudeta Militer di Myanmar
Warga Myanmar melakukan protes nasional menentang kudeta militer. Berbagai kalangan mulai dari dokter, guru, dan buruh menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan pemulihan demokrasi Myanmar.
Foto: AFP/Getty Images
Dokter dan perawat di garda depan
Kurang dari 24 jam setelah kudeta militer, para dokter dan perawat dari berbagai rumah sakit mengumumkan bahwa mereka melakukan mogok kerja. Mereka juga mengajak warga lainnya untuk bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil.
Foto: REUTERS
Koalisi protes dari berbagai kalangan
Sejak ajakan pembangkangan sipil tersebut, para pelajar, guru, buruh dan banyak kelompok sosial lainnya bergabung dalam gelombang protes. Para demonstran menyerukan dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Berikan kekuatan kembali kepada rakyat!" atau "Tujuan kami adalah mendapatkan demokrasi!"
Foto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images
Para biksu mendukung gerakan protes
Para Biksu juga turut dalam barisan para demonstran. "Sangha", komunitas monastik di Myanmar selalu memainkan peran penting di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini.
Foto: AP Photo/picture alliance
Protes nasional
Demonstrasi berlangsung tidak hanya di pusat kota besar, seperti Yangon dan Mandalay, tetapi orang-orang juga turun ke jalan di daerah etnis minoritas, seperti di Negara Bagian Shan (terlihat di foto).
Foto: AFP/Getty Images
Simbol tiga jari
Para demonstran melambangkan simbol tiga jari sebagai bentuk perlawanan terhadap kudeta militer. Simbol yang diadopsi dari film Hollywood "The Hunger Games" ini juga dilakukan oleh para demonstran di Thailand untuk melawan monarki.
Foto: REUTERS
Dukungan dari balkon
Bagi warga yang tidak turun ke jalan untuk berunjuk rasa, mereka turut menyuarakan dukungan dari balkon-balkon rumah mereka dan menyediakan makanan dan air.
Foto: REUTERS
Menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi
Para demonstran menuntut dikembalikannya pemerintahan demokratis dan pembebasan Aung San Suu Kyi serta politisi tingkat tinggi lain dari partai yang memerintah Myanmar secara de facto, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Militer menangkap Aung San Suu Kyi dan anggota NLD lainnya pada hari Senin 1 Februari 2021.
Foto: Reuters
Dukungan untuk pemerintahan militer
Pendukung pemerintah militer dan partai para jenderal USDP (Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan), juga mengadakan beberapa demonstrasi terisolasi di seluruh negeri.
Foto: Thet Aung/AFP/Getty Images
Memori Kudeta 1988
Kudeta tahun 1988 selalu teringat jelas di benak warga selama protes saat ini. Kala itu, suasana menjadi kacau dan tidak tertib saat militer diminta menangani kondisi di tengah protes anti-pemerintah. Ribuan orang tewas, puluhan ribu orang ditangkap, dan banyak mahasiswa dan aktivis mengungsi ke luar negeri.
Foto: ullstein bild-Heritage Images/Alain Evrard
Meriam air di Naypyitaw
Naypyitaw, ibu kota Myanmar di pusat terpencil negara itu, dibangun khusus oleh militer dan diresmikan pada tahun 2005. Pasukan keamanan di kota ini telah mengerahkan meriam air untuk melawan para demonstran.
Foto: Social Media via Reuters
Ketegangan semakin meningkat
Kekerasan meningkat di beberapa wilayah, salah satunya di Myawaddy, sebuah kota di Negara Bagian Kayin selatan. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet.
Foto: Reuters TV
Bunga untuk pasukan keamanan
Militer mengumumkan bahwa penentangan terhadap junta militer adalah tindakan melanggar hukum dan ''pembuat onar harus disingkirkan''. Ancaman militer itu ditanggapi dengan bentuk perlawanan dari para demonstran, tetapi juga dengan cara yang lembut seperti memberi bunga kepada petugas polisi. Penulis: Rodion Ebbighausen (pkp/ gtp)