1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masa Depan Suram, Warga Hong Kong Pertimbangkan Emigrasi

Ching-yan Lee
30 Mei 2020

Kian banyak penduduk Hong Kong melihat masa depan yang suram di kota itu. Undang-undang keamanan nasional baru telah meyakinkan lebih banyak orang untuk angkat kaki selamanya dari sana.

Hongkong Protest gegen China | Flughafen - Demonstration & Lahmlegung Flugverkehr
Foto: Reuters/T. Siu

Setelah disetujui oleh Kongres Rakyat Nasional Cina (NPC), Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong akan mulai berlaku pada awal tahun depan. Langkah ini dinilai telah membuat semakin banyak orang memilih untuk meninggalkan wilayah bekas jajahan Inggris itu.  

Meskipun telah menikmati status otonomi sejak serah terima tahun 1997, kota yang menjadi rumah bagi sekitar 7,5 juta orang ini melihat adanya kemunduran dalam menikmati kebebasan dan demokrasi pada beberapa tahun terakhir. 

Anggota gerakan protes pendukung demokrasi Hong Kong khawatir undang-undang baru itu akan semakin mengukuhkan cengkeraman Beijing. Banyak warga kota yang selama ini menjadi pusat keuangan Asia pun khawatir akan masa depan bagi mereka dan keluarga. 

Pada kuartal kedua tahun 2019 saja telah tercatat sedikitnya 50.000 orang beremigrasi. Sementara di bulan Desember 2019, terdapat 20.000 orang melamar untuk mendapatkan semacam surat keterangan kelakuan baik ke kepolisian Hong Kong. Surat ini adalah dokumen wajib bagi siapa pun yang ingin beremigrasi. Ini adalah peningkatan sebesar 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

“Saya ingin beremigrasi” 

Josephine, jurnalis berusia 30 tahun yang lahir di Hong Kong, mengatakan kepada DW bahwa dia telah ikut serta dalam protes melawan pemerintah dan RUU ekstradisi yang akhirnya dibatalkan tahun lalu. Josephine mengatakan berniat untuk tinggal di Hong Kong meski cengkeraman Beijing semakin ketat. Namun, ia segera berubah pikiran setelah NPC meloloskan Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong. 

“Saya tidak pernah percaya bahwa suatu hari penduduk Hong Kong akan menjadi pengungsi,” katanya. “Saya ingin beremigrasi.” 

Dia mengatakan bahwa setelah pengumuman penyetujuan UU keamanan itu, ada suasana sedih di ruang redaksi tempatnya bekerja. “Saya dan rekan-rekan terkaget. Kami memang telah memperkirakan bahwa cepat atau lambat akan ada undang-undang keamanan untuk Hong Kong, tapi kami tidak menyangka bahwa Beijing ingin memaksakannya kepada kami dengan cara ini.” Dia mengatakan bahkan beberapa politisi yang mendukung Cina terkejut dengan tindakan ini. 

Ingatan akan tragedi Tiananmen 

Chou, yang bekerja di sebuah bank milik Cina, mengatakan dirinya juga pesimistis tentang masa depan Hong Kong dan ingin beremigrasi, idealnya bersama keluarga ke Kanada. Dia mengatakan kepada DW bahwa dia sudah lama berpikir untuk meninggalkan Hong Kong dan pengumuman tentang undang-undang baru kian membuat teguh niatnya itu. 

“Semua jenis delik pelanggaran dapat dipakai untuk membatasi hak-hak sipil,” katanya. “Tidak lagi mungkin ada jaminan kebebasan berbicara di tempat kerja, di rumah atau online. Sekarang saya sudah sangat berhati-hati dalam mengekspresikan diri saya di depan umum.” 

Dia juga mengatakan tidak ingin putranya yang kini berusia dua tahun jadi sasaran kekerasan polisi di kemudian hari jika dia ikut dalam protes. Chou tidak dapat melupakan betapa represifnya pemerintah Cina terhadap gerakan mahasiswa dan pendukung demokrasi di Lapangan Tiananmen di Beijing tahun 1989. 

“Beijing ingin memegang kendali sepenuhnya,” ujar Chou dan menyatakan keraguan bahwa di masa depan demonstrasi damai atau debat di parlemen Hong Kong akan ditoleransi. Dia juga pesimistis bahwa sanksi dari Barat akan dapat menolong

Pemerintah Cina mengatakan undang-undang ini diperlukan untuk mengatasi terorisme. 

Ingin bisa angkat kaki secepatnya 

Woo Hong-pong bekerja untuk sebuah agen yang berspesialisasi dalam pengurusan emigrasi ke Kanada dan Australia. Ia mengatakan kepada DW bahwa dalam empat hari terakhir ini ada lebih dari 20 klien dari kalangan berpunya telah menghubunginya.  

“Banyak dari mereka ragu untuk pergi pada tahun 2019, tetapi sekarang mereka ingin solusi cepat. Mereka ingin keluar secepat mungkin.” 

Selain Kanada dan Australia, Taiwan juga jadi pilihan lain bagi banyak orang yang ingin hengkang dari Hong Kong, meski Beijing juga berusaha membatasi otonomi dan kebebasan di sana. 

Sementara Chang Heung-Lin yang bekerja untuk agen yang memfasilitasi emigrasi dari Hong Kong ke Taiwan mengatakan bahwa di Taiwan, orang yang mau berinvestasi dalam jumlah besar dapat relatif mudah mengajukan status kependudukan. Chang Heung-Lin mengatakan agensinya telah menerima lebih dari 200 permintaan emigrasi akhir pekan lalu. 

“Banyak orang tampaknya terburu-buru. Mereka bahkan tidak bertanya apa yang perlu mereka investasikan di Taiwan dan berapa biaya agensi. Ini tidak biasa bagi penduduk Hong Kong yang pikirannya berorientasi bisnis,” katanya kepada DW. “Kebanyakan dari mereka ingin segera menandatangani kontrak, memulai proses (emigrasi) secepat mungkin.” 

ae/yp