Warga Inggris Berdarah Pakistan Tuduh Pemerintah Rasis
Omaira Gill
11 Mei 2020
Ribuan warga Inggris berdarah Pakistan terjebak di negeri moyang tanpa bisa kembali. Mereka merasa ditelantarkan oleh pemerintah sendiri dan mencurigai rasisme terstruktur di kalangan pejabat tinggi Inggris.
Iklan
Kementerian Luar Negeri dan Persemakmuran di London mendapat hujan kritik lantaran dianggap menelantarkan warga Inggris berdarah Pakistan yang terjebak di negeri moyang akibat wabah corona. Ribuan di antaranya terdampar di Pakistan sejak 21 Maret, ketika pemerintah setempat menutup langit terhadap penerbangan komersil.
Saat itu, Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, baru memerintahkan semua warga negara di luar negeri untuk pulang pada tanggal 23 Maret. "Di mana penerbangan komersil tidak lagi ada, staf kami bekerja siang malam memberikan saran dan bantuan kepada warga negara Inggris," kata dia.
Pemerintah Inggris lalu mengirimkan pesawat ke sejumlah negara seperti Peru, India dan Nepal, untuk memulangkan warga negaranya. Namun program berbiaya USD 92,8 juta itu tidak melibatkan warga Inggris di Pakistan. Buntutnya mereka mencoba membeli tiket dari maskapai nasional Pakistan, PIA. Namun penerbangan berulangkali dibatalkan tanpa pengembalian uang.
Seorang penulis asal Leeds, Suhaiymah Manzoor-Khan, merasa frustasi oleh pemerintah Inggris lalu melancarkan kampanye politik saat terjebak di Pakistan. Dia mengirimkan informasi via email, mengumpulkan data-data warga yang terdampar dan mengajak mereka menghubungi perwakilan distrik di parlemen.
"Janji palsu" kedutaan besar Inggris
Alhasil lebih dari 75 anggota parlemen melayangkan surat kepada Dominic Raab, meminta tindakan dari pemerintah. "Kami mengkhawatirkan bahwa Komisi Tinggi di Pakistan (kedutaan besar) tidak mengadopsi langkah-langkah seperti yang kita lihat di kedutaan-kedutaan Inggris lain di seluruh dunia," tulis Emily Thornberry, seorang politisi Partai Buruh.
Dia mewanti-wanti semakin lama pemerintah berdiam diri, semakin besar pula risiko yang harus dihadapi warga Inggris di Pakistan lantaran kondisi keuangan yang menipis atau terputusnya akses layanan medis.
Salah seorang warga yang terjebak adalah Iqbal Hussain yang menjalani operasi kanker tahun lalu. Saat mengunjungi Pakistan, dia masih mengenakan kantung Ileostomi dan harus mengonsumsi berbagai jenis obat-obatan. "Hampir setiap hari saya menelpon kedutaan, tanpa berita baik, hanya janji palsu," kata dia.
Selama beberapa pekan Iqbal mengaku harus menggunakan ulang kantung Ileostomi yang sudah dicuci. Pada 18 April, dia harus membayar lebih dari Rp. 18 juta untuk membeli tiket sekali jalan ke Inggris.
Menurut Manzoor-Khan, testimoni semacam itu membuktikan Komisi Tinggi Inggris di Pakistan tidak menuntaskan pekerjaan rumahnya. "Ketika kami berhasil menghubungi mereka, Komisi Tinggi Inggris meminta saya mengirimkan daftar orang yang paling rentan, buat saya permintaan itu mengejutkan, karena mereka memperlakukan saya seperti tenaga sukarela ketimbang mengumpulkan informasi itu secara mandiri dan sistematik," kata dia.
Amma Saleem, seorang pelawak asal Skotlandia, juga sempat melayangkan kampanye media untuk memulangkan kedua orangtuanya dari Pakistan. Dia melayangkan kritik kepada pemerintah dengan tampil di televisi dan menulis artikel di media-media nasional.
Meski kedua orangtuanya sudah kembali, dia mengaku keduanya mengalami tekanan mental selama proses pemulangan. "Kondisi kesehatan ayah saya memburuk dan ini membuat kami khawatir," kata dia. Amma mengisahkan betapa sang ayah menjadi emosional dan bertanya apakah dia bisa lebih cepat dipulangkan kalau kulitnya berwarna putih.
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.
Foto: Reuters
11 foto1 | 11
"Rasisme" terselubung di tubuh pemerintah?
Setelah kampanye selama satu bulan, Kementerian Luar Negeri akhirnya mengirimkan pesawat sewaan ke Pakistan. Dalam sebuah pernyataan kepada DW, Komisioner Tinggi Inggris di Pakistan, Christian Turner mengaku "pihaknya sudah membantu memulangkan warga Inggris sejak 21 Maret," ketika ruang udara Pakistan resmi ditutup.
"Meski situasi yang sulit kami tetap bekera keras membantu warga lain agar bisa pulang pekan depan," kata dia, sembari menyebut telah memulangkan 17.000 warga Inggris dari Pakistan.
Kedutaan Besar Inggris juga mengaku memberikan dana pinjaman darurat bagi warga yang tidak mampu membeli tiket kepulangan.
Namun begitu warga berdarah Pakistan tetap merasa menjadi korban diskriminasi rasial. Terutama pasca skandal Windrush pada 2018, yang menelanjangi rasisme sistematis di tubuh Kementerian Dalam Negeri yang mengurusi masalah pengungsi dan warga negara asing.
"Insiden ini membetoni kesan yang saya dapat, bahwa kewarganegaraan di negara ini bersyarat dan semu bagi mereka yang berkulit non-putih," kata Manzoor-Khan. (rzn/hp)