1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Indonesia Saat ini di Mata Warga Jerman

11 April 2019

Beberapa warga Jerman yang memiliki hubungan spesial dengan Indonesia selalu mengikuti perkembangan tanah air secara seksama. Lantas bagaimana kah pandangan mereka terhadap Indonesia kini?

Foto: S. Gero

Indonesia sebagai suatu negara tak hanya mengundang perhatian warganya namun juga beberapa warga asing. Di Jerman contohnya terdapat organisasi yang menjadi simbol hubungan baik antar kedua negara. Deutsch Indonesische Gesellschaft - DIG (Persahabatan Jerman Indonesia) telah didirikan sejak tahun 1950 di kota Köln untuk mempromosikan kontak bilateral serta mencoba menjembatani kesenjangan antara Jerman dan Indonesia.

Presiden DIG Karl Mertes mengaku dirinya telah jatuh hati pada Indonesia sejak lama.  Selain telah menikahi istri yang berasal dari Indonesia, ada banyak hal lain yang membuatnya kagum terhadap Indonesia. "Banyaknya pulau, banyaknya suku serta banyaknya budaya adalah yang saya kagumi dari Indonesia,” katanya.

Presiden Deutsch Indonesische Gesellschaft, Karl Mertes.Foto: WDR

Namun ia sangat menyayangkan berita yang ia dapatkan tentang Indonesia akhir-akhir ini bukanlah soal kemajemukannya yang tersohor namun soal "korupsi dan intoleransi”. Bagi Karl tentu saja hal ini mengecewakan dan solusi yang ia tawarkan adalah agar Indonesia tetap memegang Pancasila dan memperkuat sistem demokrasi.

Jaga persatuan dalam keragaman

Selain Karl ada pula Gero Simone. Penyiar stasiun radio Westdeutscher Rundfunk (WDR) di kota Köln ini berbagi kisahnya saat pertama kali ia datang ke Indonesia 10 tahun silam. ”Saat itu saya megikuti kegiatan relawan sosial dan bekerja sebagai asisten guru pada sebuah Sekolah Dasar di Pekalongan, Jawa Tengah. Saat itu saya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris dan Olahraga,” katanya.

Begitu menikmatinya ia selama tinggal di Indonesia hingga ia pun merasa masih banyak nilai-nilai Indonesia yang ia jalani hingga kini. "Saya sangat tidak tepat waktu,” candanya. Selain itu ia juga belajar dari Indonesia bahwa "saat sesuatu tak berjalan sesuai rencana, saya akan menghadapinya lebih santai,” ujarnya. Ia mengaku hal-hal tersebut masih ia rawat dalam dirinya.

Gero pergi ke Indonesia bukan tanpa bekal. Saat studi di salah satu universitas di kota Bonn, ia juga mendapatkan pelajaran tentang Indonesia. "Apa yang diajarkan kepada kami selama kuliah adalah Indonesia merupakan negara yang sangat toleran, memiliki kaum Muslim yang sangat moderat dan sangat modern dalam hal hubungan antar agama. Hal itu juga yang saya kenal selama saya berada di indonesia,” kata Gero.

Gero saat menjalankan tugas sebagai reporter lapangan di Indonesia.Foto: S. Gero

"Saya sangat terkesan pada bagaimana terbukanya mereka menerima orang asing terlepas dari agamanya. Saya bahkan mengikuti ibadah Ramadahan di Pekalongan dan di sana masyarakatnya selalu terbuka,” lanjutnya.

Namun gambaran Gero tentang Indonesia berubah ketika ia sedang di Jakarta dan saat itu terjadi demonstrasi besar terkait penistaan agama yang dialamatkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. "Saya terkejut melihat bahwa ada ratusan ribu manusia turun ke jalan. Terlepas pada saat itu apakah tuduhan atau dakwaan penodaan agama tersebut benar atau tidak, bahwa agama bisa menggerakkan begitu banyak manusia serta meneriakkan ‘bunuh dia'!”

Gero siaran di radio di Kota Köln, Jerman.Foto: DW/RIzki Akbar Putra

Bagi Gero hal tersebut merupakan kali pertamanya ia merasa takut untuk berpergian di Indonesia. "Saat itu saya tidak berani keluar atau mengunjungi pusat-pusat keramaian. Itu mengejutkan karena sebelumnya saya merasa sangat aman di Indonesia,” terangnya.

Ia menganggap intoleransi yang kini terjadi di Indonesia diakibatkan situasi politik di Indonesia yang terus memanas. "Hal itu absurd karena bertentangan dengan ide dasar pendirian Indonesia bahwa kita ingin menyatukan segala sesuatu yang kita punya, segala penganut agama, kesatuan dalam keberagaman. Tanpa prinsip-prinsip ini Indonesia seperti yang kita kenal tidak akan pernah ada,” katanya. (ml)

Wawancara dilakukan oleh Rizki Nugraha dan Geofani Anggasta.