1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Lari dari Taliban, Warga Afganistan Berbondong Bikin Paspor

28 Juli 2021

Antrean warga Afganistan yang ajukan permohonan paspor dimulai sebelum matahari terbit. Mereka khawatir akan kehidupan di bawah bayangan Taliban.

Tentara Afganistan berjaga di depan rongsokan mobil yang hangus karena ledakan bom
Tentara Afganistan makin ketat berjaga, seiring meningkatnya konflik dengan Taliban di negara ituFoto: STR /Xinhua/imago images

Abdel Khalid Nabyar, 52, tengah menunggu di luar kantor pembuatan paspor utama di Afganistan untuk mengajukan dokumen perjalanan berharga yang akan memungkinkannya meninggalkan negara itu. Lelaki ini tidak sendirian, ribuan rekannya setanah air juga mau segera hengkang dari negara yang tercabik perang ini.

Pasukan Taliban semakin menguasai wilayah pedesaan seiring menjelang berakhirnya penarikan pasukan asing dari Afganistan. Banyak orang Afghanistan, atau setidaknya mereka yang mampu, berusaha mencari jalan keluar.

"Jika situasinya memburuk, kami mungkin harus pergi," kata Nabyar, 52, yang merasa rentan mengalami kekerasan oleh Taliban karena dia pernah mengelola sebuah toko di pangkalan militer NATO. Tidak semua orang bisa keluar dengan cepat, tetapi sebagian besar ingin memiliki kepastian. Mereka mau tahu bahwa bisa segera pergi jika diperlukan.

"Masyarakat ingin bersiap terlebih dahulu, kalau-kalau terjadi sesuatu," tambah Nabyar.

Setiap harinya, puluhan orang mulai mengantre di kantor pembuatan paspor di Kabul bahkan sebelum terbit fajar. Pada pukul delapan pagi antrean sudah membentang hingga ratusan meter.

Bukan antrean normal

Para pelamar paspor ini perlahan-lahan bergerak maju, menggenggam erat folder plastik tembus pandang yang berisi dokumen mereka. Kadang-kadang petugas polisi turun untuk membantu menertibkan massa dan mengusir mereka yang diam-diam mencoba menyelip antrean.

Seorang pejabat tampak kesal dengan pertanyaan para jurnalis tentang kerumunan pembuat paspor ini. "Mendapatkan paspor adalah permintaan normal bagi warga Afganistan mana pun," kata pejabat itu.

Ribuan orang mengungsi dari rumah mereka saat pasukan Taliban terlibat konflik dengan pasukan pemerintah Afganistan di pinggiran kota Mazar-e-Sharif, utara Afganistan. Foto diambil tanggal 8 Juli 2021Foto: Rahmat Gul/AP/picture alliance

Namun dalam beberapa minggu terakhir, jumlah yang mendaftar paspor tidak lagi bisa dibilang normal. "Ada sekitar 10.000 orang per hari, biasanya kalau normal ada sekitar 2.000 orang (pelamar paspor)," kata seorang petugas polisi.

Khalilullah, insinyur berusia 36 tahun ini tiba pukul 5:00 pagi bersama istri dan tiga anaknya. "(Saat itu) sudah ada 300 orang dalam antrean," kata Khalilullah yang saat itu telah lebih dari tiga jam mengantre.

Para pelamar ini kemudian harus difoto, mata mereka direkam secara biometrik, dan sidik jari diambil sebagai bagian dari proses itu.

Sementara Zeenat Bahar Nazari telah menunggu selama berjam-jam ketika kantor berita AFP mewawancarainya. "Saat kami masih anak-anak, keluarga kami mengatakan bahwa Taliban ... membunuh orang, membuat mereka menghilang," kata mahasiswi berusia 23 yang sedang mempelajari ilmu komputer itu. "Mereka melakukan kekerasan terhadap perempuan, tidak membolehkan mereka mendapat pendidikan dan merampas hak-hak dasar mereka."

Warga Afganistan hidup di tengah serangan militer

Sementara itu pihak militer Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan puluhan serangan udara dalam seminggu terakhir untuk mendukung pasukan pemerintah Afganistan melawan Taliban.

Pada hari Selasa (28/07) Pentagon mengatakan bahwa pesawat tempur konvensional dan drone bersenjata digunakan dalam serangan itu, tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut. Seorang pejabat AS, mengatakan bahwa sejak 20 Juli telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah serangan. 

Serangan ini menunjukkan peningkatan dukungan AS setelah berminggu-minggu Taliban menang melawan pasukan pemerintah. Para pejabat AS mengatakan bahwa pesawat telah diterbangkan dari pangkalan di luar Afganistan karena militer AS menarik pesawat tempurnya keluar dari negara itu.

Menurut para pejabat, serangan udara sebagian besar telah memberikan dukungan langsung kepada pasukan Afganistan yang tengah kewalahan karena diserang oleh Taliban. Beberapa serangan juga menyasar peralatan militer yang direbut Taliban.

Pelamar paspor belum tahu mau pergi ke mana

Perempuan bernama Nazari yang juga ikut mengantre pembuatan paspor memang terlalu muda untuk mengingat rezim pertama Taliban, dari tahun 1996 hingga 2001. Tapi dia bisa jelas mengingat apa yang telah mereka lakukan setelahnya.

"Satu-satunya hal yang saya tahu adalah Taliban memiliki wajah teror -- pertempuran, bom bunuh diri, dan pertumpahan darah," ujar Nazari. "Ketika Anda pergi ke sekolah atau universitas, Anda mengharapkan masa depan yang cerah, tetapi jika Taliban mengambil alih kekuasaan, harapan untuk masa depan yang cerah itu akan hilang."

Banyak dari mereka yang mengantre pembuatan paspor masih tidak tahu ke mana mereka akan pergi jika diberi kesempatan. Mereka juga tidak tahu apakah akan ada negara yang bersedia menampung. 

Sebagian besar negara mengharuskan warga Afganistan untuk melewati berbagai persyaratan untuk mendapatkan visa. Ada banyak dokumen yang diperlukan bersama bukti stabilitas keuangan yang tidak banyak dimiliki oleh orang-orang di sana. Namun, semua orang ingin bersiap-siap.

"Hidup kami dalam bahaya; kami tidak punya pilihan," kata Sardar, 52, yang menolak menyebutkan nama aslinya karena khawatir akan keselamatan nyawanya setelah bekerja sebagai penerjemah untuk kelompok masyarakat sipil Inggris.

Penerjemah untuk pasukan asing dan kedutaan memang sangat rentan mendapatkan kekerasan dan balasan dari Taliban. Banyak negara telah mengevakuasi ribuan orang di bawah skema visa darurat.

Mantan pegawai negeri Haji Sayed Mohammad Sultani juga menginginkan paspor untuk bisa lari ke luar Afganistan. Tapi ia tidak bisa membayangkan dirinya jadi pengungsi seperti yang pernah terjadi saat rezim Taliban berkuasa, masa invasi Soviet, dan perang saudara yang terjadi sebelumnya.

Jadi bagi dia, "selama Afganistan layak huni, kami tidak akan meninggalkan negara kami," kata pria berusia 45 tahun itu.

ae/hp (AFP, AP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait