Warga Rohingya Diperkosa Militer Secara Sistematis
16 November 2017
Pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya terjadi secara sistematis dan tersebar secara merata, demikian laporan Human Rights Watch. Militer Myanmar dituding bertanggung jawab atas kekerasan seksual tersebut.
Iklan
Kamis pagi (16/11), Human Rights Watch (HRW) merilis laporan secara khusus terkait kekerasan seksual yang menimpa perempuan Rohingnya di Rakhine, Myanmar. Lembaga yang berkantor di New York itu menuding tentara Myanmar telah menggunakan pemerkosaan sebagai senjata untuk melakukan pembersihan etnis Rohingya.
"Pemerkosaan menjadi cara yang paling mencolok dan paling efektif yang dilakukan militer Myanmar untuk kampanye pembersihan etnis terhadap warga Rohingya,” ujar Skye Wheeler, peneliti sekaligus penulis laporan HRW. "Tindakan barbar militer Myanmar telah menyebabkan banyak perempuan terluka dan mengalami trauma secara brutal," katanya seperti dikutip dari AFP.
Laporan HRW ini seakan mempertegas tudingan yang dilontarkan Pramila Patten, utusan PBB khusus untuk kekerasan seksual di daerah konflik. Awal minggu ini dia menyebutkan bahwa kekerasan seksual telah "diperintahkan, dirancang dan dilakukan oleh angkatan bersenjata Myanmar."
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)
Foto: DW/J. Owens
8 foto1 | 8
Pemerkosaan massal
Dalam 30 lembar laporan yang berjudul "Seluruh Tubuhku Terluka", HRW memaparkan keterlibatan militer Myanmar dalam serangkaian pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan remaja Rohingya. “Pada tiap kasus, para pelaku digambarkan adalah prajurit berseragam dan hampir semuanya adalah anggota militer,” tulis laporan tersebut.
HRW menemukan bukti pemerkosaan juga dilakukan secara berkelompok. Ada delapan laporan yang mengakui pelaku pemerkosaan berjumlah lima tentara atau lebih. Mereka juga menceritakan bahwa mereka diperkosa di rumah atau saat mengungsi ketika desa mereka terbakar.
Salah satu korban, Hala Sadak, berusia 15 tahun mengisahkan kepada HRW tentang pemerkosaan berkelompok yang dialaminya. “Mereka meninggalkan saya di tempat saya berada. Ketika saudara laki-laki dan perempuan saya menemukanku, saya terbaring di tanah, dan mereka berpikir saya sudah tewas.”
Laporan seperti Hala Sadak ini menurut Nisha Varia, direktur advokasi HRW memberikan pemahaman yang lebih lengkap “tentang bagaimana serangan dilakukan, termasuk membuktikan bahwa militer bertindak sebagai pelaku, tingginya angka pemerkosaan serta bukti adanya pemerkosaan massal dan pola kekerasan seksual yang terjadi hingga serangan gencar dilakukan ke desa-desa.”
Pemberontak Rohingya Myanmar - Apa yang Perlu Diketahui?
Siapakah Arakan Rohingya Salvation Army, kelompok militan Rohingya yang menyerang pos polisi pada bulan Agustus 2017 dan memicu eksodus massal Muslim Rohingya?
Foto: Reuters
Siapakah anggota Arakan Rohingya Salvation Army?
Pemerintah Myanmar menyebut mereka teroris dan menuduh mereka berhubungan dengan kelompok teror di Timur Tengah. Mereka gunakan taktik perang gerilya untuk tingkatkan serangan terhadap pasukan keamanan. Gerilyawan itu diduga dipimpin oleh Ata Ullah kelahiran Pakistan (Abu Ammar). Mereka beroperasi di Rakhine di Myanmar barat, tempat tinggal mayoritas Muslim Rohingya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Htusan
Bagaimana kelompok itu terbentuk?
Kelompok yang awalnya bernama Harakah al-Yaqin ( "Gerakan Iman"), dibentuk setelah kekerasan komunal di tahun 2012. Mereka menjadi terkenal pada Oktober 2016, ketika anggotanya menyerang pos-pos penjaga perbatasan, yang menewaskan sembilan polisi. Para ahli mengatakan bahwa kelompok tersebut menjadi radikal akibat dari penganiayaan bertahun-tahun terhadap orang-orang Rohingya di Rakhine.
Foto: Imago/ZumaPress
Apa yang membuat banyak anak muda bergabung pada kelompok ini?
Rohingya ditolak hak kewarganegaraannya dan dipandang oleh pemerintah setempat sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Mayoritas Myanmar dituding lakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka. Ata Ullah mengatakan pada kantor berita Reuters bahwa kebencian atas perlakuan itu dorong ratusan pemuda Rohingya bergabung dengannya saat ia kembali ke Rakhine setelah beberapa tahun di Arab Saudi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Zaw
Apakah mereka dilengkapi dengan senjata dan dana?
Militannya gunakan bom rakitan, pisau dan tongkat untuk lakukan serangan. Mereka juga dikenal menggunakan senjata primitif seperti pedang dan tombak. ICG mengatakan kelompok itu tampaknya terima dana dari ekspatriat Rohingya dan donatur di Arab Saudi dan Timur Tengah. ICG yakin mereka tak hadapi kesulitan keuangan di masa depan, setelah tetapkan legitimasi dan kemampuan untuk lakukan serangan.
Foto: Reuters/S. Zeya Tun
Siapakah Ata Ullah - yang diduga komandan kelompok ini?
Menurut laporan ICG, ia lahir di Karachi di Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi. Dia fasih berbahasa Arab dan Bengali dalam dialek Rakhine. ICG mengatakan kemungkinan besar dia pergi ke Pakistan untuk dilatih setelah menghilang dari Arab Saudi pada tahun 2012. Ata Ullah memimpin operasi di lapangan, bersama dengan segelintir orang Rohingya lainnya yang terlatih dalam taktik gerilya modern.
Foto: Reuters
5 foto1 | 5
Bantahan militer
Senin (13/11) lalu, Jenderal Min Aung Hlaing membantah seluruh tudingan terkait pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan para prajurit Myanmar. Pimpinan militer Myanmar tersebut menegaskan operasi militer di Rakhine murni hanya menyasar militan Rohingya. Kamis (16/11), Jenderal Min Aung Hlaing kembali mengeluarkan pernyataan yang mengisyarakatkan sulitnya proses pengembalian warga Rohingya secara damai seperti yang diusulkan Bangladesh. Ia menekankan warga Rohingya bisa kembali hanya jika ’warga pribumi” bersedia menerima mereka.
“Penekanannya harus berdasarkan keinginan etnis lokal Rakhine, yaitu mereka yang merupakan warga asli Myanmar. Hanya jika warga etnis lokal Rakhine bisa menerimanya, maka seluruh orang bisa puas,” bunyi pernyataan yang ditulis pada hari Kamis (16/11) di laman Facebook miliknya
Pernyataan ini dikeluarkan setelah sehari sebelumnya Jendral Min Aung Hlaing bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson. Pada pertemuan itu Tillerson meminta penyelidikan independen yang kredibel atas tuduhan yang diarahkan ke militer Myanmar. Tillerson bahkan menyebutkan AS belum akan memberikan sanksi kepada Myanmar. Tak hanya AS, pada pertemuan ASEAN yang berlangsung beberapa waktu lalu, sebagian besar petinggi negara di Asia Tenggara juga bungkam atas peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingnya.
Kisah Pengungsi Rohingya Di Perbatasan Myanmar
Dari Rakhine, Myanmar, lebih dari tiga setengah juga pengungsi Rohingya tiba di Teknaf, Bangladesh. Bagaimana hidup mereka yang penuh penderitaan dan kenangan menyedihkan?
Foto: DW/M.M. Rahman
Pengungsi Rohingya di daerah Teknaf yang sudah banyak menerima pengungsi.
Foto: DW/M.M. Rahman
Banyak anggota keluarga yang sakit dan yang sudah tua mereka gotong dan akhirnya tiba di Teknaf.
Foto: DW/M.M. Rahman
Sebagian besar pengungsi Rohingya adalah perempuan dan anak-anak.
Foto: DW/M.M. Rahman
Wanita dan anak-anak Rohingya juga harus melewati sungai, di jalan yang panjang untuk mencapai Bangladesh.
Foto: DW/M.M. Rahman
Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR) sekitar 2,5 juta pengungsi Rohingya telah tiba di Bangladesh sejak 25 Agustus 2017.
Foto: DW/M.M. Rahman
Rumah-rumah keluarga Rohingya di daerah Maungdaw dan Rasidong dibakar selama tiga hari. Gambar diambil dari Pulau Shahpiar.
Foto: DW/M.M. Rahman
Banyak orang terpaksa berhenti di sisi jalan, setelah melintasi malam di bawah langit terbuka.
Foto: DW/M.M. Rahman
Pemerintah Bangladesh berupaya menampung semua pengungsi di tempat penampungan yang luas.
Foto: DW/M.M. Rahman
Lebih dari 200.000 bayi Rohingya kini berada di Bangladesh. Menurut UNHCR lebih dari 1.100 anak datang dari Rakhine tanpa disertai orang tua.
Foto: DW/M.M. Rahman
Rohingya yang cari perlindungan di daerah Teknaf menderita kekurangan makanan akut. Untuk dapat makanan mereka harus berebutan. Penulis: Mustafiz Manun (ml/hp)