1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Warga Turki Tak Bisa Lagi Gunakan Media Sosial Secara Bebas

1 Oktober 2020

Mulai 1 Oktober, Turki memasuki era baru setelah parlemen menyetujui undang-undang tentang media sosial. Kehadiran Facebook dan Twitter terancam diblokir jika mereka gagal menghapus postingan yang kontroversial.

Icons von Facebook und Twitter
Aplikasi media sosial Twitter dan FacebookFoto: Imago Images/Eibner

Peraturan baru tentang penggunaan media sosial telah disahkan pada 29 Juli lalu, setelah partai AK di bawah kuasa Presiden Tayyip Erdogan, yang memiliki suara mayoritas di parlemen menyetujui undang-undang itu.

Penasehat senior hak asasi manusia Facebook, Iain Levine melalui akun Twitter-nya menyatakan bahwa aturan itu "menimbulkan banyak kekhawatiran (tentang) hak asasi manusia".

Meski merasa takut, para pendukung kebebasan berbicara tidak yakin apakah pemerintah Erdogan akan dapat menerapkan langkah-langkah hukum atau perusahaan media sosial akan sepenuhnya mematuhi undang-undang baru itu.

"Kami percaya bahwa sangat tidak mungkin di negara seperti Turki bisa menekan penggunaan media sosial, karena itu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat," kata Emma Sinclair-Webb, Direktur Human Rights Watch Turki.

"Tujuan undang-undang tersebut adalah untuk mengancam perusahaan media sosial dengan pesan patuh atau mati," tambahnya.

Antara Erdogan dan media sosial

Di bawah undang-undang baru itu, platform dengan lebih dari satu juta pengguna harian, harus membuka kantor perwakilan di Turki yang dapat menangani keputusan pengadilan lokal untuk menghapus konten (yang menyinggung pemerintah) dalam waktu 48 jam.

Jika gagal menghapus konten kontroversial, maka perusahaan media sosial harus menghadapi larangan penayangan iklan atau denda hingga 40 juta lira Turki (Rp 77,5 miliar). Atau yang paling berat adalah pengurangan bandwidth hingga 90 persen, sehingga membuat platform tersebut praktis tidak dapat digunakan.

Pemerintah Turki juga mewajibkan perusahaan media sosial untuk "mengambil tindakan yang diperlukan" seperti menyimpan data pengguna lokal. Sebagian akses ke situs web dan konten telah dibatasi di negara berpenduduk 83 juta orang ini.

Erdogan tidak merahasiakan segala bentuk penghinaan terhadapnya di media sosial, meskipun akun Twitter @RTErdogan memiliki 16,7 juta pengikut.

"Pemarah Twitter!" Erdogan menyatakan cuitan tersebut pada tahun 2014 dan bersumpah untuk "menghapus semua" platform media sosial.

Tahun lalu, Twitter mencantumkan Turki bersama dengan Rusia dan Jepang sebagai tiga negara teratas yang bertanggung jawab atas 86 persen dari semua permintaan untuk menghapus postingan kontroversial. Ini merupakan istilah untuk postingan yang berlawanan dengan pemerintah.

Pengacara hak privasi Sevket Uyanik mengatakan, Turki telah memblokir akses ke 408.000 situs web, 40.000 tweet, 10.000 video YouTube, dan 6.200 posting Facebook pada akhir 2019.

"Jika ini sudah terjadi, bayangkan akan seperti apa setelah 1 Oktober," kata Uyanik kepada AFP.

Apakah undang-undang baru akan dipatuhi?

Baik Facebook maupun Twitter menolak berkomentar ketika ditanya oleh AFP apakah mereka akan mematuhi aturan baru tersebut.

Erdogan secara terbuka menyatakan curiga terhadap internet dan pernah mencap Twitter sebagai "ancaman" karena membantu memobilisasi protes anti-pemerintah tahun 2013 yang merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan partainya.

Banyak orang Turki, terutama kaum muda, mengandalkan berita di media sosial, karena sebagian besar outlet berita reguler dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan pro-pemerintah.

"Ada banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan pembunuhan yang tidak kita lihat di TV," kata Ayse Nur Akyuz, seorang model dan "influencer" dengan 47.000 pengikut Instagram, kepada AFP.

"Berita tentang kasus semacam itu menyebar di media sosial hanya dalam lima menit," tambahnya.

Banyak orang mulai dari siswa sekolah menengah, kartunis dan reporter hingga mantan model Miss Turki telah dilaporkan ke pengadilan karena tweet dan postingan di media sosial lainnya yang dianggap menyinggung presiden Erdogan.

Namun Sinclair-Webb mencatat bahwa pendukung pemerintah juga semakin bergantung pada media sosial, terutama di era pembatasan pandemi COVID-19 dan larangan berkumpul di area publik.

"Membatasi media sosial tidak akan menjadi langkah populer," kata Sinclair-Webb. "Jika mencoba menerapkan undang-undang baru ini, pemerintah juga akan menembak dirinya sendiri," pungkas direktur HRW Turki itu.

ha/as (AFP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait