1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTimur Tengah

Warga Gaza dan Israel Berjuang Hadapi Realita Baru

15 Mei 2021

Kontak senjata antara Hamas dan Israel memanas sejak sepekan terakhir. Ekskalasi yang meningkat cepat membuat warga sipil di kedua belah pihak menghadapi ketidakpastian. Reporter DW Tania Krämer melaporkan dari Israel.

Serangan udara Israel yang menghancurkan Gaza, 14 Mei 2021
Bocah Palestina menarik gerobak yang membawa adiknya serta barang mereka saat mengungsi dari serangan udara IsraelFoto: Mohammed Salem/REUTERS

Hingga hari Senin (10/05), suasana di Gaza masih meriah, meski ada pandemi virus corona, warga bersiap menyambut berakhirnya bulan suci Ramadan. "Kami membersihkan rumah, membeli baju lebaran untuk anak-anak. Tapi semua sudah berubah,” tutur Mariam Sersawi lewat sambungan telepon dari Gaza, malam menjelang Idulfitri.

Sersawi (25 tahun) berprofesi sebagai content-writer dan tinggal di Shejaieh, permukiman di sebelah timur kota Gaza. Ia dan warga di tempatnya tinggal tidak menduga apa yang akan terjadi beberapa hari setelahnya. Awal dari sebuah konflik baru dan kehancuran yang terjadi secara cepat dalam skala luas, mengingatkannya pada perang tahun 2014. "Saya panik. Suara dentuman bom sangat mengerikan. Pemboman terjadi terus menerus,” katanya sambil menahan air mata saat berbicara. "Saya lelah.”

Beberapa hari kemudian, orang-orang yang tadinya masih belum percaya akan ekskalasi ini menyadari bahwa situasi telah berubah menjadi konflik yang sengit dan sangat serius. Ketika kontak senjata meningkat, warga Gaza menggunakan media sosial untuk menggambarkan betapa intensnya serangan udara yang diluncurkan Israel dan ketakutan yang mereka rasakan.

Ingatan warga Gaza dan ketakutan baru

Menurut militer Israel, 160 jet tempur dilepaskan ke udara pada hari Kamis malam (13/05) untuk menyerang wilayah di pesisir pantai.

Tiga perang dan beberapa ekskalasi militer yang terjadi sebelumnya masih melekat di benak warga Gaza. Sekarang, mereka kembali mengasah insting untuk bersikap siaga dengan berjongkok di rumah dan keluar rumah dengan cepat hanya untuk mendapatkan kebutuhan pokok. 

Keluarga Palestina dari Beit Lahia berlindung di sekolah PBB di kota Gaza Foto: Mahmud Hams/AFP/Getty Images

Gaza tidak memiliki bungker sebagai tempat perlindungan atau sirene peringatan jika terjadi serangan udara. Dua juta orang tinggal di wilayah blokade yang diduduki oleh kelompok militan Hamas tersebut.

Abed Shokry, dosen senior di Universitas Islam di Gaza mengatakan melalui saluran telepon dari Kota Gaza, bahwa rumahnya terguncang akibat pemboman. "Serangan lebih kuat, lebih berbahaya dan lebih kuat dibanding tahun 2014. Saya tidak tahu harus berkata apa, saya merasa tidak berdaya. Kami tidak dapat melakukan apa-apa, tidak ada tempat yang aman. Kami tidak memiliki tempat yang aman. Kamar atau tempat berlindung. Tidak ada tempat yang aman untuk dituju," katanya.

Penggusuran paksa dan protes

Dosen yang pernah tinggal di Jerman selama lebih dari satu dekade itu beranggapan bahwa ada kesan yang muncul sebelumnya bahwa peristiwa di Yerusalem dalam beberapa pekan terakhir mungkin berdampak pada perkembangan hubungan Israel-Palestina. Meski begitu, pecahnya pertempuran seperti saat ini masih mengejutkan sebagian besar orang di Gaza.

Selama berminggu-minggu, konfrontasi terjadi di Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur antara warga Palestina dan polisi Israel. Kunjungan provokatif oleh politisi sayap kanan Israel dan demonstrasi ekstremis sayap kanan Israel semakin memperkeruh suasana dan memicu kekerasan.

Konfrontasi antara aparat Israel dan Palestina di Harem Al Sharif, atau yang dikenal sebagai Temple Mount bagi warga Yahudi, dan di dalam Masjid Al Aqsa telah mendorong Hamas untuk mengultimatum Israel untuk menarik pasukan mereka dari wilayah tersebut. Hamas pun meluncurkan beberapa roket ke arah Yerusalem.

Warga Israel di Ashkelon berlindung saat Iron Dome halau roket HamasFoto: Jack Guez/AFP/Getty Images

Hingga Jumat (14/05), Israel dilaporkan telah meluncurkan lebih dari 600 serangan udara di Gaza, sementara kelompok militan Palestina telah menembakkan lebih dari 1.600 roket ke pusat kota dan ke sebelah Selatan wilayah Israel. Pertempuran ini memicu kekhawatiran internasional bahwa situasi Israel-Palestina dapat menjadi tidak terkendali, dan prospek terjadinya gencatan senjata tampaknya tipis pada saat ini.

Ashkelon - kota Israel yang disasar roket

Di kota Ashkelon di Israel selatan yang terletak tepat di utara Jalur Gaza, sirene serangan udara kembali terdengar dan warga di pusat perbelanjaan bergegas ke tempat parkir bawah tanah. Sesampainya di sana, beberapa ledakan keras bergema di ruang bawah tanah. Itu adalah Iron Dome, sistem pertahanan Israel yang menghalau roket Hamas yang ditembakkan dari Gaza ke Israel.

Sehari sebelumnya, sebuah roket jatuh di depan toko, dan menghancurkan rumah dan mobil. "Suasana ini sangat membuat stres," kata Shula Elimelech, "Tapi kami mengikuti aturan, kami percaya pada IDF (Pasukan Pertahanan Israel) - dan jika Tuhan berhendak, semua akan baik-baik saja."

Ashkelon menjadi saksi terjadinya serangan rudal bertubi-tubi dalam beberapa hari terakhir. Di lantai atas, tukang roti Shmaayah Sassporta sedang menyiapkan roti Challah tradisional untuk Shabbat. "Ini telah berlangsung selama bertahun-tahun sekarang. Dan saya tidak berharap ini akan berakhir dalam waktu dekat," kata Sassporta.

Lebih jauh di bagian selatan, di lokasi yang sangat dekat dengan pagar perbatasan yang memisahkan Gaza dari Israel, Anat Partoush, seorang guru yoga, berbicara dengan reporter DW melalui panggilan video. Dia mendapati dirinya kembali terkurung di rumahnya, padahal dia sudah terbiasa kembali bekerja setelah pandemi virus corona tertangani di Israel.

Ketika sirene serangan udara berbunyi di daerah tersebut, hanya ada waktu beberapa detik untuk mencari perlindungan, sebelum terjadinya kemungkinan tumbukan roket atau mortir. "Saya tidak terlalu takut, saya hanya merasa frustrasi. Kami memiliki tempat berlindung, dan Iron Dome juga memberi Anda bantuan psikologis. Namun sangat tidak nyaman untuk mendengar semua suara roket. Tapi saya tahu ini juga sementara."

Ketidakpastian politik

Reporter DW bertemu dengannya sebelum pemilu Israel pada bulan Maret lalu. Pendukung Likud tersebut senang bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu masih memimpin. "Tidak ada tongkat ajaib. Saya melihat orang-orang menyalahkan Netanyahu, dan semua orang sangat pintar, ini sangat rumit dan saya senang Bibi Netanyahu tidak terpengaruh."

Netanyahu telah gagal membentuk pemerintahan koalisi. Saingannya Yair Lapid dari partai sentris Yesh Atid dan Naftali Bennett dari partai haluan kanan Yamina telah mencoba membangun koalisi. Namun, pada hari Kamis (13/05), media Israel melaporkan bahwa Bennett telah mengisyaratkan bahwa pemerintah alternatif seperti itu tidak bisa diperhitungkan, dan dia akan melakukan pembicaraan dengan Likud Netanyahu untuk membentuk pemerintah sayap kanan-nasionalis-religius.

Partoush berharap negara-negara Arab, seperti Uni Emirat Arab atau Bahrain - yang baru-baru ini menormalisasi hubungannya dengan Israel - dapat membantu memulihkan ketegangan dan menemukan solusi jangka panjang. Tetapi dia juga yakin bahwa selama Hamas menguasai Gaza dan tidak terlihatnya solusi politik, maka tidak akan ada prospek ketenangan, apalagi perdamaian. ts/yp