1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIndia

Warga India Terjebak dalam Penipuan Siber di Myanmar

5 Maret 2025

Tergiur dengan tawaran pekerjaan, ratusan warga India terjebak dalam dunia kejahatan siber di Myanmar.

Pusat Penipuan Thailand Myanmar | Orang asing yang diculik dan harus bekerja di pusat-pusat penipuan diselamatkan
Puluhan warga negara asing yang diselamatkan, yang diyakini sebagai korban perdagangan manusia dan operasi penipuan di Myanmar, di pos pemeriksaan perbatasan Mae Sot, Thailand Foto: Information Team of the State Administration Council/Xinhua/IMAGO

Pradeep Vijay, 24 tahun, dari negara bagian Maharashtra, India, diperdagangkan ke Myawaddy, Myanmar pada Agustus 2022 setelah merespons tawaran pekerjaan melalui platform media sosial yang ia yakini sebagai tawaran sesungguhnya.

Saudaranya, Deepak, mengatakan kepada DW bahwa Pradeep awalnya dijanjikan pekerjaan sebagai penginput data, namun kemudian ditugaskan untuk menipu ekspatriat India yang tinggal di Amerika Serikat dan memikat para korban berinvestasi dalam mata uang kripto.

"Dia mengalami penyiksaan dan penganiayaan psikologis dan kami berhasil membayar uang tebusan setelah berbulan-bulan dia disekap,” kata Deepak, seraya menambahkan bahwa sampai hari ini, saudaranya menolak membicarakan kasus yang dialaminya dan dia bukan lagi orang yang sama.

Ribuan orang telah diperdagangkan ke KK Park, sebuah kompleks di perbatasan Thailand-Myanmar yang didesain untuk menipu banyak orang di seluruh duniaFoto: Stefan Czimmek/DW

Operasi penipuan pekerjaan di Myanmar

Banyak warga negara India seperti Vijay telah dipaksa dan menjadi korban sindikat kejahatan internasional yang tterkait dengan munculnya pusat-pusat kejahatan siber di Asia Tenggara.

Setelah menanggapi iklan lowongan kerja, mereka ditawari gaji yang besar dan direkrut sebagai eksekutif penjualan serta pemasaran digital.

Namun, begitu mereka memulai pekerjaan baru mereka, mereka dipaksa melakukan tindak kriminal oleh mereka yang menjalankan pusat-pusat penipuan, seperti yang diungkapkan Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar kepada parlemen pada bulan Desember 2024.

"Di India, kami telah meminta pemblokiran situs-situs yang mempromosikan pekerjaan semacam itu. Kami telah merekomendasikan penuntutan dalam kasus-kasus tertentu untuk orang-orang yang terlibat dalam hal ini,” kata Jaishankar.

Pada bulan Juli tahun lalu, Jaishankar mendesak Menteri Luar Negeri Myanmar U Than Shwe untuk memulangkan orang-orang India yang ditahan secara tidak sah dan menekankan urgensi untuk memerangi komplotan-komplotan penipuan dunia maya.

Salah satu kompleks penipuan mirip penjara yang telah menjamur di Laos, Kamboja dan Myanmar, yang disebut KK Park, terletak di kota Myawaddy, Myanmar, dekat perbatasan ke Thailand.

Setidaknya belasan orang India baru-baru ini diselamatkan dari KK Park oleh Pasukan Penjaga Perbatasan Karen (BGF) Myanmar, sebuah milisi independen yang bersekutu dengan junta militer. Mereka kemudian dipindahkan ke Mae Sot, sebuah kota perbatasan di Thailand.

Membongkar jaringan penipuan tetap menjadi tantangan

Badan investigasi India melaporkan bahwa banyak pusat penipuan di Myawaddy beroperasi dari kompleks besar yang disamarkan sebagai kasino atau zona ekonomi.

Operasi tersebut sebagian besar dijalankan oleh sindikat kriminal, meskipun mereka berkolaborasi dengan kelompok bersenjata lokal untuk perlindungan dan logistik.

"Banyak dari para korban diberikan identitas online palsu dan skala operasinya sangat besar. Mereka dilatih untuk menargetkan pelanggan yang mudah tertipu untuk berinvestasi dalam skema penipuan, seperti platform mata uang kripto palsu,” kata seorang pejabat intelijen senior, yang namanya tidak ingin disebutkan, kepada DW.

"Kami paham bahwa warga India dan warga negara lain ditahan dalam kondisi seperti penjara, dan dijaga tiap saat. Penolakan untuk berpartisipasi dalam penipuan tersebut sering kali berujung pada hukuman, termasuk penyiksaan,” tambahnya.

Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bekerja untuk memerangi kejahatan ini melalui identifikasi korban, pencegahan, dan koordinasi peradilan.

PBB memperkirakan sebanyak 120.000 orang dipaksa bekerja di pusat-pusat penipuan di Myanmar.

Data resmi menunjukkan bahwa 29.466 orang India yang melakukan perjalanan dengan visa kunjungan ke Kamboja, Thailand, Myanmar, dan Vietnam antara Januari 2022 dan Mei 2024  belum juga kembali.

Shreekumar Menon, ahli narkotika dan pencucian uang, mengungkapkan kepada DW bahwa banyak mahasiswa yang pergi keluar negeri sebagai turis dan diculik, dipenjara, dan dipaksa untuk mengoperasikan berbagai skema mata uang kripto dan operasi peretasan siber dari lokasi terpencil.

"Hukum kami tidak dirancang untuk menangkap orang asing yang bekerja di negara lain, baik dalam kejahatan siber atau produksi narkoba,” kata Menon, yang telah mempelajari isu ini secara mendalam.

"Ini adalah situasi yang sangat rumit, dengan orang-orang India yang berpendidikan bersaing dengan orang-orang Nigeria yang tidak berpendidikan, di pasar gelap internasional dan dark web, menargetkan orang-orang yang mudah tertipu untuk mengambil tabungan mereka, atau untuk menawarkan jenis-jenis obat sintetis terbaru,” tambahnya.

Operasi penipuan di Myawaddy, terutama "penipuan cinta” melalui pusat panggilan - yang sering disebut sebagai "penyembelihan babi” - menghasilkan keuntungan yang amat besar.

Dalam penipuan tersebut, yang diperkirakan menghasilkan miliaran dolar setiap tahunnya di seluruh Asia Tenggara, pihak ketiga mendapatkan kepercayaan korban dan, seiring berjalannya waktu, meyakinkan mereka untuk menginvestasikan seluruh uang mereka ke dalam mata uang kripto, yang kemudian menghilang dalam sekejap.

Tantangan dan keterbatasan

"Memaksa orang untuk melakukan kejahatan siber di dunia nyata kini telah menjadi tren baru,” kata Pawan Duggal, seorang pakar hukum siber, kepada DW.

Duggal mencatat bahwa kasus-kasus yang terjadi baru-baru ini di Myanmar menunjukkan bahwa kerangka hukum yang ada saat ini sudah tidak sesuai lagi untuk mencegah kasus-kasus semacam itu. Dia menyoroti kurangnya perjanjian hukum siber internasional dan lemahnya kerja sama global sebagai tantangan utama.

Meskipun pihak berwenang India telah melakukan banyak penangkapan terkait kegiatan perekrutan ilegal di beberapa negara bagian, organisasi-organisasi bayangan terus bermunculan.

Banyak agen yang beroperasi secara online atau melalui sub-agen yang tidak terdaftar, sehingga sulit untuk dilacak. Oleh karena itu, jumlah penangkapan tetap lebih kecil dibandingkan perkiraan cakupan operasi perdagangan orang dan penipuan.

"Meskipun undang-undang dan penegakan hukum yang lebih kuat itu  penting, namun yang lebih penting lagi adalah tingkat kesadaran siber dan kebersihan siber masyarakat yang harus terus diperbarui dan ditingkatkan,” tambahnya.

"Pemerintah harus memainkan peran penting dalam hal ini. Namun, peran pemangku kepentingan lainnya juga sama pentingnya untuk meningkatkan kesadaran siber,” kata Duggal.

Artikel ini diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait