Walikota Bogor: Program Kita Fokus Pada Lingkungan Hidup
6 Desember 2017
Bogor dahulu dikenal sebagai kota hijau. Walau sekarang lebih dikenal sebagai kota sejuta angkot, Bogor tetap menjadi bagian lingkungan yang vital terutama bagi Ibukota Jakarta.
Iklan
Bogor dahulu dikenal sebagai kota hijau. Walau sekarang lebih dikenal sebagai kota sejuta angkot, Bogor tetap menjadi bagian lingkungan yang vital terutama bagi Ibukota Jakarta. Pasalnya banjir yang terjadi di Jakarta kerap disebabkan besarnya volume air hujan yang teraliri dari Bogor.
Maka dari itu Pemerintah Kota Bogor harus menyiapkan kotanya memiliki tanah dengan daya serap air yang tinggi. Selain itu kolam retensi juga dibuat agar volume air hujan yang besar tidak manegalir dan membanjiri ibukota. Namun apakah langkah-langkah tersebut sudah cukup untuk menjaga lingkungan Bogor dan daerah sekitarnya? Walikota Bogor Bima Arya sugiarto berbincang dengan reporter DW, Ayu Purwaningsih mengenai hal tersebut.
DW: Bogor termasuk salah satu kota yang diperhitungkan untuk tata lingkungan yang cukup baik, mungkin anda bisa menjelaskan lebih lanjut apa saja pencapaiannya dalam perlindungan iklim atau lingkungan?
Bima Arya Sugiarto: Bogor sebenarnya sudah punya sejarah sebagai kota hijau dan kita sejak beberapa tahun terakhir juga fokus untuk konsisten pada program-program lingkungan hidup. Kita memiliki prioritas-prioritas terkait dengan hal itu. Seperti pertama memperbaiki tata kota, sehingga tidak berpusat semuanya di pusat kota, sehingga ada kebijakan zonasi. Kedua melakukan perbaikan pada pengelolaan sampah mulai dari hulu. Jadi sampah itu dikelola sedini mungkin di hulu dengan dipilah dan dipilih. Mengenalkan konsep reuse, reduce, dan recycle, juga mendirikan bank sampah di tingkat warga.
Cara Jepang Menghadang Banjir
Sejak 1960an Tokyo mendesain sistem kanalisasi buat mencegah banjir. Tapi upaya tersebut gagal ketika ibukota didera cuaca ekstrim. Pemerintah lalu membangun kolam bawah tanah terbesar sejagad. Namun itu pun belum cukup.
Foto: Getty Images/T.Yamanaka
Tokyo Sarang Banjir
Penduduk Tokyo tak asing dengan topan dan badai. Tahun 2011 silam topan Roke membawa serta angin berkecepatan 200 km/jam yang disertai curah hujan hingga 54 liter per meter persegi. Akibatnya 520.000 rumah kehilangan pasokan listrik. Butuh waktu berhari-hari hingga akhirnya air surut. Yang kemudian tersisa adalah kerusakan senilai miliaran Dollar AS.
Foto: Reuters/Kyodo
Mangkuk Nakagawa
Sejak lima dekade Tokyo bersiap menghadapi serbuan air. Penyebabnya adalah kondisi geografis ibukota Jepang. Salah satu kawasannya, Prefektur Saitama berada di Cekungan Nakagawa yang lebih rendah ketimbang permukaan sungai Edo. Akibatnya banjir langganan menggenangi wilayah yang kini padat penduduk tersebut.
Foto: Imago
Beton Melawan Air
Dari 15 sungai yang membelah ibukota Jepang, lima yang melewati jantung kota dibeton hingga ke dasar sungai. Sementara sisanya diatur dengan bendungan di bagian hulu. Pembangunan infrastruktur anti banjir memasuki masa keemasan pada 1960an. Tokyo memiliki curah hujan tahunan rata-rata setinggi 1530 milimeter. Sementara di Jakarta jumlahnya 2000 milimeter per tahun
Foto: Getty Images/T.Ohsumi
Kathedral Air
Namun senjata utama menghadang banjir terletak 50 meter di dalam tanah: yakni Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel alias G-Cans, sebuah Kathedral raksasa yang ditopang 59 pilar beton dan dilengkapi dengan 78 pompa yang mampu memindahkan 200 ton air per detik, cukup buat memenuhi 25 kolam renang kelas Olimpiade.
Foto: Getty Images/C.McGrath
Kolam Penampungan Terbesar
Pemerintah Tokyo membutuhkan waktu hingga 15 tahun untuk menuntaskan proyek masa depan ini. G-Cans adalah sistem drainase terbesar di dunia. Prinsipnya cukup sederhana. Air dari berbagai sudut kota akan dialirkan melalui sumur setebal sepuluh meter ke dalam lima kolam beton raksasa yang memiliki ketinggian 65 meter dan lebar 32 meter.
Foto: Getty Images/T.Yamanaka
Proyek Raksasa Berbiaya Selangit
Sistem tersebut juga tersambung dengan terowongan air selebar 10 meter dan dengan panjang 6,4 kilometer yang ditanam di bawah tanah. Berbagai ahli mendaulat G-Cans sebagai sebuah keajaiban teknologi. Tak heran jika proyek raksasa ini menelan biaya pembangunan hingga dua miliar Dollar AS atau sekitar 26 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/T.Yamanaka
Belum Optimal
Sejak tuntas dibangun tahun 2006, G-Cans telah digunakan sebanyak 70 kali. Menurut pemerintah Tokyo, sistem kanalisasi banjir itu ampuh mengurangi dua pertiga wilayah yang biasanya tergenang saat musim hujan. Namun begitu G-Cans hanya didesain untuk mengalirkan air hujan, bukan air laut semisal banjir rob.
Foto: Getty Images/C.McGrath
Kanal Penopang Sungai
Selain G-Cans, Tokyo juga membangun kanalisasi sungai bernama Furukawa Underground Regulating Reservoir. Kanal berupa lorong air tersebut ditanam 15 meter di bawah sungai Furukawa dan dibangun memanjang sesuai aliran sungai. Menurut pemerintah Jepang, sistem kanalisasi banjir yang telah dibangun di Tokyo saat ini mampu menampung hingga 50mm air per jam.
Foto: Getty Images/C.McGrath
Tak Tuntas Hadang Banjir
Tapi kapasitas tersebut dinilai belum cukup. Dengan dicanangkannya proyek pembangunan kanalisasi baru, Tokyo nantinya akan mampu menghadapi curah hujan setinggi 75mm per jam. Proyek baru tersebut mencakup pelebaran kanal dan pendalaman sungai. Namun untuk menuntaskannya dibutuhkan waktu hingga 20 tahun. Penulis: Rizki Nugraha/yf (dari berbagai sumber)
Foto: Getty Images/C.McGrath
9 foto1 | 9
Kemudian ketiga kita juga memperbanyak dan memperbaiki fasilitas-fasilitas publik seperti taman dan jalur pedestrian. Membuat warga lebih tertarik untuk menggunakan transportasi publik. Bergerak dan berjalan kaki daripada menggunakan mobil pribadi. Dan kita juga mengenalkan beberapa kebijakan seperti car free day, juga kebijakan hari jumat tanpa kendaraan bermotor bagi pegawai negeri. Itu adalah kebijakan-kebijakan kita yang tidak semuanya memerlukan dana besar. Kita banyak dibantu juga oleh komunitas-komunitas yang ada di kota bogor dan Corporate Social Responsibility pihak swasta.
DW: Bagaimana dengan masalah banjir di Kota Bogor?
Bima Arya Sugiarto: Bogor dialiri dua sungai besar yaitu Ciliwung dan Cisadane. Ada program-program yang tujuannya untuk penataan kawasan sungai bekerjasama dengan Komunitas Peduli Ciliwung. Kemudian kita juga melakukan edukasi bagi warga yang ada di daerah sungai agar tidak membuang sampah sembarangan. Kita melakukan penanaman pohon-pohon, membuat lubang biopori, supaya serapan air maksimal. Juga membuat kolam retensi serta sumur resapan. Kita merawat pohon dan tanaman yang ada agar bisa maksimal menambah kualitas ruang terbuka hijau di Kota Bogor.
DW: Bagaimana pencapaiannya di permasalahan banjir tersebut?
Bima Arya Sugiarto: Di Bogor, banjir bukan merupakan masalah yang serius, tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mengurangi volume air agar tidak mengalir ke Jakarta. Makanya kita bangun kolam retensi dan sumur resapan. Kalau di Bogor banjir biasa disebabkan karena saluran air yang tersumbat atau sistem drainase.
Negara Paling Rentan Dilanda Cuaca Ekstrem
Lebih dari setengah juta orang meninggal dunia akibat 15.000 bencana cuaca yang melanda Bumi dalam dua dekade terakhir. Berikut adalah daftar muram negara yang paling rentan terkena dampak cuaca buruk di dunia.
Foto: AP
1. Honduras
Sebanyak 61 fenomena cuaca eskrem melanda Honduras antara 1996-2015. Termasuk yang paling parah adalah Hurikan Mitch tahun 1998 yang menelan korban hingga 7.000 orang dan menciptakan kerugian senilai 3,4 milyar Dollar AS. Honduras langganan bertengger di urutan teratas Indeks Risiko Iklim Global sejak hampir tiga dekade terakhir.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb/D. Bartletti
2. Myanmar
Dari 41 bencana cuaca yang dialami Myanmar selama dua dekade terakhir, Siklon Nargis yang 2008 silam menewaskan 140.000 orang dan membuat 2,4 juta penduduk kehilangan rumah adalah yang paling parah. Rata-rata jumlah korban jiwa akibat cuaca ekstrem di Myanmar antara 1995-2016 mencapai 7145 orang per tahun. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/Ye Aung Thu
3. Haiti
Serupa dua negara teratas, Haiti juga langganan bertengger di urutan tiga besar daftar muram ini. Tahun 2008 menandakan tahun bencana cuaca paling buruk di negara miskin tersebut. Empat hurikan sekaligus, Fay, Gustav, Hanna, dan Ike, merenggut ribuan nyawa, memusnahkan 80% hasil panen dan menciptakan kerugian sebesar 5% dari total Produk Domestik Bruto senilai 17 milyar Dollar AS.
Foto: A.Shelley/Getty Images
4. Nicaragua
Serupa Honduras, Nicaragua mencatat bencana cuaca paling buruk saat badai Mitch mengamuk 1998 silam. Hasilnya 3.800 orang tewas dan negara mencatat kerugian senilai satu milyar Dollar AS. Dalam dua dekade terakhir negeri di tepi Karibik ini mengalami setidaknya 44 bencana akibat cuaca buruk.
Foto: picture alliance/AP Photo
5. Filipina
Tidak heran jika Filipina sering dijuluki negeri seribu topan dan badai. Pasalnya jiran Indonesia itu dilanda 283 bencana cuaca dalam dua dekade terakhir. Yang terparah adalah Badai Haiyan (2013) yang menewaskan lebih dari 10.000 penduduk dan menciptakan kerugian senilai hampir 3 milyar Dollar AS. Haiyan adalah salah satu topan super terkuat yang pernah dicatat dalam sejarah.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Malasig
6. Bangladesh
Negeri di tepi Teluk Bengal ini rajin disambangi musibah banjir. Rata-rata setiap tahun 5.000 orang meninggal dunia sebagai dampaknya. Banjir terburuk dalam sejarah Bangladesh terjadi 1998 silam. Ribuan orang tewas dan hampir 75% wilayah negeri terendam air. Diperkirakan 30 juta penduduk kehilangan tempat tinggal.
Foto: Imago
7. Pakistan
Sebanyak 133 bencana cuaca melanda Pakistan antara 1996-2015. Catatan paling buruk ditoreh oleh bencana banjir 2010 yang menelan sekitar 2.000 korban jiwa dan melenyapkan rumah milik lebih dari 20 juta penduduk. Pakistan rajin dilanda banjir lantaran curah hujan yang tidak jarang mencetak rekor tertinggi.
Foto: S. Berehulak/Getty Images
8. Vietnam
Tidak berbeda dengan Filipina, Vietnam rajin disambangi badai dan topan. Dalam dua dekade terakhir Global Climate Risk Index mencatat setidaknya 206 fenomena cuaca ekstrem melanda negeri jiran itu. Setiap tahun pemerintah di Hanoi merugi lebih dari dua milyar Dollar AS akibat cuaca buruk
Foto: Reuters
9. Guatemala
Negeri kecil di Amerika Tengah ini sering dilanda bencana banjir atau badai. Sementara fenomena El-Nino yang mengganas tahun lalu menyebabkan bencana kekeringan yang menghanguskan cadangan pangan milik 3,4 juta penduduk. Sebanyak 74 fenomena cuaca ekstrem dialami Guatemala dalam dua dekade terakhir.
Foto: ddp images/AP Photo/Rodrigo Abd
10. Thailand
Banjir 2011 di Thailand menenggelamkan 20.000 kilometer persegi sawah dan perkebunan, serta melenyapkan rumah milik 13,6 juta penduduk. Sebanyak 65 dari 77 provinsi terendam banjir. Pemerintah mengalami kerugian 46 milyar Dollar AS. Dalam dua dekade terakhir, Thailand mengalami 135 bencana cuaca ekstrim yang telah menelan belasan ribu korban jiwa.