Banyak orang Iran memperhatikan pemilu AS, di tengah konflik yang membara antara Iran dan Israel. Bagi mereka, Donald Trump dan Kamala Harris mewakili masa depan Timur Tengah yang sangat berbeda.
Iklan
Di tengah bayang-bayang konflik antara Iran dan Israel, banyak orang Iran dengan cemas menanti hasil pemilu presiden Amerika Serikat.
Dalam percakapan rahasia maupun terbuka, seperti yang dilaporkan CNN dari Teheran dua minggu lalu, banyak warga Iran menyatakan lebih memilih kandidat dari Partai Republik dan mantan Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih.
"Di bawah tekanan besar dari krisis ekonomi yang semakin memburuk, banyak orang Iran menginginkan perubahan mendasar," ujar jurnalis politik Iran Fariba Pajooh kepada DW. "Beberapa dari mereka melihat Donald Trump sebagai seseorang yang bisa mengakhiri sistem politik Republik Islam di Iran."
"Pernyataan Trump dipersepsikan secara selektif, tidak hanya di AS tetapi juga di Iran," kata Pajooh. "Banyak warga Iran percaya dia bisa menggulingkan rezim di Iran. Meski begitu, Trump berulang kali menekankan bahwa mencegah bom nuklir Iran adalah prioritas utamanya."
Kekuasaan Berdarah Ayatollah Khomeini
Ayatollah Khomeini mengobarkan revolusi 1979 buat mengakhiri kekuasaan monarki yang represif dan sarat penindasan. Ironisnya negara agama yang ia dirikan justru menggunakan cara-cara serupa untuk bisa bertahan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Reformasi Setengah Hati
Iran pada dekade 1970an mengalami perubahan besar lewat "Reformasi Putih" yang digenjot Syah Reza Pahlevi. Program yang antara lain berisikan reformasi agraria dan pendidikan itu sebenarnya diarahkan untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah dan tuan tanah. Namun Reformasi Putih menciptakan ketegangan sosial yang justru ingin dihindari pemerintah. Seluruh negeri tiba-tiba bergejolak.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Monarki Tanpa Oposisi
Iran pada era Pahlevi membungkam oposisi lewat penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan eksekusi mati. Pada demonstrasi massal 1963, sekitar 15.000 mahasiswa tewas terbunuh. Antara 1971 hingga Revolusi Islam 1979, sebanyak 100 tokoh oposisi melepas nyawa di tiang gantungan. Sampai 1975 pemerintah menahan hampir semua jurnalis, seniman, sastrawan, ulama dan akademisi yang bersimpati pada oposisi
Foto: picture alliance/Herbert Rowan
Arus Balik Khomeini
Ayatollah Khomeini yang awalnya mendukung kekuasaan terbatas Monarki Iran, berbalik arah memperkenalkan sistem pemerintahan Islam berbasis kekuasaan Ulama, Wilayatul Faqih. Oleh Pahlevi ia dikucilkan. Putra Khomeini, Mostafa, dibunuh oleh pasukan rahasia Syah Iran, Savak, setahun sebelum revolusi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Sekulerisme Islam
Namun begitu Khomeini tidak serta merta membangun pemerintahan Mullah di tahun pertama revolusi. Sebaliknya ia mengakui peran kelas menengah dalam menjatuhkan Pahlevi dengan membentuk pemerintahan sekuler di bawah tokoh liberal dan moderat Mehdi Bazargan (gambar) sebagai perdana menteri dan kemudian Abolhassan Banisadr yang merupakan aktivis HAM Iran.
Foto: Iranian.com
Kebangkitan Islam Militan
Tapi menguatnya militansi pengikut Khomeini yang ditandai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Amerika Serikat menyudahi peran kaum liberal. Terutama sejak perang Iran-Irak, Khomeini banyak memberangus oposisi. Antara 1981 dan 1985, pemerintah Islam Iran mengeksekusi mati 7900 simpatisan oposisi.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Pengkhianatan Ayatollah
Untuk mempertahankan idenya tentang kekuasaan Ulama, Khomeini tidak cuma mengucilkan perdana menterinya sendiri, ia juga memenjarakan ulama besar Syiah, Ayatollah Sayid Muhammad Kazim Shariatmadari (gambar) dengan tudingan makar dan calon penggantinya, Ayatollah Hossein-Ali Montazeri karena menentang tindakan represif pemerintah.
Foto: tarikhirani.ir
Dekade Berdarah
Dekade 1980-an menandai kekuasaan berdarah Khomeini. Dalam Tribunal Iran, PBB menuding rejim Islam Iran melakukan "pelanggaran berat Hak Azasi Manusia." Selama tahun 1980-an, sebanyak 20.000 tahanan politik meninggal dunia di penjara dan lusinan media diberangus paksa.
Foto: sarafsazan.com
Derita di Balik Jeruji
Pengadilan Kejahatan HAM Iran yang digelar di Den Haag tahun 2012 silam mengungkap berbagai kesaksian mantan tapol. Sebagian besar mengabarkan penyiksaan di penjara, antara lain digantung terbalik selama berhari-hari dan dipaksa melihat adegan penyiksaan terhadap rekannya, serta dikurung di sel isolasi tanpa sinar matahari selama berminggu-minggu.
Foto: iranwebgard.ir
Eksekusi Massal
Hingga kini Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah hukuman mati tertinggi di dunia terhadap tahanan politik. Setahun menjelang kematiannya (3 Juni 1989), Khomeini menggulirkan gelombang eksekusi massal terhadap tokoh oposisi. Tidak jelas berapa jumlah tahanan politik yang tewas. Sebuah sumber menyebut jumlah tapol yang dieksekusi mati mencapai 30.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
9 foto1 | 9
Bayang-bayang perang
Sebulan setelah Iran melancarkan serangan rudal ke Israel, Israel melakukan serangan balasan pada 25 Oktober dan menghancurkan target-target militer di Iran, terutama fasilitas produksi rudal, menurut Jerusalem Post.
Iklan
Serangan tersebut bertujuan untuk merusak pertahanan udara Iran dan menghambat pengembangan rudal balistik jangka panjang.
"Tidak mungkin memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Alex Vatanka, direktur program Iran di Middle East Institute di Washington, DC, kepada DW.
Vatanka mengatakan pemerintah AS telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mendukung serangan terhadap fasilitas nuklir Iran sebelum pemilu.
"Namun, serangan balasan Israel bukanlah tindakan simbolis," kata Vatanka. "Dua puluh lokasi militer di Iran diserang. Israel telah menunjukkan kepada Iran kekuatan militernya, yang juga ingin dilihat oleh AS. Israel jelas mengkomunikasikan pesan dan kemampuannya, dan semoga Iran mendapat pesan tersebut untuk menghindari eskalasi lebih lanjut."
Iran menilai serangan Israel termasuk skala kecil dan hanya menyebabkan kerusakan terbatas. Ini dapat mengindikasikan bahwa Teheran menganggap putaran eskalasi ini telah berakhir, kata Vatanka.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Program nuklir Iran
Sebagai presiden pada 2018, Trump menarik AS dari perjanjian nuklir Pt5+1 dengan Iran, yang diberlakukan pada akhir 2015 setelah bertahun-tahun kerja sama internasional. Trump mengatakan bahwa ia bisa menegosiasikan "kesepakatan yang lebih baik" daripada pendahulunya, Barack Obama.
Kebijakan "tekanan maksimum"-nya pada Iran akhirnya tidak berhasil. Satu tahun setelah AS menarik diri, Iran secara bertahap mulai menarik diri dari kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kini, Iran diyakini semakin dekat untuk membangun bom nuklir.
Pada September, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa AS harus mencapai kesepakatan dengan Iran untuk menghentikan program nuklirnya. Dalam konflik yang memanas antara Iran dan Israel, Trump mendukung serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran.
"Jawaban Biden seharusnya: Targetkan fasilitas nuklir terlebih dahulu dan urus sisanya kemudian," katanya pada sebuah acara pemilihan awal Oktober, yang secara langsung bertentangan dengan pandangan resmi penerusnya.
Israel menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Iran telah memperingatkan bahwa serangan Israel terhadap fasilitas nuklirnya akan mendapat respons keras.
"Untuk serangan yang berhasil di semua fasilitas nuklir Iran, Israel memerlukan dukungan AS," kata Sina Azodi, dosen di Elliott School of International Affairs di George Washington University di Washington, kepada DW.
Azodi mengatakan fasilitas nuklir Iran tersebar di beberapa lokasi, beberapa dengan bunker bawah tanah, yang membuatnya lebih sulit untuk dihancurkan sepenuhnya.
"Namun, menjelang pemilu, pemerintah AS ingin menghindari terlibat dalam perang," kata Azodi.
Ketika ditanya apakah ia mendukung perubahan sistem di Iran, Trump mengatakan kepada podcaster Iran-Amerika Patrick Bet David pada 17 Oktober: "Kita tidak bisa sepenuhnya ikut campur. Mari kita hadapi, kita bahkan tidak bisa mengatur diri kita sendiri."
"Saya ingin melihat Iran sangat sukses," kata Trump. "Satu-satunya masalah adalah mereka tidak boleh memiliki senjata nuklir."
Lika-Liku Kesepakatan Nuklir Iran
Donald Trump telah secara resmi menarik AS dari perjanjian nuklir internasional dengan Iran. Pemerintah AS terdahulu telah dengan susah payah menegosiasikannya selama bertahun-tahun dengan lima mitra internasional.
Foto: picture-alliance/epa/D. Calma
Yang menjadi masalah
Fasilitas nuklir Iran Bushehr adalah salah satu dari lima fasilitas yang dikenal oleh pengamat internasional. Israel, Amerika Serikat dan negara-negara sekutu telah sepakat bahwa usaha Iran memperkaya uranium - untuk keperluan energi domestik, menurut para pejabat di Teheran - dapat menjadi ancaman bagi kawasan jika hal itu berujung pada pengembangan senjata nuklir.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir dari masalah
Pada 2006, lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Cina, Rusia, Prancis, Inggris) dan Jerman (P5+1) memulai proses negosiasi yang melelahkan dengan Iran yang akhirnya mencapai kesepakatan pada 14 Juli 2015. Negara-negara tersebut sepakat memberikan kelonggaran sanksi pada Iran. Sebagai gantinya, pengayaan uranium Iran harus terus dipantau.
Foto: picture alliance / landov
Rakyat Iran setuju
Di Teheran dan kota-kota lain di Iran, warga merayakan apa yang mereka yakini sebagai akhir dari isolasi ekonomi bertahun-tahun yang memberi efek serius pada kesehatan dan gizi masyarakat karena kurangnya akses ke pasokan medis dan makanan untuk warga biasa. Banyak juga yang melihat perjanjian itu sebagai bukti bahwa Presiden Hassan Rouhani berusaha untuk membuka Iran ke dunia dengan cara lain.
Foto: picture alliance/AA/F. Bahrami
Peran IAEA
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) ditugaskan untuk memantau kepatuhan Iran kepada kesepakatan itu. Direktur Jenderal IAEA Yukiya Amano (kiri) pergi ke Teheran untuk bertemu dengan Rouhani pada bulan Desember 2016, hampir satu setengah tahun setelah kesepakatan itu ditandatangani. Dalam laporan yang disampaikan setiap tiga bulan, IAEA berulang kali menyertifikasi kepatuhan Iran.
Foto: picture alliance/AA/Iranian Presidency
Sang oponen
Setelah delapan tahun dengan Barack Obama, PM Israel Benjamin Netanyahu menemukan sosok presiden AS yang ia inginkan dalam Donald Trump. Meski Trump tidak memiliki pengalaman dalam diplomasi dan ilmu nuklir, ia menyebut perjanjian internasional tersebut sebagai "kesepakatan terburuk yang pernah dinegosiasikan." Hal ini juga menjadi pokok kampanye pemilunya di 2016.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Siapa yang masih ada?
Meskipun ada sertifikasi IAEA dan protes dari Kemlu AS, Trump tetap menarik AS dari perjanjian pada 8 Mei. Pihak-pihak lain telah berjanji untuk tetap berada dalam kesepakatan. Diplomat top Uni Eropa, Federica Mogherini (kiri), sudah melakukan pembicaraan dengan para menteri luar negeri dari (ki-ka) Iran, Prancis, Jerman dan Inggris.
Foto: picture-alliance/Photoshot
6 foto1 | 6
Perdamaian Timur Tengah?
Apa yang akan terjadi setelah pemilu presiden AS masih harus dilihat. "Jika Kamala Harris memenangkan pemilu, pemerintahannya mungkin akan mencoba mencapai kesepakatan sementara dengan Iran," kata Azodi.
Di masa lalu, Harris membela perjanjian nuklir dengan Iran dan menganggapnya sebagai pencapaian signifikan dari kepresidenan Obama.
Dalam perannya sebagai wakil presiden, ia mendukung upaya untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut selama empat tahun terakhir. Namun, upaya tersebut tidak berhasil.
"Jika Donald Trump menang, ia bisa membawa perubahan mendasar dalam hubungan AS-Iran," kata Azodi.
"Ia memiliki potensi untuk menyatukan semua kritikus Iran di Partai Republik untuk mencapai kesepakatan yang berbeda dengan Iran," tambahnya.
Dalam wawancara minggu lalu dengan penyiar milik negara Saudi, Al Arabiya, Trump mengatakan bahwa jika terpilih, ia akan memasukkan Iran ke dalam Abraham Accords, bersama dengan setidaknya selusin negara lain.
"Abraham Accords dicapai selama masa kepresidenan saya," katanya. "Tidak ada yang mengira itu mungkin."
Kesepakatan yang ditandatangani di Gedung Putih pada September 2020 itu menormalkan hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab serta Bahrain, dan kemudian, Maroko.
Trump mengatakan kepada Al Arabiya bahwa perdamaian di Timur Tengah akan mungkin tercapai di bawah kepemimpinannya. Perpanjangan perjanjian itu akan melibatkan penataan ulang besar di mana Iran, musuh regional terbesar Israel dan AS, akan menjadi sekutu.
Namun, ia tidak memberikan rincian tentang bagaimana ia bermaksud mencapai kesepakatan besar ini. Sementara, rezim di Iran yang menghadapi ketidakpuasan di dalam negeri dan kemungkinan konflik yang semakin memanas dengan Israel, tidak menunjukkan tanda-tanda bersedia membuat kesepakatan.