1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Warga Singapura Mengaku Memata-matai AS Untuk Cina 

27 Juli 2020

Dickson Yeo mengoperasikan jejaring spionase bisnis dan teknologi yang melibatkan sejumlah pejabat sipil dan perwira militer AS. Mereka direkrut karena memiliki akses keamanan tingkat tinggi, dan punya masalah keuangan

Bendera Cina berkibar untuk terakhirkalinya di gedung konsulat di Houston, Amerika Serikat, 22 Juli 2020.
Bendera Cina berkibar untuk terakhirkalinya di gedung konsulat di Houston, Amerika Serikat, 22 Juli 2020. Perwakiilan Beijing dengan wilayah kerja bagian selatan Amerika itu dituduh menjadi pusat spionase bisnis dan teknologi.Foto: picture-alliance/AP Photo/D. J. Phillip

Seorang warga Singapura mengaku bersalah mengumpulkan informasi rahasia untuk dinas rahasia Cina, tulis Kementerian Kehakiman Amerika Serikat. Dia dilaporkan menggunakan lembaga konsultan politik miliknya untuk memata-matai AS. 

Jun Wei Yeo atau juga dikenal dengan nama Dickson Yeo, didakwa beroperasi secara ilegal sebagai agen negara asing. Dalam pengakuannya, dia memastikan bekerja antara 2015 dan 2019 untuk dinas rahasia Cina. 

Tugasnya adalah “menemukan dan membantu warga Amerika yang memiliki akses terhadap informasi rahasia yang berharga, termasuk pegawai militer dan pemerintahan yang memiliki akses keamanan tingkat tinggi.” 

Pengadilan mengungkap, Yeo membayar orang yang dijadikan sasaran untuk menulis kajian ilmiah untuk klien di Asia, namun mengirimkannya ke pemerintah Cina. 

Awan gelap antara Amerika dan Cina 

Pengakuan Yeo dipublikasi di tengah eskalasi konflik AS dan Cina, di mana AS memerintahkan penutupan kantor konsuler Cina di Houston lantaran diaggap menjadi pusat spionase bisnis dan teknologi.  

Baru-baru ini Washington juga mengumumkan penangkapan empat ilmuwan Cina atas dakwaan berbohong dalam permohonan visa ihwal afiliasi dengan Partai Komunis Cina. 

Serangan AS terhadap Cina meningkat dalam beberapa pekan terakhir, antara lain lewat isu Xinjiang dan Laut Cina Selatan. 

Jumat (24/7) pekan lalu Cina membalas dengan menutup kantor konsuler AS di Chengdu. Kementerian Luar Negeri berdalih sejumlah pegawai kedutaan “terlibat dalam aktivitas di luar kapasitasnya, mencampuri urusan internal Cina dan membahayakan keamanan serta kepentingan Cina,” kata Jurubicara Kemenlu, Wang Wenbin. 

Wilayah kerja perwakilan AS di Chengdu mencakup barat daya Cina, termasuk Tibet. 
Pada senin (27/7), pemerintah Cina dilaporkan mengambilalih gedung bekas kantor konsuler AS tersebut. 

Pejabat pemerintah terlihat memasuki gedung dengan membawa tim pembersih yang dilengkapi desinfektan. Mereka memindahkan semua ornamen milik pemerintah Amerika Serikat. Di luar gedung seratusan warga berkumpul, seorang di antaranya meneriakkan yel “hidup Partai Komunis Cina!”, lapor kantor berita AFP.

Spionase bisnis dan teknologi 

Dalam “pernyataan fakta” yang ditandatangani Yeo, dia mengakui secara sadar bekerjasama dengan dinas rahasia Cina, bertemu belasan agen dan mendapat perlakuan istimewa ketika berpergian di Cina. 

Dia direkrut ketika bekerja sebagai akademisi di National University, Singapura, di mana dia meneliti tentang proyek jalur sutra Cina, Belt and Road Initative.  

Di laman profilnya di LinkedIn, Yeo menulis bekerja sebagai analis risiko politik yang fokus pada Cina dan kawasan ASEAN. Dia “menjembatani Amerika Utara dengan Beijing, Tokyo dan Asia Tenggara.”  

Dokumen pengadilan mencatat Yeo diperintahkan Cina untuk membuka layanan konsultan politik palsu untuk menawarkan pekerjaan menulis kajian ilmiah politik dan keamanan bergaji besar. Hasilnya, dia menerima 400 lamaran kerja, 90% di antaranya pegawai militer atau pejabat pemerintah. 

Yeo lalu menyerahkan semua dokumen lamaran kepada dinas rahasia Cina, beserta daftar riwayat hidup masing-masing pelamar. Dia mengaku membidik sasaran yang mengalami masalah keuangan.  

Hasilnya, sang konsultan membangun jejaring informan yang antara lain terdiri atas seorang pegawai sipil yang bekerja untuk proyek pesawat pembom F-35B, seorang perwira militer Pentagon yang pernah bekerja di Afghanistan dan seorang pejabat Kementerian Luar Negeri. 

Mereka mendapat imbalan sebesar USD 2.000 atau sekitar Rp. 29 juta untuk setiap tulisan.   

Dia “memanfaatkan situs jejaring karir dan lembaga konsultan palsu untuk menggoda warga Amerika demi kepentingan pemerintah Cina,” kata Asisten Jaksa Agung AS, John Demers. “Ini adalah contoh lain bagaimana pemerintah Cina mengeksploitasi keterbukaan masyarakat Amerika,” imbuhnya. 

Rzn/ (afp, rtr) 
       


 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait