Satu lagi sosok besar dunia akademik meninggalkan jejak abadi: Anthony Reid, sejarawan terkemuka yang mengabdikan hidupnya menguak sejarah Indonesia dan Asia Tenggara. Ia teladan ketekunan dan dedikasi tanpa batas.
Iklan
Reid banyak menulis karya akademik tentang sejarah masyarakat Indonesia (atau Asia Tenggara) yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun mancanegara.Foto: Media Zainul Bachri
Satu lagi sarjana dan sejarawan ternama tentang Indonesia telah wafat. Jika sekitar lima tahun lalu dunia akademia Indonesia kehilangan sejarawan produktif Merle Calvin Ricklefs (1943-2019), kini kehilangan Anthony Reid (1939-2025), sejarawan kelahiran Selandia Baru.
Baik Ricklefs maupun Reid banyak menulis karya akademik tentang sejarah masyarakat Indonesia (atau Asia Tenggara) yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun mancanegara.
Dikabarkan Anthony Reid adalah putra seorang diplomat Selandia Baru yang pernah bekerja di Indonesia antara 1950-an/1960-an. Ia menempuh studi sarjana di Victoria University of Wellington dan studi doktoral bidang sejarah di Cambridge University.
Meskipun lahir di Selandia Baru, Reid berkarier di kampus-kampus mancanegara seperti Malaysia (Universiti Malaya), Australia (Australian National University), Amerika Serikat (University of California at Los Angeles), dan Singapura (National University of Singapore).
Di UCLA, Reid pernah didapuk menjadi founding director Center for Southeast Asian Studies, sedangkan di NUS ia juga ditunjuk menjadi founding director Asia Research Institute. Keduanya merupakan lembaga riset ternama tentang masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara.
Penulis kolom: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby
Karena kontribusinya yang sangat penting di dunia akademik, Reid mendapatkan sejumlah penghargaan bergengsi, antara lain: Fukuoka Asian Culture Prize dan Association of Asian Studies Distinguished Contributions to Asian Studies Award, selain menjadi fellow di sejumlah institusi atau organisasi ternama seperti The British Academy, Australian Academy of the Humanities, dan sebagainya.
Reid telah menulis dan mengedit lebih dari 30 buku, selain menulis ratusan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah dan chapter buku.
Di antara buku-bukunya yang sangat berpengaruh di dunia akademik dan dikutip oleh banyak sarjana di berbagai negara, antara lain: Southeast Asia in the Age of Commerce (2 jilid); The Indonesian National Revolution, 1945-1950; The Contest for North Sumatra: Aceh, the Netherlands, and Britain, 1858-1898; The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra; An Indonesian Frontier: Acehness and other Histories of Sumatra; Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia; A History of Southeast Asia: A Critical Crossroads; dan masih banyak lagi.
Karya-karya ilmiahnya yang diterjemahkan ke sejumlah bahasa termasuk Indonesia, Mandarin, dan Jepang banyak mengulas isu-isu penting dalam bentangan sejarah masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia (sebagian Sabah,Malaysia) dan lebih khusus lagi Sumatra, Jawa, dan Sulawesi, relatif terabaikan di dunia akademik seperti soal perbudakan, kebebasan, relasi gender dan peran perempuan, diaspora Cina dan Yahudi, isu-isu lingkungan, hubungan sejarah dan geofisika untuk memahami masa lalu Indonesia, dan lain-lain.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Buka Kunci Sejarah Indonesia
Terletak di kawasan perumahan di Tangerang, ruko berlantai dua ini diubah menjadi penyimpanan berbagai buku, majalah, koran, komik dan literatur tentang Tionghoa yang diberi nama “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa”.
Foto: Monique Rijkers
Mengenal Museum Peranakan Tionghoa
Proses pengumpulan pustaka dilakukan sejak 2005. Kehadiran museum ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang peran orang Tionghoa di Indonesia dan memupus kesan negatif yang masih melekat pada segelintir orang Indonesia.
Foto: Monique Rijkers
Kontribusi Nyata Non Tionghoa
Azmi Abubakar bukan keturunan Tionghoa dan tidak berkaitan dengan Tiongkok. Namun ia berkontribusi bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Koleksinya dilirik hingga ke luar negeri dan membawa Azmi jadi pembicara tentang peranakan Tionghoa. Setelah museum, Azmi Abubakar berupaya membangun Universitas Cheng Ho di Aceh, tanah kelahirannya.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Pustaka, Koleksi Pengetahuan Sejarah
Bambang Sriyono, kawan seperjuangan Azmi Abubakar dalam membangun Museum ini memperkirakan hingga awal 2018 sudah ribuan buku ada di sini. Buku-buku itu berasal dari toko buku bekas di beberapa kota, diberikan orang hingga perburuan ke orang yang pindah rumah. Menurut Bambang Sriyono atau akrab disapa Ibeng, koleksi museum bisa dipamerkan di luar museum sebagai sarana edukasi kepada masyarakat.
Foto: Monique Rijkers
Bahasa Mandarin Dalam Aksara Jawa
Pengelola museum, Bambang Sriyono berkata, “Karena tak tahu bahasa Mandarin, banyak buku yang belum ketahuan isinya.” Ia berharap ada yang berminat menerjemahkan buku-buku ini ke bahasa Indonesia agar menambah khazanah pengetahuan. Buku tertua ini misalnya, ditulis dalam aksara Jawa kuno tetapi berbahasa Mandarin sehingga butuh penerjemah bahasa Jawa yang bisa bahasa Mandarin.
Foto: Monique Rijkers
Pendidikan Untuk Murid Tionghoa
Dari buku-buku tahunan ini diketahui ada sekolah khusus Tionghoa di Jakarta, Semarang dan Cirebon. “Tiong Hoa Hwee Koan” adalah sekolah di Jalan Patekoan 31 Jakarta yang berdiri sejak 1901 hingga ditutup pemerintah 1960. Di Jl Kampung Baru Utara 80, Jakarta ada sekolah dwibahasa bernama “The Chinese High School”. Kini di Tangerang ada upaya membangun kembali sekolah serupa yaitu Sekolah Pa Hoa.
Foto: Monique Rijkers
Pemakaman Bersejarah di Cirebon
Dari biografi “Majoor Tan Tjin Kie” yang disusun Tan Gin Ho, anak almarhum membawa pembaca pada peristiwa kematian Tan Tjin Kie, pemilik pabrik gula “Suikerfabriek Luwunggadjah”, orang terkaya di Cirebon, Jawa Barat. Saat meninggal 1919, peti matinya ditarik 240 orang dan dihadiri masyarakat Cirebon yang kehilangan sosoknya yang membangun masjid dan Rumah Sakit “Dr. Gottlieb” (RSUD Gunung Jati).
Foto: Monique Rijkers
Pendiri Rumah Sakit Husada di Jakarta
Dokter Kwa Tjoan Sioe pada 1924 sudah mengajak rekan-rekan dokter dan pengusaha Tionghoa dirikan perkumpulan Jang Seng Ie guna membangun klinik bersalin di Jakarta. Saat itu angka kematian bayi mencapai 45% dari jumlah kelahiran. Saking banyaknya pasien, kadang para pasien harus diinapkan di rumah dokter. Pada tahun 1965, Rumah Sakit Jang Seng Ie diganti nama jadi RS Husada oleh pemerintah.
Foto: Monique Rijkers
Lie Kim Hok, Tokoh Sastra Tionghoa-Melayu
Catatan kesusasteraan Melayu-Tionghoa banyak menyebut nama Lie Kim^Hok sebagai penulis Melayu-Tionghoa pertama yang sangat mempengaruhi perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ia merintis penggunaan bahasa Melayu yang kemudian jadi bahasa Indonesia di Jawa, Padang, Medan, Palembang, Banjarmasin dan Makassar. Buku pada foto ini ditulis oleh Tio Ie Soei untuk mengenang ulang tahun Lie KimHok ke-105.
Foto: Monique Rijkers
Cita Rasa Tionghoa Dalam Keberagaman
Cita rasa Tionghoa sangat mempengaruhi masakan di Indonesia. Dari buku resep masakan yang dikompilasi oleh Lie Tek Long terbitan Batavia tahun 1915, pembaca bisa mengetahui aneka bumbu dan bahan dalam makanan Betawi, Jawa dan Melayu seabad silam. Untuk sambal saja, buku ini memuat 40 resep sambal. Selain sambal, ada pula resep laksa, perkedel nyonya, sate Njo Kim Poei, sop telor burung, dll.
Foto: Monique Rijkers
Daur Ulang Komik Tionghoa Kekinian
Banjir sejak dahulu rupanya sudah menjadi momok bagi warga Jakarta. Hal ini bisa dilihat dalam komik yang menggambarkan kritik sosial dan keseharian seorang Tionghoa yang digambarkan selalu sial dalam komik yang berjudul Put On atau “Si Gelisah”. Put On menjadi judul komik karya Kho Wan Gie yang diterbitkan setiap edisi majalah Sin Po mulai tahun 1931.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Foto Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Saat rumah Jon Lie mau dijual, pendiri museum, Azmi Abubakar datangi rumah itu dan mendapat koleksi surat dan album foto pahlawan nasional Tionghoa pertama Indonesia itu. John Lie atau Lie Tjeng Tjoan dikenal sebagai mayor, komandan maritim Jakarta. Kisah tentangnya sangat minim karena profesinya sebagai penyelundup senjata untuk kebutuhan Angkatan Laut Indonesia melawan Belanda.
Foto: Monique Rijkers
Nama Indonesia dari Majalah Sin Po Tahun 1926
Membuka lembar-lembar halaman koleksi museum ini sesungguhnya menyelami rekam jejak sejarah Indonesia. Nama Indonesia dahulu digunakan oleh penulis-penulis Belanda dan Jerman pada rentang 1850-1880. Namun koran Sin Po yang terbit sejak 1910 dianggap mempopulerkan Indonesia. Pada terbitan mingguan Sin Po tahun 1926, Indonesia dipilih menjadi nama kolom yang memuat tulisan tentang beragam hal.
Foto: Monique Rijkers
Menjadi WNI
Meski peranakan Tionghoa di Indonesia berkontribusi pada bangsa ini, namun kebijakan politik Orde Lama hingga Orde Baru sisakan luka. Museum ini memiliki segepok dokumen kependudukan yang menorehkan catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Surat pernyataan melepas kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok untuk menjadi Warga Negara Indonesia di foto ini dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1961.
Foto: Monique Rijkers
Ketika Ada "Staf Chusus Urusan Tjina"
Mengacu pada dokumen Laporan Tahunan Kabinet Pembangunan tahun 1968, berdasarkan Undang-undang No 4/1961 WNI yang masih memakai nama Cina wajib mengubah namanya sesuai nama Indonesia asli. Repotnya nama yang dipilih itupun masih bisa digugat oleh pihak yang keberatan pada pilihan nama baru tersebut. Dalam dokumen ini disebutkan masa tunggu ada-tidaknya gugatan selama tiga bulan.
Foto: Monique Rijkers
Di Balik Papan Nama Bolak-Balik
Berbagai papan nama Tionghoa - saksi bisu asimilasi identitas - jadi bagian penting koleksi museum. Papan nama yang dulu umumnya dipasang di depan rumah ini bisa dibolak-balik tergantung situasi. Jika ada keluarga yang akan berkunjung, papan bertuliskan Tan Lian Tjhoen yang ditampilkan. Setelah keluarga pergi, demi kenyamanan bertetangga, papan nama kembali menjadi nama Indonesia, Djoenaedy.
Foto: Monique Rijkers
Merawat Sejarah, Merajut Keberagaman
Dudi Duta Akbar, rekan Azmi Abubakar mengumpulkan bahan tulisan tentang koleksi museum. Kelak, seluruh pustaka yang ada diharapkan bisa jadi sumber sejarah Tionghoa dan rujukan jejak nenek moyang keluarga keturunan Tionghoa. Koleksi museum sudah berhasil menghadirkan bukti keberagaman di Indonesia yang harus selalu dirajut tanpa lelah. Penulis: MoniqueRijkers (ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
16 foto1 | 16
Karya-karya Reid juga membahas tentang sejarah ekonomi dan agama, termasuk Islam
Selain menulis karya akademik-ilmiah (nonfiksi), Reid ternyata juga piawai menulis karya fiksi, novel, atau tepatnya "roman sejarah” berjudul Mataram: A Novel of Love, Faith, and Power in Early Java, sebuah karya sastra yang mengisahkan pengalaman sosok Tom Hodges, seorang tokoh fiksi yang digambarkan sebagai petugas berkebangsaan Inggris di era VOC yang melarikan diri bersama pacar atau "lover”-nya yang beretnis Jawa dari Banten di ujung Barat Pulau Jawa menuju sebuah kerajaan pedalaman di Jawa Tengah bernama Mataram di awal abad ketujuh belas.
Iklan
Berbeda dengan sejumlah sarjana asing (khususnya Barat) yang karya-karya mereka kadang berbau "etnosentris” atau "Euro/Western-sentris” yang bias, ideologis, dan bahkan peyoratif dalam mendiskripsikan masyarakat nonbarat yang mereka teliti, karya-karya Reid relatif imbang dan tidak bias. Karena itu tidak berlebihan jika Reid saya kategorikan masuk daftar sebagai "friendly orientalist,” untuk meminjam istilah akademisi dan antropolog Uganda, Mahmood Mamdani.
Bekerja Sama Dengan Jerman, Indonesia Melawan Waktu Lewat Digitalisasi Manuskrip Kuno
Banyak naskah kuno ditulis di bahan rapuh seperti daun lontar, kulit kayu dan bambu. Guna menyelamatkannya Indonesia bekerjasama dengan Jerman lakukan digitalisasi agar naskah tidak rusak ditelan waktu.
Foto: DW/M. Rijkers
Akses Digital Koleksi Naskah Kuno
Guna memastikan naskah kuno yang ada bisa bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah menyediakan akses digital untuk 400-an naskah kuno yang termasuk dalam koleksi khusus. Naskah asli rawan rusak karena usianya yang tua, bahannya sudah rapuh dan dijaga agar tak dicuri. Waktu seakan terhenti di ruangan ini, tempat 11.500 naskah kuno tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Foto: DW/M. Rijkers
La Galigo
La Galigo adalah salah satu naskah kuno dari abad ke 13-15 dalam bahasa Bugis yang ditulis dalam aksara Lontara Kuno yang terdiri dari 6000 halaman. Ini foto naskah asli dalam kitab berukuran kecil sebanyak 78 halaman kertas. UNESCO menetapkan La Galigo sebagai warisan dunia atau Memory of the World dari Indonesia. La Galigo memuat kisah penciptaan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan.
Foto: DW/M. Rijkers
Nagarakretagama
Naskah ini adalah tulisan Empu Prapanca dalam bahasa Jawa Kuno, aksara Bali pada lontar. Rekaman sejarah tahun 1365 ini baru ditemukan pada tahun 1894 oleh ilmuwan Belanda, J.L.A. Brandes di Lombok, Nusa Tengara Barat saat Istana raja Lombok di Cakranagara dibakar tentara KNIL. Nagarakretagama memuat keadaan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dari tahun 1350-1389 Masehi.
Foto: DW/M. Rijkers
Babad Diponegoro
Ini autobiografi yang ditulis Pangeran Diponegoro (1785-1855) saat diasingkan di Sulawesi Utara 1831-1832. Naskah ditulis di kertas dalam bahasa Jawa, aksara Arab sebanyak 1151 halaman. Tampak dalam foto adalah Babad Diponegoro asli, replikanya dipamerkan untuk umum. Babad Diponegoro berkisah tentang Kerajaan Majapahit, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta serta perang era kolonial Belanda.
Foto: DW/M. Rijkers
Panji Jayakusuma
Panji Jayakusuma baru masuk sebagai Memory of the World dari Indonesia pada tahun 2017. Naskah ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa ini berkisah tentang petualangan Raden Panji, putra mahkota Kerajaan Jenggala yang mencari kekasihnya yang hilang. Raden Panji menyamar sebagai Jayakusuma yang berhasil menaklukkan Bali.
Foto: DW/M. Rijkers
Koleksi Perpustakaan Nasional 11.500 Naskah Kuno
Manuskrip tertua adalah Nagarakretagama (1365) dan termuda naskah Sewaka Darma (1880). Teguh Purwanto, Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus mengizinkan pemotretan di dalam ruangan yang dilindungi baja tahan api dan diproteksi dari akses manusia. Manuskrip kuno disimpan dalam lemari kaca dan hanya bisa dipegang oleh ahli dengan menggunakan sarung tangan.
Foto: DW/M. Rijkers
Kerjasama Menyelamatkan Naskah Kuno
Selain koleksi Perpustakaan Nasional, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Pusat Studi Budaya Manuskrip (CSMC), Universitas Hamburg terlibat dalam digitalisasi manuskrip kuno yang saat ini masih berada di tangan masyarakat.
Foto: DW/M. Rijkers
Pentingnya Digitalisasi Naskah Kuno
Sejak Juni 2018, DREAMSEA sudah mendigitalisasi 1069 imaji dari Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 1694 imaji dari Palembang, Sumatera Selatan. Dari Buton-Sulawesi Tenggara sebanyak 4996 imaji dan Kuningan-Jawa Barat sebanyak 5000 imaji. Tampak dalam foto adalah hasil digitalisasi dari naskah milik Sultan Mahmod Badarudin IV tentang hukum pernikahan secara Islam.
Foto: DW/M. Rijkers
Naskah Tentang Hari Raya Islam
Tampak dalam foto adalah hasil digitalisasi dari naskah yang ditulis oleh Syekh Abdu Somad Alfalimbani yang ditemukan di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Naskah memuat tentang Isra Miraj dari Bahasa Arab ke Bahasa Melayu yang dibacakan setiap peringatan hari raya Isra Miraj. Dari naskah ini diketahui bagaimana syiar agama Islam disampaikan dalam bahasa lokal.
Foto: DW/M. Rijkers
Naskah Peraturan Iddha
Iddha adalah peraturan dalam Islam mengenai pernikahan kembali seorang janda setelah perceraian/ditinggal mati oleh suami. Naskah ditulis dalam bahasa Melayu, aksara Jawi yang terlihat seperti aksara Arab. Keunikan naskah ini adalah pembagian tabel yang sudah mulai dikenal di masa itu. Foto ini adalah digitalisasi yang sedang dikerjakan oleh PPIM UIN Jakarta dan Universitas Hamburg, Jerman.
Foto: DW/M. Rijkers
Buku Lipat Kulit Kayu
Tampak dalam foto adalah hasil digital yang sedang dikerjakan oleh PPIM UIN Jakarta dan Universitas Hamburg, Jerman. Buku lipat dari kulit kayu ini milik Faturahman dari Palembang, Sumatera Selatan yang berisi cara penghitungan hari baik. Keunikan naskah ini adalah mulai dikenalnya bentuk diagram lingkaran untuk memudahkan penghitungan hari.
Foto: DW/M. Rijkers
11 foto1 | 11
Kritik tajam
Anthony Reid adalah sosok ilmuwan-sarjana-sejarawan-akademisi ulet dan dedikatif yang selama hidupnya didedikasikan di dunia akademik dengan meneliti dan menulis karya-karya ilmiah berkualitas, tentu saja selain mengajar dan membimbing mahasiswa.
Sejak muda, di usia 30-an, Reid sudah melahirkan karya berkualitas. Ketika usianya memasuki masa senja, ia tetap meneliti dan berkarya. Bahkan ketika usianya menginjak 80-an pun (ia wafat saat berusia 85 tahun), ia tetap menulis.
Baginya, usia seolah bukan halangan bagi akademisi untuk terus meneliti dan menulis hingga maut memisahkannya.
Berbagai penghargaan bergengsi yang diraihnya tidak lantas membuatnya silau kemudian pensiun dari panggung dunia akademik, misalnya dengan berhenti meneliti dan menulis kemudian sibuk menekuni profesi baru: Momong cucu-cicit.
Bertebar Simbol Iluminati? Mari Kenali Masjid Desain Segitiga di Nusantara
Sebuah masjid di Jawa Barat Indonesia viral di media sosial dengan tuduhan menyerupai simbol Illuminati. Dunia arsitektur menjabarkan penjelasannya, bahwa banyak masjid tradisional Indonesia memiliki desain serupa.
Foto: urbane/P. Y. Pradana
Masjid dengan simbol Illuminati?
Masjid Al-Safar di Jawa Barat, yang didesain oleh Gubernur Jawa Barat menjadi topik perdebatan di media sosial di Indonesia. Motif segitiga yang diklaim mengandung simbol yang mengacu pada Illuminati, organisasi elite kuno dan rahasia yang diduga ingin mengendalikan tatanan dunia.
Foto: urbane/P. Y. Pradana
Apa itu illuminati?
Menurut Britannica dan Live Science, dalam pengertian historis, istilah Illuminati mengacu pada organisasi, yang didirikan tahun 1776 oleh profesor di Ingolstadt, Adam Weishaupt. Organisasi ini dinilai ingin menentang kendali Gereja Katolik Roma terhadap pengetahuan dan filsafat dan berusaha untuk mencerahkan pikiran orang-orang dan membebaskan mereka dari takhayul dan kekuasaan negara.
Foto: Imago Images/Leemage
Melawan tuduhan
Tidak hanya kemiripan dengan simbol-simbol Illuminati, beberapa kalangan menghubungkan imaji 'mata' pada segitiga dengan Dajjal, setan bermata satu dalam mitologi Islam. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang merancang masjid ini, membantah tuduhan tersebut lewat penjelasannya.
Foto: urbane/P. Y. Pradana
Kelanjutan seni dan arsitektur Islam
Di Instagram, Ridwan Kamil yang juga seorang arsitek telah memberikan bukti historis tentang pengaruh geometris dalam estetika bangunan masjid. Dia mengatakan bahwa desainnya yang menggunakan banyak motif segitiga yang terinspirasi oleh lipatan-lipatan dalam seni origami Jepang.
Foto: Instagram/ridwankamil
Bentuk segitiga adalah bentuk dasar
Segitiga juga telah digunakan di masjid-masjid di Indonesia. Arsitek Avianti Armand juga percaya bahwa segitiga sebenarnya adalah bentuk geometris yang sederhana dan netral. Di banyak masjid di kepulauan ini, bentuk segitiga adalah bentuk dasar dalam komposisi atap "limasan" atau piramida, sesuatu yang masih relevan hingga saat ini. Dia memberi contoh masjid Pondok Indah di Jakarta.
Foto: Imago Images/Zuma/D. Pohan
Melindungi dari hujan lebat
Menurut Armand, ide dasar dari segitiga adalah untuk melindungi orang dari hujan lebat. "Jadi di nusantara banyak menggunakan bidang miring - karena bidang miring dapat mengalirkan air," katanya. Gambar ini adalah Masjid Agung di Garut, Jawa Barat.
Foto: Nationaal Museum van Wereldculturen
Masjid Tua Ternate di Maluku Utara
Contoh lain dari desain serupa adalah Masjid Tua Ternate di Maluku Utara. Ruang sholat utama masjid ini memiliki atap baja bergelombang lima tingkat yang didukung oleh empat pos utama dan juga dua belas pos pendukung lainnya. Tingkat atap paling atas jauh lebih curam daripada bagian atap lainnya dengan empat lubang memberikan ventilasi silang.
Foto: public domain
Arsitektur masjid yang masuk nominasi penghargaan
Masjid Al Safar masuk nominasi Abdullatif Al Fozan Award 2019 untuk arsitektur terbaik, bersaing dengan 26 masjid lainnya di dunia. Dikutip dari situsnya, pembangunan gedung ini selesai pada 2013 dan diresmikan pada 2017. Berdasarkan situs Abdullatif Al Fozan Award, masjid ini dapat menampung hingga 1.200 jamaah.
Foto: urbane/A. Mashudi
8 foto1 | 8
Reid adalah tamparan keras bagi para akademisi Indonesia yang sebagian besar dari mereka (termasuk para "guru besar”-nya) miskin karya akademik-ilmiah karena hanya sibuk mengejar angka kredit demi kenaikan pangkat, jabatan, dan cuan, atau sibuk jalan-jalan turisme sambil "fota-foto” lalu memamerkan kesibukan wisatanya di dunia maya.
Reid juga merupakan kritik tajam bagi para dosen yang hanya sibuk "ngobyek” dan "mproyek” demi uang recehan, atau bagi para akademisi yang gegap gempita sibuk mengurus kepanitiaan kampus, mengurus politik kampus, atau mengurus dan mengejar jabatan kampus (atau pemerintah), bahkan diiringi dengan depak sana-sini dan sikut kanan-kiri tak peduli teman sendiri. Sungguh miris dan memalukan.
Peduli Lingkungan Lewat Aksi Nyata di EcoMasjid
Gerakan cinta lingkungan berlandaskan prinsip agama salah satunya bisa dilihat dari inisiatif "ecoMasjid". Namun, hingga saat ini masih sedikit masjid di Indonesia yang tergabung sebagai bagian dari gerakan ini.
Foto: Eco Masjid
EcoMasjid: Dari masjid makmurkan bumi
Gerakan ecoMasjid diluncurkan secara resmi pada 11 November 2017 di Jakarta oleh Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia periode 2017-2022. Gerakan ini mengutamakan konsep masjid sebagai tempat beribadah yang juga mempunyai kepedulian terhadap hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Foto: ecoMasjid
Bagian dari MUI
EcoMasjid merupakan gerakan peduli lingkungan yang berdasar pada prinsip-prinsip Islam. Inisiatif yang berada di bawah Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, Majelis Ulama Indonesia (LPLHSDA MUI) ini, memiliki landasan syariah untuk setiap kampanye yang digalakkan. Di foto tampak Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin selaku Ketua MUI dan Dr. Hayu Prabowo selaku Direktur LPLHSDA MUI.
Foto: ecoMasjid
Ke seluruh penjuru negeri
Inisiatif ecoMasjid, yang berada di bawah LPLHSDA MUI, disebarkan ke komunitas masjid di seluruh Indonesia. Di foto tampak Direktur LPLHSDA MUI, Dr. Hayu Prabowo (kedua dari kiri) menyerahkan secara simbolis, panel listrik surya untuk masjid terpencil di Papua Barat. Tiga fokus utama gerakan ecoMasjid adalah energi, air dan pangan.
Foto: ecoMasjid
Saatnya beralih ke energi bersih
Masjid yang ingin menjadi bagian dari gerakan ecoMasjid bisa mendaftarkan diri dengan memenuhi persyaratan seperti yang tertera di situs web resmi ecomasjid.id. Masjid yang sudah terdaftar wajib melakukan aksi nyata dalam melestarikan lingkungan. Salah satu hal yang bisa dilakukan misalnya memanfaatkan energi bersih, seperti biogas dan listrik surya. Masjid Salman ITB adalah salah satu contohnya.
Memanfaatkan air hujan
Sistem Panen Air Hujan (PAH) diterapkan oleh masjid ramah lingkungan sebagai bagian dari usaha konservasi air. Dikutip dari ecomasjid.id, manfaat PAH diantaranya mengurangi penggunaan air tanah dan mengurangi emisi sehingga mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global. Ada banyak ecoMasjid yang menggunakan sistem ini, salah satunya Masjid dan Pesantren Al-Amanah, Wonogiri, Jawa Tengah.
Tabasta, tungku bakar sampah tanpa asap
Masjid yang tergabung dalam inisiatif ecoMasjid aktif berinovasi untuk mencari solusi masalah lingkungan. Di foto terdapat "tabasta" yang diciptakan untuk mengatasi permasalahan terkait sampah yang tak bisa didaur ulang. Sampah dibakar dalam tungku sehingga tidak menghasilkan polusi udara. Tabasta ini berada di lingkungan masjid Al Amanah di Desa Sempon, Wonogiri, Jawa Tengah.
Foto: ecoMasjid
Diakui dunia internasional
Di foto tampak Direktur LPLHSDA MUI, Dr. Hayu Prabowo memberikan pidato pada ajang "Faith for Earth" yang diselenggarakan di Nairobi, Kenya, oleh UNEA, badan lingkungan PBB. Misi gerakan "Faith for Earth" adalah untuk mendorong, memberdayakan dan melibatkan organisasi berbasis agama, di semua tingkatan, untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan ("sustainable development goals" atau SDG).
Foto: ecoMasjid
Peluncuran inisiatif ecoRamadan
Pada level personal, jemaah masjid didorong untuk mempraktikkan gaya hidup berkelanjutan. Maka itu, di bulan Ramadan ecoMasjid meluncurkan gerakan "ecoRamadan", di mana jemaah diserukan untuk memerhatikan tindakan dalam kehidupan sehari-hari yang berarti besar bagi pelestarian lingkungan. Dalam poster terdapat tips yang bisa dipraktikkan jemaah agar Ramadan bisa menjadi lebih ramah lingkungan.
Foto: Eco Masjid
ecoRamadan: Gaya hidup hijau di level personal
Kampanye ecoRamadan dari ecoMasjid dilakukan secara aktif di media sosial, terutama Instagram dan Facebook. Menurut Direktur LPLHSDA MUI, Dr. Hayu Prabowo, gaya hidup berkelanjutan adalah kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi. "Sudah menjadi tugas kita untuk menyebarkan Islam yang...memberikan rahmat ke seluruh alam ini," tegasnya. (na/ts)
Foto: Eco Masjid
9 foto1 | 9
Pula, Reid adalah "pukulan telak” bagi para pengajar kampus di Indonesia yang memutuskan untuk pensiun berkarya hanya karena sudah memasuki usia setengah senja atau lantaran cita-citanya sebagai "guru besar” sudah tercapai, seolah "guru besar” adalah akhir dari segalanya. Padahal seharusnya "guru besar” dijadikan sebagai "cambuk” awal untuk berkarya bukan akhir dari perjalanan akademiknya.
Semoga para akademisi Indonesia bisa bercermin atas kegigihan akademis mendiang Reid yang meskipun bukan warga negara Indonesia tetapi tak mengenal lelah dalam berkarya, meneliti, dan menulis tentang keindonesiaan.
Meskipun saya tahu harapan ini hanyalah sekedar harapan belaka karena mereka tak akan mengambil hikmah darinya. Selamat jalan di alam keabadian, Pak Tony Reid. Semoga damai di alam baka.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Dosen Pascasarjana Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana; dan Direktur Nusantara Institute. Menulis lebih dari 40 buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.
Ada Masjid Kapal 'Nabi Nuh' di Semarang
Sebuah masjid unik berbentuk kapal menarik perhatian pengunjung di Semarang. Masyarakat menyebutnya mirip seperti bahtera nabi Nuh.
Foto: Imago
Bagaikan bahtera Nabi Nuh
Masjid ini disebut "masjid kapal" karena bentuknya seperti kapal. Orang-orang membayangkan bahtera Nabi Nuh yang menyelamatkan pengikutnya berikut makhluk hidup lainnya, saat diterjang banjir bandang. Masjid tersebut terletak di sebuah perkampungan dekat hutan di Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah.
Foto: Imago
Lengkap dengan buritan dan haluan
Pendirinya, seorang kyai bernama Achmad. Luas masjid ini 2.500 meter persegi. Bagaikan bahtera, masjid ini dilengkapi semacam buritan dan haluan.
Foto: Imago
Jendelanya puluhan
Ada enam pintu utama dalam masjid tersebut, sementara jumlah jendelanya mencapai lebih dari 70 buah dengan model bagai jendela kapal. Nantinya, warga juga bisa menggunakan sarana di masjid untuk pertemuan, hajatan, atau bahkan resepsi perkawinan.
Foto: Imago
Dibangun tiga lantai
Masjid ini berlantai tiga. Lantai pertama dapat dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan, tempat wudu, dan toilet. Lantai duanya berfungsi sebagai masjid, sementara lantai tiganya bisa dipakai untuk kegiatan mengajar, perpustakaan dan balai karya. Klinik dan asrama putri bakal tersedia pula di kompleks masjid ini.
Foto: Imago
Pemandangan hijau
Ke depan, masjid ini juga bisa menjadi salah satu lokasi wisata karena keunikannya. Masjid ini berada di tengah hutan dan sawah. Menteri Pariwisata Arief Yahya tak ketinggalan turut mendorong warga mengunjungi masjid tersebut, agar semakin dikenal masyarakat. Ed: ap/vlz (berbagai sumber)