1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Warga Iran Ingin Trump Menang Pemilu AS, Mengapa?

29 Oktober 2024

Banyak orang Iran memperhatikan pemilu AS, di tengah konflik yang membara antara Iran dan Israel. Bagi mereka, Donald Trump dan Kamala Harris mewakili masa depan Timur Tengah yang sangat berbeda.

Suasana di Teheran
Kedua kandidat presiden AS sama-sama menekankan pentingnya mencegah Iran memproduksi senjata nuklirFoto: Vahid Salemi/AP Photo/picture alliance

Di tengah bayang-bayang konflik antara Iran dan Israel, banyak orang Iran dengan cemas menanti hasil pemilu presiden Amerika Serikat.

Dalam percakapan rahasia maupun terbuka, seperti yang dilaporkan CNN dari Teheran dua minggu lalu, banyak warga Iran menyatakan lebih memilih kandidat dari Partai Republik dan mantan Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih.

Mereka yang diwawancarai mengatakan melihatnya sebagai pemimpin kuat yang dapat mengatasi masalah. Di sisi lain, kemenangan kandidat Demokrat dan Wakil Presiden saat ini, Kamala Harris, menurut mereka akan melanjutkan status quo politik AS.

"Di bawah tekanan besar dari krisis ekonomi yang semakin memburuk, banyak orang Iran menginginkan perubahan mendasar," ujar jurnalis politik Iran Fariba Pajooh kepada DW. "Beberapa dari mereka melihat Donald Trump sebagai seseorang yang bisa mengakhiri sistem politik Republik Islam di Iran."

"Pernyataan Trump dipersepsikan secara selektif, tidak hanya di AS tetapi juga di Iran," kata Pajooh. "Banyak warga Iran percaya dia bisa menggulingkan rezim di Iran. Meski begitu, Trump berulang kali menekankan bahwa mencegah bom nuklir Iran adalah prioritas utamanya."

Bayang-bayang perang

Sebulan setelah Iran melancarkan serangan rudal ke Israel, Israel melakukan serangan balasan pada 25 Oktober dan menghancurkan target-target militer di Iran, terutama fasilitas produksi rudal, menurut Jerusalem Post.

Serangan tersebut bertujuan untuk merusak pertahanan udara Iran dan menghambat pengembangan rudal balistik jangka panjang.

"Tidak mungkin memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Alex Vatanka, direktur program Iran di Middle East Institute di Washington, DC, kepada DW.

Vatanka mengatakan pemerintah AS telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mendukung serangan terhadap fasilitas nuklir Iran sebelum pemilu.

"Namun, serangan balasan Israel bukanlah tindakan simbolis," kata Vatanka. "Dua puluh lokasi militer di Iran diserang. Israel telah menunjukkan kepada Iran kekuatan militernya, yang juga ingin dilihat oleh AS. Israel jelas mengkomunikasikan pesan dan kemampuannya, dan semoga Iran mendapat pesan tersebut untuk menghindari eskalasi lebih lanjut."

Iran menilai serangan Israel termasuk skala kecil dan hanya menyebabkan kerusakan terbatas. Ini dapat mengindikasikan bahwa Teheran menganggap putaran eskalasi ini telah berakhir, kata Vatanka.

Program nuklir Iran

Sebagai presiden pada 2018, Trump menarik AS dari perjanjian nuklir Pt5+1 dengan Iran, yang diberlakukan pada akhir 2015 setelah bertahun-tahun kerja sama internasional. Trump mengatakan bahwa ia bisa menegosiasikan "kesepakatan yang lebih baik" daripada pendahulunya, Barack Obama.

Kebijakan "tekanan maksimum"-nya pada Iran akhirnya tidak berhasil. Satu tahun setelah AS menarik diri, Iran secara bertahap mulai menarik diri dari kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kini, Iran diyakini semakin dekat untuk membangun bom nuklir.

Pada September, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa AS harus mencapai kesepakatan dengan Iran untuk menghentikan program nuklirnya. Dalam konflik yang memanas antara Iran dan Israel, Trump mendukung serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran.

"Jawaban Biden seharusnya: Targetkan fasilitas nuklir terlebih dahulu dan urus sisanya kemudian," katanya pada sebuah acara pemilihan awal Oktober, yang secara langsung bertentangan dengan pandangan resmi penerusnya.

Israel menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Iran telah memperingatkan bahwa serangan Israel terhadap fasilitas nuklirnya akan mendapat respons keras.

"Untuk serangan yang berhasil di semua fasilitas nuklir Iran, Israel memerlukan dukungan AS," kata Sina Azodi, dosen di Elliott School of International Affairs di George Washington University di Washington, kepada DW.

Azodi mengatakan fasilitas nuklir Iran tersebar di beberapa lokasi, beberapa dengan bunker bawah tanah, yang membuatnya lebih sulit untuk dihancurkan sepenuhnya.

"Namun, menjelang pemilu, pemerintah AS ingin menghindari terlibat dalam perang," kata Azodi.

Ketika ditanya apakah ia mendukung perubahan sistem di Iran, Trump mengatakan kepada podcaster Iran-Amerika Patrick Bet David pada 17 Oktober: "Kita tidak bisa sepenuhnya ikut campur. Mari kita hadapi, kita bahkan tidak bisa mengatur diri kita sendiri."

"Saya ingin melihat Iran sangat sukses," kata Trump. "Satu-satunya masalah adalah mereka tidak boleh memiliki senjata nuklir."

Perdamaian Timur Tengah?

Apa yang akan terjadi setelah pemilu presiden AS masih harus dilihat. "Jika Kamala Harris memenangkan pemilu, pemerintahannya mungkin akan mencoba mencapai kesepakatan sementara dengan Iran," kata Azodi.

Di masa lalu, Harris membela perjanjian nuklir dengan Iran dan menganggapnya sebagai pencapaian signifikan dari kepresidenan Obama.

Dalam perannya sebagai wakil presiden, ia mendukung upaya untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut selama empat tahun terakhir. Namun, upaya tersebut tidak berhasil.

"Jika Donald Trump menang, ia bisa membawa perubahan mendasar dalam hubungan AS-Iran," kata Azodi.

"Ia memiliki potensi untuk menyatukan semua kritikus Iran di Partai Republik untuk mencapai kesepakatan yang berbeda dengan Iran," tambahnya.

Dalam wawancara minggu lalu dengan penyiar milik negara Saudi, Al Arabiya, Trump mengatakan bahwa jika terpilih, ia akan memasukkan Iran ke dalam Abraham Accords, bersama dengan setidaknya selusin negara lain.

"Abraham Accords dicapai selama masa kepresidenan saya," katanya. "Tidak ada yang mengira itu mungkin."

Kesepakatan yang ditandatangani di Gedung Putih pada September 2020 itu menormalkan hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab serta Bahrain, dan kemudian, Maroko.

Trump mengatakan kepada Al Arabiya bahwa perdamaian di Timur Tengah akan mungkin tercapai di bawah kepemimpinannya. Perpanjangan perjanjian itu akan melibatkan penataan ulang besar di mana Iran, musuh regional terbesar Israel dan AS, akan menjadi sekutu.

Namun, ia tidak memberikan rincian tentang bagaimana ia bermaksud mencapai kesepakatan besar ini. Sementara, rezim di Iran yang menghadapi ketidakpuasan di dalam negeri dan kemungkinan konflik yang semakin memanas dengan Israel, tidak menunjukkan tanda-tanda bersedia membuat kesepakatan.

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Jerman